“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya.
Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan.
Bukan terkadang membahas rasa,
tapi ia tak pernah berhenti. Sebab ia hidup, dan tumbuh setiap waktu. Bukan perihal
tentang memendam, tapi rindu tak selalu bertemu. Kan terus kau bahas perihal
rasa, rasa yang tak pernah adil akan egomu.
Ada kata yang tak bisa dijelaskan
ketika pinta menjadi nyata, ada pula ketika pupus meninggalkan luka. Tapi perlu
kau tahu, tak ada rasa yang tak pernah membuatmu luka apabila dirimu menanggapi
rasa.
Rasa yang sekali lagi tak dapat
kau mengerti seperti apa bentuknya, rasa yang hanya akan kamu rasakan kelak
ketika rasa itu bertemu pada rasa yang sama.
Berterimakasihlah kepada ruang
tunggu, ruang yang mengajarkan kepadamu perihal menanti yang kadang tak pasti
dan buatmu jera. Terimalah kehadiran dengan hatimu lalu katakan pada jarak, bahwa
rindu tak pernah salah menepi. Bahwa ia mencipta dirimu menjadi tangguh,
menjadi wanita dengan keshalihahan dirimu, menjadikanmu tersampul oleh
kebajikan. Katakan pada waktu, yang setia temani tangis dan lukamu.
Luka yang mungkin tercipta
tersabab egomu sendiri, sebab harap yang ingin terpenuhi tanpa peduli menoleh
diri. Wahai, tegarlah dan sambutlah bahwa rasamu kini berbentuk.
“Dek, one more.”
Kemudian ia memelukku hangat, dan
aku pun tak bergeming, tak terasa ujung ekor mataku teteskan air mata.
#Petuah
Ged. BPKAD, 19 Juli 2018