Kala matahari berada diperaduan, teriknya menyemburat
panas pada seluruh isi bumi. Siang itu, lelaki dengan perawakan yang tampan,
tinggi, putih berseri, dengan senyumnya yang khas menyapa dengan begitu
girangnya. “Kakak datang … Kakak datang ….” Jelas lelaki tigabelas tahunan yang
bernama Irfan.
Kakinya menghentak-hentakkan bumi diiringi tepuk
tangan kedua tangannya, seakan sangat senang menyambut sang Kakak yang baru
datang. Padahal ia hanya kembali dari sekolahnya.
Teriakan seperti mengolok-olokan dan ejekan terdengar,
tersaut dari bibir teman-teman sang Kakak. Menyisakan rasa malu pada dirinya. Namun,
ia pun tak menutup diri. Sebab apa yang dikatanya adalah kebenaran.
Teman-teman Kakaknya mencoba mengikuti gerakan yang
dilakukan Irfan. Namun, lelaki itu hanya tersenyum, girang. Tak mengerti bahwa
itu merupakan sebuah ejekan.
Irfan, lelaki dengan sembilan jari tangan itu menyimpul
senyum. Meski secara psikis, tubuhnya sempurna. Matanya sipit, dengan kulit
putih, seperti orang-orang China pada umumnya. Tetapi dia hanya lelaki sunda
yang tinggal di desa, dengan akal yang kurang. Otaknya tak berfungsi, sehingga
tak memiliki pikiran.
Bicaranya masih terbata dan tak jelas. Seperti seorang
anak batita yang baru saja belajar berbicara. Namun, rasa hormatnya terhadap
oranglain adalah sebuah kelebihan yang tidak selalu dimiliki oleh orang
sempurna.
*selesai.
#Day22 #30DWC
#OneDayOnePost
#Difabel
Kita selalu gitu ya Seringnya, mengejek, seolah kita sendiri Mahluk tanpa cela
BalasHapusIya benar mba wid, kita perlu lebih peka dan mncoba mmndang dri sisi kacamata orglain.
HapusJangan menghina jika tak ingin dirimu dihina, harusnya hal ini ditanamkan pada anak2 sejak kecil ya..
BalasHapusyups betul mba Les..
Hapusharus memulai dari diri kita terlebih dahulu, menerapkan hal demikian serta diajarkan kehidupan sosial yg sbnernya.
Jadi sedih.
BalasHapus😢😢
HapusSedih
BalasHapus