![Gambar terkait](https://data.whicdn.com/images/581520/large.jpg)
sumber gambar: weheartit.com
“Aaaaa ....” teriaknya begitu
kencang dengan ketakutan. “Bibi … bibi ….” Ia terus memanggil bibinya dengan
suara yang amat keras. Badannya lemas, wajahnya memucat, keringat di tubuhnya
kini mulai bercucuran. Sementara kakinya bergetar termakan ketakutan, suaranya
risau dengan bersama isak tangisnya.
Bibi pun menghampiri dengan wajah
pasi sebuah kekhawatiran, “Ada apa? Kamu kenapa?” tanyanya seperti wartawan sembari
menyeka tubuh mungil gadis itu yang hendak kan pingsan.
“Jauhkan itu dari hadapanku bi.” Matanya
terpejam tak mampu memandang. Ia hanya menunjuk telunjuknya ke arah tumpukan
majalah lama yang tersimpan rapih di sebuah kardus yang telah lusuh.
Tanpa aba-aba lagi, bibinya pun
segera menoleh ke arah kanan dan ke arah kiri, mencari sesuatu yang panjang untuk mengusirnya
secara paksa. “Hus, hus … pergilah kau!” Usirnya dengan sapu. Lalu kemudian, ia
menolehkan pandangannya kembali pada gadis mungil itu. Dan menatapnya dengan
begitu dalam. “Kamu? Katanya dokter hewan. Cuma sama tikus seekor saja, tanganmu sudah panas dingin seperti ini,
bagaimana dengan hewan yang lain?” gurau sang bibi.
Ia hanya tersenyum, dan mengakuinya mesti tak secara nyata. Tubuhnya kini
benar-benar kehilangan hidrasi, matanya sayu, suaranya terengah seperti berlari.
“Kayanya, aku gagal jadi dokter hewan. Apa yang dikatakan bibi barusan memang
benar.” Fikirnya kembali meronta.
Gadis mungil itu bernama Dea. Ia menyadari
bahwa ketakutannya, mungkin tak wajar. Namun, entah bagaimana ia tak mampu mengelak. Sepertinya, kisah lama itu
meninggalkan traumatisnya hingga
kini.
“Hei!” sapa bibi memecah lamun. “Sudah
jangan banyak melamun, kamu pasti bisa. Pelan-pelan saja.” Terangnya memberi
harap baru, dengan sembari mengelus punggung tangannya Dea.
Gadis itu pun tersenyum. Saat ia
kembali memupuk harapnya, ia menyadari bahwa mimpinya sekaligus melepas
belenggu traumatis dalam dirinya sendiri. Kemudian agak lama, indra penciumannya
begitu pekat akan bau yang tak lagi asing untuknya. “Huuuum ….” Katanya setengah
berbisik. Matanya terpejam menikmati, sementara hidungnya mencoba mengendus-ngendus
aromanya.
Bibinya pun, mulai ikut
mengendus baunya. “Duh … wanginya.”
“Kuwah itek?” tebak keduanya saling
memandang. Mata Dea pun membelalak senang, dan seakan memberi tanya benarkah?. Sebab
ia tahu betul bahwa itu adalah kuwah itek, makanan kesukaannya. “Bibi buat
kuwah itek?” lanjutnya bertanya.
Namun ternyata, pertanyaanya
menyadarkan bibinya. “Astaga, bibi lupa.”
Matanya membelalak. “Bibi masih masak,” ia segera melepas tangannya yang sedari
tadi menggenggam tangan Dea. “duh bisa-bisa bebekku kering.” Teriaknya sembari berlari menuju arah dapur.
Dea pun hanya tertawa melihat
tingkah bibinya. Ia pun dengan segera mengikuti bibinya ke arah dapur. Meninggalkan
sesuatu di tempat sana, tanpa ia sadari.
Setelah beberapa waktu ia membantu bibinya, kini ia tinggal menyantap
kuwah iteknya. Meski rasanya sedikit berbeda, namun tak mengubah mood makannya. Sore itu, ia memilih menyatapnya di bawah pohon mangga
yang berada di pekarangan rumah bibi.
Ia makan dengan begitu lahap, kuwah
itek –jenis makanan khas Bireun-Aceh yang
artinya gulai bebek- adalah makanan kenangan dirinya selapas orangtuanya
meninggal. Kuwah itek juga bentuk kerinduan bagi dirinya.
“Aku rindu Pak, Bu.” Hatinya berbisik,
sementara tubuhnya ia sandarkan pada batang pohon itu. Hatinya bergolak,
meminta temu. Namun menyadari, bahwa itu sebuah ketidakmungkinan.
Matanya kembali terpejam,
bayangannya jelas menari dipelupuk mata. Semilir angin di sore itu memberi
sunyi juga tenang. Nuansa nan syahdu, ketika ia membuka matanya, pelangi di ujung senja memberi suratan dan
goresan senyum dibibirnya yang tipis. “Kata orang, jika ada pelangi saat kau
merindu. Maka, orang yang kau rindui juga tengah hadir melihatmu merindu. Benarkah
demikian Pak, Bu?” ujarnya dalam hati yang kemudian tersimpulkan oleh senyum.
Kini ia menyadari, senja semakin
jingga. Waktunya ia masuk kedalam rumah. “Dimana sandal jepitku?” ia bertanya. Mengingat kembali memory dalam
otaknya. “Bukannya aku tadi dibelakang mencari sandal jepitku yah?” ia kembali
bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mengingat-ngingatnya kembali. “Ah,
ku rasa tadi aku kesini pakai sandalnya.”
Ia mengelak.
Ekspresi di wajahnya tak dapat
dipungkiri, bahwa ia tengah berfikir keras mengingat-ngingat memory dalam
otaknya. “Atau … aku lupa naruh yah?” ujarnya mencoba menerka. “Ah, biarlah.” Ia
pun pasrah melupakannya.
Terkadang ia menjadi pelupa, acap kali trauma itu dirasa. Kini, ia
melangkahkan kakinya, menuntunnya turun dari kursi yang di sandarkan di bawah
pohon itu. Tetiba, seekor tikus melintas. ‘Pyaaaaaaaaar’
“Bibiiiiiiiiiiiiiiiii ….” Teriaknya bersamaan mangkuk yang jatuh dan pecah.
Selesai.
Selesai.
#TantanganFiksiODOP
#LimaKataKunci
wow, keren euy tulisannya. mau dong kuwah iteknya..!
BalasHapusalhamdulillah kmarin malam, saya makan kuwah itek hahaha
HapusUdah menggantung gak yah, endingnya mas?? hihihi
Kuwah iteknya menggoda..
BalasHapustapi aku bacanya kue tadi wkwkw
Hahaha soal makanan mah nyambungnya kemana aja ya mas wkwk
HapusMantap dah! Cuma ada sedikit koreksi.
BalasHapusJauhkan itu dari hadapanku bi. Harusnya: Jauhkan itu dari hadapanku, Bi.
Sama kata 'fikir' yang benar 'pikir'.
Oya iya mas, terimakasih sudah mengingatkan..
HapusLain kali nanti, aku kebih perhatiin lagi 😁
Hmm...ceritanya sederhana, sesederhana kalau bertemu seeekor tikus...lariiii....😂...Sukses ya...
BalasHapus😂😂😂 Tapi si dea malah nangis wkwk
HapusBagus mbak...berhasil bikin penasaran
BalasHapusHihihi, tp ndak tahu klo versi cerpennya 😭
Hapus