![Hasil gambar untuk memeluk sahabat](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuzOpAgrhF27tcl0T0FVupDmURI5eXo4cw5bwCjYzJdnnpBNIniesEuf2g2EmrmhDg8mOQmTV_pIUG7qeMa7ZmcEWziP1WCfIsJ0TSPokhhf4B87LY3vCNHj1ZlwRb_N1AZu6g75Ri1ho/s200/20120309-123720.jpg)
Sementara Diana, kini ia berada di sebuah
rumah sakit besar di kota Bandung. Bukan, bukan ia yang sakit. Melainkan
ibunya, yang dirawat akibat kanker paru-paru yang menyerangnya satu tahun
lalu. Ia pun kini menggantikan peran
ibunya sementara, menjaga adik-adiknya. Sementara sang ayah, ia pergi bersama
pilihannya sekitar delapan tahun lalu yang meninggalkan dirinya dan adiknya
bersama sang ibu, Ia mengurus semua keperluan adik-adiknya hingga sampai dokter
mengatakan bahwa ibunya sudah baik-baik saja untuk pulang. Beruntungnya, ia
adalah salah satu mahasiswi yang pintar sehingga ia kuliah mendapat beasiswa
full.
Lusiana
termangu sebentar, di liriknya tempat duduk sahabatnya tepat di kursi belakang
tempatnya. Ia melirik diam, lalu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah luar
kelas. “Diana, kemana yah. Kok tumben gak
masuk.” Gumamnya dalam hati.
Namun,
meski begitu ia masih saja diam, seakan benar-benar tak peduli. Jam kelas pun
telah usai, ia memilih langsung pulang ke rumahnya. Saat ia bejalan disebuah
lorong kampus, ia melihat lelaki itu, iya lelaki yang sama yang ia lihat
pertama kali di lorong. Iya, dia Handy. Lelaki itu tengah berdiskusi dengan
salah satu dosen pembimbingnya.
Diliriknya lelaki itu,
memerhatikannya kembali seperti pertama sesaat ia belum tahu nama lelaki itu. Namun,
Handy pun menyadari jika ada seseorang yang tengah memerhatikannya. Ia pun
meliriknya yang membuat Lusiana menjadi salah tingkah, ia pun kemudian
menundukkan kepalanya. Namun kemudian, lelaki itu mengalihkannya kembali ke
arah sang dosen, lalu memilih beranjak dari tempat itu meninggalkkan dirinya
tanpa sapa.
Ia menyadari, bahwa kini lelaki
itu menjadi bersikap sangat dingin terhadap dirinya. “Apakah dia membenciku?.” Ujarnya dalam hati yang tersalip bersama
sesal.
Hari itu pun berlalu, dengan tak
banyak cerita. Keesokan harinya, seperti
biasa ia memulai paginya dengan semangat baru. Namun, hal yang sama juga
terjadi. Hari kedua dimana sahabatnya tak masuk kuliah lagi, ia kini mulai
sedikit khawatir. Sebab sepanjang tiga semester lalu bersamanya, ia tak pernah
absen kuliah tanpa alasan yang jelas, ia
mulai menanyakan kabarnya melalui teman-teman kelasnya yang lain. Hari itu pun
ponselnya susah sekali tuk dihubungi, namun hasilnya juga sama tetap nihil.
Ia kembali mengingat-ngingat dan
menimbang-nimbnag yang telah Rini beri tahu sebelumnya. “Apa aku salah yah? Kenapa dengan mudahnya menyimpulkan begitu aja
Lusi. Sementara lu bersahabat dari semenjak masuk kuliah.” Ia memaki
dirinya, kesal sendiri. Tanpa berfikir panjang lagi, akhirnya ia memilih untuk
izin tidak mengikuti kampus sampai selesai, memilih untuk mencari tahu tentang
sahabatnya.
“Gi, ijinin aku yah. Kurang enak
badan nih.” Pamitnya ke Anggi, salah satu teman kelasnya.
“Siap Lus, cepet sehat lagi yah.”
Jawabnya.
Ia pun segera mengambil tasnya,
dan dikaitkan langsung ke bahunya lalu beranjak pergi menuju kost-an Diana.
Setibanya disana, ia mengetuk
pintu kost-annya. Tak ada suara. Ia pun tak henti mengetuk dan memanggil
namanya. Namun, masih saja diam. Tak lama berselang waktu, ibu kostnya
menghampiri.
“Cari siapa neng?”
Ia pun menoleh ke arah suara.
“Anu bu, orang yang ngekos di kostan nomor tujuh ini kemana ya bu?” tanya ia
sembari menoleh ke pintu kostnya Diana.
“Oh, Diana yah?” ibu kostnya pun
menyadari.
Ia mengangguk mengiyakan.
Ibu kost itu pun mendekat ke arahnya.
“Sudah dua hari ini, Diana pulang kampung neng. Waktu itu terlihat buru-buru
sekali.” Jelas ibu kost. “Ada yang bisa ibu bantu?”
Ia diam sejenak. “Pulang
kampung?” tanyanya lagi. “Ke Bandung, maksud ibu?”
“Iya ke Bandung, Neng.”
Ia lama terdiam, sempat terbesit
dalam hatinya sebuah pertanyaan. “Ada apa
dengan Diana, yah? Apa aku yang udah keterlaluan, ngediemin dia?”. Hatinya
pun seolah terus mengutuk akan kesalahan dirinya terhadap Diana. “Ibu tahu,
alamatnya yang di Bandung?”. Tanya Lusiana yang kekhawatirannya semakin
membara.
Ibu kostnya pun mulai
mnegingat-ngingat. “Bentar ya neng ibu coba carikan di data penghuni kost.”
Jelasnya yang kemudian berbalik arah mencari data penghuni kost.
Lusiana pun mengangguk dan
bersabar menunggunya. Sesekali ia melirik jam tangannya, perasaannya semakin
membuncah.
Kemudian sang ibu kost itu pun
kembali dengan secarik kertas di tangannya, membawakan alamat tempat tinggal
Diana di Bandung. Perasaan Lusiana pun sedikit lega dengan didapatkan alamat
rumahnya. Ia pun sanngat berterimakasih lalu berpamit pergi dari tempat kost
itu.
Setibanya di rumah, ia terkulai
lemas. Lalu menemui sang ibunda.
“Mah …” Ia menghampirinya dengan
suara yang purau.
“Loh, kakak kenapa?” tanya sang
ibunda.
“Diana pulang ke Bandung.”
Jelasnya.
“Terus?”
“Mamah, apa dia marah sama kakak
yah? Gegara kakak diemin dia beberapa hari terakhir inih?”. Jelasnya sedikit
merajuk.
*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar