Rabu, 18 Juli 2018

Perihal Rasa dan Lara


Bolehkan kubercerita tentang asa yang kini melara, rasanya menjemu habiskan dera. Bukan sebab datangnya pada singgasana, namun tersabab dilema yang kini kurasa. Dengarlah, wahai engkau nyanyian. Pernahkah sua meminta pada malam yang kelam? Di bawah lembayun temaran yang hening mengucap cerca.

Kumenipis hadir bukan tiada harap sebuah temu, namun naluri menjalar kabarkan iri. Menggelegar bak petir, menyentak dinding-dinding gua yang dingin. Haruskah kuteriakan engkau tepat dipendengaranmu, agar kau mengerti kuingin menepis rasa.

Namun lagi, kau terus mengiang dendangkan pujian. Bolehkah sekali lagi kutepis? Sungguh berat suaramu membayang nyata di pelupuk mata. Apakah kau sengaja? Hadir saat lara membekas dalam, luka yang mulai menanah karena harap sedari dulu yang pernah kau tepis.

Pergi saja, tanpa menaruh hati. Bisa kan?

Namun, lagi. "Tidak ada pertemuan tanpa sengaja." Ucapmu. Haruskah ku katakan bahwa kau adalah takdir, sungguh aku ingin, tapi tidak. Asaku mengingatkan bahwa kau adalah tamu yang cukup ku tawarkan segelas air, bukan sekeping hati.

Bisakah selagi lagi kupinta, pergilah tanpa perlu aku tahu kemana dirimu kan berlalu. Agar rasa yang terlanjur tumbuh itu mati, mati tanpa harus menangisimu.



Tangerang Selatan, 18 Juli 2018
-Renee Usshy-

4 komentar:

  1. Aaaaaaaa akak rene, aku always sukaaa saam tulisann muuu

    Peluk cium dari aku -Ndahe-

    BalasHapus
    Balasan
    1. uuuuuh .... peluk peluk sini..
      klik suka sekali kalo dua kali nanti gagal suka de wkwk

      Hapus
  2. Maasha Allaah,, indah.. bacanya jadi 'nyes' gitu di ati, hehe

    BalasHapus
  3. mandeg wkwkwk
    jangan lupa minum ka filzah, biar gak bafer wkwk

    BalasHapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...