“Kalo kamu kangen, perbaiki
hubungan kalian.” Jawab gadis itu yang tak lain adalah Rini.
Ia pun dengan terkejutnya hingga
membuatnya menjadi salah tingkah. Bagaimana tidak ia ketahuan benar-benar
merindukan sahabatnya, hatinya tak bisa dibohongi meski mungkin dengan sedikit
kecewa.
“Rini?” tanya ia terkejut dan
melongok ke sekitarnya.
Rini pun mengikuti dirinya,
memalingkan kepalanya menengok ke ka kanan dan ke kiri lalu kemudian
menatapnya.“Cari siapa?”
Ia menggelengkan kepalanya. “Ng …
ng … nggak.” Bicaranya terbata-bata.“Sudah dari kapan kamu disini?”
“Belum lama.” Jawabnya singkat.
“Tapi aku tahu kalo kangen sama Diana.” Lanjutnya.
“Nggak kok.” Ia mengelak.
Rini pun hanya senyum
menyimpulkan, setidaknya gadis itu tidak benar-benar kecewa. Hanya mungkin butuh waktu untuk memulihkan kepercayaannya
kembali, sebab bagaimana juga segala sesuatu yang menyangkut hati, ia tak bisa
disalahkan. “Lus … aku mau ngomong?”
Ia mengangguk, sebenarnya hatinya
sedikit tercekal dan bergetar. Ia takut jika yang di bicarakannya nanti adalah
tentang hubungan dirinya, Diana juga Handy. “Ngomong soal apa, Rin?”
“Ngomong-ngomong dimana Diana?”
matanya melongok memandang sekitarannya pura-pura tak tahu.
“Em … Diana gak ikut.” Terdiam.
“Iyah, di agak ikut ada urusan kampus katanya.” Jawabnya berbohong lalu
kemudian menyeruput minumnya.
Matanya menyipit, “Kamu tidak
sedang berbohong kan?” tanyanya menyudutkan.
“Em, enggak kok.”
“Sudahlah Lusi, kamu tak perlu
berbohong denganku. Aku sudah tahu yang sebenernya.” Jelasnya.
Ia terdiam sejenak. “Maksud kamu apa,
Rin?” ia kembali bertanya dengan nada pelan, berpura-pura tak mengerti.
“Aku tahu tentang apa yang
sebenarnya terjadi, tentang kamu, Diana juga abang Handy.” Jelasnya. “Tapi kamu
perlu tahu, Diana tak seperti apa yang kamu fikirkan. Bahkan mungkin ia adalah
kebalikan dari apa yang kamu fikirkan.”
Ia terperangah. “Bagaimana mungkin Rini bisa menilainya
demikian sementara dia tak pernah tahu perasaanku sebenarnya.” Keluhnya
kesal dalam hati.
“Lus
… percayalah, bahwa dia tak pernah bermaksud seperti ini. Dia memang sayang,
namun untukmu. Dia rela mengorbankan perasaannya …”
Sementara
gadis itu menyelanya, “Sudah Rin, cukup. Aku gak mau denger tentang dia lagi.”
“Setidaknya,
aku tahu bahwa kamu nggak benar-benar percaya akan apa yang sudah terjadi.
Sebab kamu tahu betul dia. Dan cuma satu pintaku, beri dia waktu untuk
memberikan alasannya.” Ia pun berdiri lalu meninggalkan Lusiana seorang diri di
tempat duduknya.
Kini
ia berlalu, sembari memainkan ponselnya yang ia pegang. “Aku harap dengan ini, bisa membantu semuanya lebih baik lagi. Maafin aku
Diana, aku hanya bisa bantu dengan cara ini.” Ujarnya dalam hati. Kemudian,
sesekali dalam langkahnya ia menengok ke arah belakang tempat dimana ia
meninggalkan Lusiana seorang diri. “Semoga
kamu bisa menimbang dan menyadari yang sebenarnya ya.” Lanjutya berkata dalam hati.
Lusiana
pun tampak sedang menimbang-nimbang, sekaligus mengingat-ngigat kesalahannya. “Aku
yang terlalu egois, atau memang ia seorang pengkhianat.” Ia bergumam dalam
hatinya.
Yang
kemudian sesekali membuka ponselnya dan melihat kebersamaan keduanya yang
terangkum dalam sebuah album bernama galeri foto.
Sementara
Rini pergi, ia juga mendapatkan kabar dari temannya di Canada. Betapa senangnya
menerima kabar yang berkata. “Aku kan ke Indonesia dengan segara. Tunggu aku
ya, Rin.” Tertulis dalam pesannya demikian. Ia pun menyunggingakan bibirnya,
tanda senang.
***
“Kakak
mau pulang kapan ka? Ibu sakit.” Suara seoarang anak kecil di penghujung
telefon.
“Sabar
ya, dek. Bentar lagi kakak pulang. Bilang sama ibu, harus tetap semangat ya,
dek.” Jawabnya berusaha memberi ketahanan.
Suara
itu pun tak asing baginya. Gadis itu pun menutup ponselnya dengan sedikit
kekhawatiran. Ia menyeka matanya dari tangisan yang hampir mematahkan semangat
hidupnya.
Ia
berdiri dan bergegas cepat membereskan pakaiannya. Tak lupa ia mengambil
ponselnya untuk meminta izin beberapa minggu ke depan.
“Baik,
saya izinkan.” Jawab pesan balasan salah sau dosen.
Kini
gadis itu, Diana. Segera pergi kesebuah terminal bus, untuk naik angkutan umum ke
arah kampong halamannya di kota Bandung.
Keesokan
harinya, disebuah kelas kampus.
Hari
itu, suasana pagi begitu menyegarkan dengan udara ibu kota yang sedikit segar
dari biasanya karna hujan baru saja membasahi tanah. Sementara sisa-sisa
embunnya, masih menempel manja pada dedaunan juga kaca-kaca rumah. Bersama mimpinya
ia terbangun, menyadarkannya bahwa ia harus pergi tuk kuliah.
Setelah
kemudian berbenah diri, Ia segera melajukan motornya ke arah jalan menuju
kampus. Setelah beberapa menit dalam perjalanan, kini ia telah sampai dan
segera masuk ruang kelasnya. Namun nampaknya, sesuatu ada yang berbeda. Tatkala
ia menyadari, tak ada sapanya yang selalu menyambut harinya.
Gadis
itu pun melirik jam tangannya, yang ia selingi dengan melihat ke arah pintu. Ia
seperti sedang menunggu sesuatu, namun enggan membicarakannya. Gadis itu
menengok kiri-kanan dari tubuhnya. Hingga jam masuk pun tiba.
Disisi
lain, ada Rini yang tengah begitu senang, mendapatkan kabar dari Kak Ester,
juga Kak Julia untuk kunjungannya ke Indonesia, dengan sesuatu yang special ucapnya.
“Aku
kan mengabarimu lagi, ketika nanti kita telah sampai di Bandara Jakarta.” Ucap
Ester di ujung telefonnya.
“Baiklah ka. Kabari aku, kalo sudah sampai. Hati-hati ya
kak.” Jawabnya dengan riang. Kemudian ia pun menutup teleponnya.*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar