Suatu ketika
selepasku berlibur, aku masuk ke suatu pondok pesantren dimana disana tidak
membolehkanku mengenakan celana, hari itu tepatnya minggu 10 juli 2011. Memang,
tentu aku mendapatkan sambutan dari santri lainnya yang memang itu adalah salah
satu tetanggaku yang lebih dulu masuk pesantren. Rasa risih, dan malu saat itu
tentu ada. Aku hanya berkawan yang memang sebelumnya pernah bertemu. Aku kira,
akulah santri yang paling datang
terlambat masuk hari minggu jam 11.30 siang kala itu. Perjalananku menuju
tempat baruku begitu ekstrim. Kala itu, jalan yang luar biasa yang jika kau
melewatinya akan terus beristigfar setiap saat, tentu hal itu juga yang
membuatku tidak ingin melanjutkan perjalanan. Tapi tetep saja lanjut.
“Hai
Rene, selamat datang disini..” sapa santri lain yang juga tetanggaku “Maaf ya,
berantakan. Jangan kaget ya”. Lanjutnya
Aku hanya diam
tersenyum menandakan kemakluman.
“Persiapan apa aja untuk acara MOS
besok mi?” tanyaku kepada ami yang juga 1 SMP
Ami memberitahu
ku segala yang kubutuhkan untuk MOS –Masa
Orientasi Siswa- besok. Lalu selepas itu aku pergi keluar dengan mengenakan
sarung, untuk kali pertamanya. Dan
membeli kebutuhanku untuk besok. Selesainya ku persiapkan itu, aku berpamitan
dengan ibuku yang pada saat itu mengantarkan aku ke Pondok Pesantren. -Pondok Pesantren Tahfidzul Qur`an
Al-Mushhafiyah-. Dan inilah kali pertamanya aku berada jauh dari orangtua,
dibelajarkan menjadi mandiri, mengerjakan segala sesuatunya sendiri tidak
bergantung kepada oranglain. Meski ku badung,
tentu aku selalu membantu mengerjakan tugas ibu dirumah walau hanya yang
ringan-ringan saja. Dan hal itu juga yang membuatku tidak kaget untuk berada di
Ponpes ini, dengan segala tugasnya nanti. Hanya saja waktu yang ku kagetkan.
Sungguh tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Tidak ada nonton TV, maupun
bermain HP. Meski ada dispensasi waktu pegang HP untuk santri baru, Namun tetap
hal itu hanya berlaku 1 minggu, selepas itu kita hanya di bolehkan pegang HP
sesuai jadwal pengembalian dan pengumpulan HP. Dan itu terjadi sekitar pukul
13.00-15.00, tentu hanya 2 jam setiap harinya, namun lain ceritanya bila libur.
-Sempatku
lupa, perkenalkan namaku Irene usshy herawati. Aku anak ketiga dari 4
bersaudara. Pertama masuk SMA, usiaku 14 tahun-. Waktu dhuhur tiba, tidak
banyak kegiatan di ponpes ini karena memang waktu masih libur. Datanglah calon
santri baru, namanya Reni Listati. Sama-sama datang paling terakhir, akhirnya
ku beranikan diri mengajaknya berkenalan.
Singkat cerita
Semua berawal dari sini..
Senin, 11 juli
2011
Inilah hari pertamaku masuk sekolah MA –sederajat SMA yang berbasis Madrasah-. Kami memulainya dengan penuh
kedisiplinan sebab sekolah kami tidak ada upacara yang ada hanya tadarus
Al-qur`an, bersholawat dan menyebut asma Allah setiap harinya. Kami masuk pukul
07.00 itu sebabnya pukul 06.45 kami harus sudah bersiap didepan halaman
sekolah. Dan untuk kali pertamanya, aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk
mengantri mandi. Aaaarrrrghhhh rasanya sungguh menyebalkan ! Atau memang
mungkin, dikarenakan juga belum terbiasa.
Acara MOS berlangsung seperti biasa, tidak ada hal yang menarik, pikirku. Pembagian kelompok, pengenalan
sekolah, guru dan kawan-kawan. Nampak seperti biasa saja. Begitupun sama juga
dalam Pondok. Kegiatan baru akan mulai diaktifkan kembali setelah sebelumnya
diliburkan sementara,
pembagian tugas masak dan nyupir –nyuci
piring-.
“Gimana MOS-nya?” Tanya kak Andi –salah satu panitia MOS-
“Biasa aja kak” jawab kami datar
tanpa semangat.
“Oke-oke. Kalo begitu, kita permainan
aja di kelas ini yahh ?” lanjutnya
“Nah gitu dong kak, dari tadi?”. Teriak
salah satu siswa di pojok ruang kelas
“Kita bermain darat, laut, udara !
ada yang tau gak permainan ini?”
Semua orang
nampak acuh tak mengerti. “maksudnya tuh begini yah, kalo kakak bilang dan
berhenti di kata darat. Berarti kakak harus nyebutin hewan-hewan yang ada di
darat, gitu. Ngerti nggak ?” jelas sang kakak senior.
“ Oooh yang kaya gitu, iya ka
ngerti”. Jawab kami serentak tanpa komando
“Mulai aja yaa”. Ajaknya “udara laut
darat, udara laut darat. Laut ! (suara mengagetkan) –menunjuk menggunakan penghapus papan tulis-
Sontak terkejut,
kawanku Faiz lama berfikir hingga kehabisan waktu itulah alasan dia mendapatkan
hukuman permainan. Meski banyak yang lolos dalam permainan ini, tetap saja ada
beberapa orang yang mendapatkan hukuman termasuk diriku.
“Udara laut darat, udara laut darat.
Udara !
Sontak ku terkejut dan refleks
mengatakan “bebek, ayam” jawabku
Tidak ada yang
tidak tertawa kala itu. Karena salah penyebutan itulah aku akhirnya mendapatkan
hukuman permainan, sebab yang kufikirkan saat itu tentu tentang darat.
Ada 4 orang yang
mendapat hukuman, 2 wanita dan 2 pria. Hukuman diserahkan kepada para peserta
MOS, dengan fasilitas seadanya di ruang kelas. Karna kala itu hanya ada bunga,
dan beberapa lukisan. Maka yang dipilih tentu bunga. Dan dengan bunga itu, 2
kawanku yang laki-laki itu dimintai untuk mengatakan cinta kepada kami yang
wanita. Arif kepadaku, dan Fais kepada Helena. Aaaaah so sweet sekali waktu
itu, dan sampai kami lulus pun terkadang masih iseng dengan pertanyaan: “kenapa
waktu itu gak beneran aja yah??” hahaha. Aku selalu menjawabnya dengan tawa.
Kita tinggalkan
masa MOS
Masuk pada hari kamis, 14 Juli 2011.
kita mulai memasuki kelas X, dengan mengenakan seragam abu-abu putih khas anak
SMA. Gelak tawa terpancar dari sudut ruang. Kita mulai berkenalan kembali
secara keseluruhan dan mencari tempat duduk yang kosong. Tentu beberapa bangku
di baris terakhir telah terpenuhi. Jadi ku ambil disisi kedua arah pintu masuk
didepan, bersama Mia ku duduk bersama. Setelah MOS kita tidak ada materi karena
memang para guru tidak memberikannya langsung, untuk kami pelajari disebabkan
suatu kondisi yang belum kondusif. Di tengah penerimaan siswa/siswi dan santri
baru tengah dilakukannya pembangunan Madrasah.
Mari dengarkan
dan akan ku ceritakan,
“… Sekolah ku
dulu mungkin tampak seperti bukan sekolahan seperti yang lain, sebab kala itu
hanya ada 2 ruang kelas disana dan 2 ruang lainnya sedang dalam proses
pembangunan. Dimana salah satu ruangnya ada kantor dan kelas XII yang di
satukan bersebelahan. Tidak ada kantin tepat disana, yang ada hanya warung
warga sana dan diseberang jalan. Letak ponpesku tepat dibelakang sekolahan, later L mungkin itulah
sekolahanku, dengan halaman kecil disana tanpa tiang bendera, dan halaman kecil
dibelakang sana
tempat biasanya kami menjemurkan
pakaian, dan bermain takraw. Miris tentu bila kau dengar, sesederhana itu kami berdiri disana tentu hal itu menjadi
pertimbangan banyak orang untuk menempatkan anak-anaknya disekolah kami ini. Sekolah yang mungkin tidak
akan pernah kalian lirik sebab memang
tempatnya berada di diskotik –disisi kota saetik(sunda)-.
Ini adalah tetangga kecamatan dari desaku. Yang siswanya hanya berjumlah kala
itu tidak lebih dari 100 orang dari keseluruhan kelas. Kelas XII, berjumlah
paling sedikit yang hanya memperoleh 9 siswa. Tapi inilah perbedaannya, dengan
jumlah yang sedikit ini, kami
mendapatkan kekeluargaan sepenuhnya yang mungkin tidak kalian dapatkan di sekolah. Lihatlah kami tidak ada yang tidak mengenal satu sama lainnya, meski begitu
sekolah kami tentu bukan hanya
orang-orang asli warga sana yang bersekolah seperti sekolah lainnya, ada dari
daerah lain termasuk Ciamis dan Lampung. Dan tidak hanya orang-orang seperti ku
yang bermasalah dengan perekonomiannya yang bersekolah di Sekolah kami, namun ada beberapa orang disana
yang justru mampu dan sanggup untuk membiayai sekolah anaknya yang jauh dari
ini yang mungkin besar biayanya. Pun meski begitu, sekolah kami menjadi satu-satunya sekolah yang telah mendapatkan SK Menteri
se-Cilacap Barat. Banyak sekolah-sekolah lain yang menanyakan perihal cara perolehan
SK itu kepada pemilik Yayasan, yang tak
kujelaskan disini. Tetapi kami
tidak berkecil hati, meski dengan kesederhanaan tetapi kami tetap punya mimpi yang besar yang tentu untuk sebuah perubahan
yang lebih baik.
Setiap orang
pasti pernah berada dititik jenuhnya, begitupun dengan diriku yang mungkin agak
sedikit malu untuk mengakuinya. Sempat ku katakan aku tidak sanggup melanjutkan
sekolah dengan keadaan seperti itu, sempatku putuskan untuk minta pindah
sekolah bahkan untuk berhenti melanjutkan sekolah. Namun ku lihat binar mata
kedua orangtuaku, mereka menaruh harapan besar kepadaku, dengan segala
kekurangan mereka, mereka tetap memintaku untuk tetap bertahan dan melanjutkan
sekolah. Kau tau aku begitu egois terhadap diriku.
Waktu berjalan
memberiku sebuah pengertian. Aku tetap melanjutkan sekolah, meski mungkin rasa
marah ku harus tertahan, aku selalu berfikir mereka tidak mengerti apa yang ku
inginkan. Aku selalu dibuatnya merasa terkekang dan terpenjara. Aaaaaah seperti
itulah keegoisan dulu. Tidak berhenti disitu saja, kala itu adalah musim
kemarau. Dimana di tempat tinggalku ini mulai kekeringan air. Setiap pagi kita
berjalan keluar Pondok ke rumah warga
setempat hanya untuk sekedar membersihkan diri, kita menyingkat waktu ngaji dipagi hari. Air
yang ada hanya cukup untuk masak dan minum. Setiap siang sehabis pulang
sekolah, kita selalu memanfaatkan waktu untuk mencuci baju. Perjalanan yang
mungkin amat melelahkan bagi kami,
naik turun membawa baju di ember mencuci dari air sungai, yang kala itu masih
lumayan deras meski musim telah kemarau. Kali pertama mencuci baju di alam
bebas, seperti diajarkan kembali bagaimana caranya mencuci. Di tengah teriknya
matahari, di tengah lelahnya aktivitas di pagi hari. Sungguh semua sangat
melelahkan. Aktifitas kami juga tidak berhenti disitu, saat ngaji libur ataupun
jam pelajaran sedang kosong maupun sedang istirahat, kita selalu membantu proses
pembangunan bahkan sempat ku katakana pada kawanku, -ini baru namanya sekolah pembangunan, dari ngangkat batu, mindahin batu
bata, sampai bawa pasir yang udah di campur semen, aaah baru kali ini gua
sekolah kaya gini, cepat kelar aja dah, cape-. Bahkan ritual tidak mandipun
sudah menjadi makanan sehari-hari, jadi sudah hal biasa jika kami hanya mandi dipagi hari ataupun
sore hari saja”
Yah, tapi dari
cerita lama itu. Kini, diriku mengerti. Perjuangan memang tak pernah
mengkhianati hasil. Aku mendapatkan beasiswa S-1 di Jogjakarta, teman yang lain
tersebar di beberapa Kota Provinsi, Semarang dan Bandung. Ada juga di
Purwokerto, Wonosobo dan lainnya. Kami
memiliki ikatan batin dan support yang luar biasa dari semua pihak keluarga
besar “Al Mushhafiyah”. Saat masa
pembangunan itu mengajarkanku arti sebuah kerjasama, gotong royong dalam
kebersamaan, demi meniti masa depan dengan sikap yang lebih bijak dan pastinya
kesederhanaan pula mengajarkanku untuk mencapai yang tinggi kita harus
memulainya dari Nol, tidak instan dan berproses. Merangkak dengan penuh
keyakinan, bahwa Allah menjanjikan dua hal sekaligus: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. 94:5-6)
Pengalaman yang
berkesan yang pada akhirnya mengantarkanku disini berdiri disebuah Gedung
Tinggi, mengejar cita-cita yang hampir mustahil dulu.
-Renee Usshy-
Jakarta, 27 September 2017
*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan pertama, ODOP Batch 4
*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan pertama, ODOP Batch 4
Semangat menulis terus...
BalasHapusSiap komandan... Hihihi
HapusTercengang pas baca diskotik, eh nggak taunya disisi kota saeutik, hehehe
BalasHapusHehe iya mbak, biar ada bumbunya dikit critanya hihi
Hapus