Rabu, 31 Januari 2018

Gerhana Kepekatan

Gambar terkait

Jingga memerah menutup gelap. Dari senja yang kini berlalu. Resau angin menyilau mata, menyambut hangat tubuhku yang dingin disapa hujan yang tiba.

Pintu surau mulai tertutup, dikala sepasang mata memilih terbuka menyaksikan cinta. Orang-orang berlari melunglai dengan pelan bersaksi. Biru pekat, bersinar ditengah sana, menampakan keindahan warnanya dalam sembilu luka.

Berubah memudar membiaskan warna. Merah mendarah berbagi, seperti sebuah warisan lengkap dengan asistennya. Terbias bebas merangkul indah. Sampingnya, kecil bersinar terpancar menutup malam.

Sepi dalam keramaian menjamah hati, menyimpul teori dari praktisi berdiam diri. Rona pipi memerah pucat, adilkan rindu. Sementara disana, masih saja terang dan besar tinggalkan harapan. Dingin kembali merangkul hangat tubuhku yang kelu.

Ditengah ujung sana, langit menderang tertutup awan berkabut. Kupandangi dalam alam sadar, mencoba menerka sebuah dugaan. Purnama bersinar oleh kepekatan warna biru yang memudar. Menyembul mata mengarahkan pandangan.


Takbir menyapa tuntaskan cerita. Menguat jiwa dari lemahya asa. Gerhana membisu dalam kesunyian jiwa yang ramai menanti datangnya kisah.

*selesai

#Day21 #30WC
#OneDayOnePost
#Paradoks.

Selasa, 30 Januari 2018

Balada Masa Lalu

Hasil gambar untuk balada rindu


Disebuah sekolah bernama SMK Darussalaam, tengah mengadakan wisuda perpisahan kelas XII. Ada Kartini, cewek tomboy dengan rambut panjang yang selalu diikat gelung. Tak lupa pula ia selalu melipat lengan bajunya hingga sesikut tangannya. Gadis itu bahkan memilih mengenakan celana ketimbang rok seperti wanita yang lainnya.

“Ih gila saja, ngapain sih mesti pakai kebaya.” Kartini mendumel.

“Lho bagus lah. Gue pengen lihat loe pakai kebaya.” Timpal Anis dengan sedikit terkekeh.

Lisa memotong, “loe itu sebenernya cantik, Kartini … ya, hanya saja … loe terlalu cuek sama diri loe sendiri.”

“Alah … loe pada emang sengaja.” Jawab Kartini.

***

Hari perspisahan itu pun tiba, ia menyadari bahwa tidak semua pertemuan dapat memberikan cerita yang abadi. Sebab yang abadi adalah Illahi Rabbi. Dan selalu ada perpisahan setelahnya.

Hari itu, tepatnya hari Sabtu.

Sorak teriakan para siswa menggema hingga ujung sekolah, antara tentang degup akan hasil ujian jua sebuah perpisahan. Tapi tak berhenti disitu, justru mata mereka tertuju pada sesosok gadis manis yang sangat-sangat anggun.

Para siswa laki-laki, mereka berhamburan  keluar seperti baru saja terkena bencana untuk sekedar melongok siapa gadis yang tengah menjadi buah bibir dijagat sekolah itu. “Eh … eh, ada apa lari-lari?” Fian mencegah teman-teman yang lain.

Beberapa orang menghiraukannya, meski ada yang menjawab; “ada cewek, cantik banget ka.” Jawabnya polos.

Fian kembali menghiraukan. Segera ia berlalu dari depan ruangan kelasnya menuju kantin.

“Hai, Fian.” Heri menyapa. “Kau tahu, Fian?”

“Tau apa?” jawabnya tanpa basa-basi.

“Kartini, hari ini cantik banget.”

Fian tersedak, uhuk. Ia segera mengambil segelas air minumnya, diteguknya pelan. “Apa? Loe kaga salah? Seorang dia doang loe percaya.”

“Gue, se … se ….” Ia tetiba menjadi gagap kala matanya tertuju pada sesosok wanita yang tengah dibicarakannya.

“Se, sa, se. Ngomong yang jelas loe.” Jawabnya sedikit tak ramah.

Heri pun  dengan memaksa membalikkan tubuh sahabatnya. “Itu, Kartini.” Bisiknya tepat ditelinga.

Fian pun terkejut, hingga menelan air liur. Matanya terbelalak, hampir tak terkendali. Kartini, cantik sekali. Benarkah ini, Kartini? Hatinya berbisik mencari pembenaran. Hahahaha. Fian menertawakan pakaiannya Kartini. “Eh, Kartini. Loe itu gak pantes pakai rok, apalagi pakai seragaman baju kebaya seperti itu.” cacinya.

Wajah Kartini mulai memerah, mungkin emosinya kembali bangkit setelah hampir tunduk. “Apa loe bilang? Gue juga gak suka pakai begini. Ribet.” Jelasnya dengan sedikit kesal.

Meski dalam hatinya ia mengatakan; keterlaluan, untuk lelaki itu. ia berusaha menyapanya dengan senyum, namun justru penghinaan. Menurutnya.

Akhirnya ia pun memutus tuk pergi, sementara derai air mata basahi pipinya yang tirus.


***

Kartini mengusap album tua yang kini telah berdebu, mendekapnya erat. “Ini adalah sebuah balada rindu mencintamu dalam diam. Tanpa loe pernah tahu bagaimana perasaan gue yang sesungguhnya. Dan kali ini, gue cuma berharap bisa ketemu lagi sama loe, Fian. Gue  sudah meninggalkan pakaian tomboy gue.” Ia tersenyum, tanpa disadarinya, air matanya terjatuh akan rindu yang kini datang bertamu.

(TAMAT)



#Day20 #30DWC
#OneDayOnePost

Senin, 29 Januari 2018

Si Bungsu dan Album Abu



“Hi, Rene. Kau masih ingat?” temanku memulai pembicaraan.

“Dulu itu, kamu paling kecil, pendek pula. Dan yang pastinya, selalu  menjadi si bungsu.” Jelasnya.

Aku tersenyum sembari menutup mulutku rapat. Tersipu malu. “Apa kau juga ingat, Kak?” aku  bertanya. “Dulu, kamu sering naik meja dan jahili anak-anak yang pendiam. Dan membuatnya nangis hingga meminta pertolongan. Hahaha.” Jawabku terkekeh.

Ssssssst. Ia berisyarat bersama tawa. “Sekarang kamu tinggi, dan masih kecil. Hahaha.

Aku kembali tersenyum. Disisi lainnya, aku merenung. Betapa kusadari dulu, memang paling kecil dan paling pendek. Siapa sangka sekarang aku tinggi, meski badanku tetap saja kecil. Hahaha.

Pernah suatu hari, kutemui guru Taman Kanak-Kanak ku dulu. Betapa ia kaget bersama candanya, yang mengatakan, dulu aku begitu kecil dan pendek. Kemudian, beliau mengatakan; “yang sok-sok an pengen gendong temannya, sampai jatuh mimisan.” Beliau mengakhiri dengan kekehan tawanya, “yang kecil-kecil, udah ingin sekolah.” Candanya.

Ah, kalau diingat, rasanya wajahku seperti kepiting rebus yang baru saja diangkat dari perapian. Iyah, merah sekali, bukan? Antara malu, haru dan rindu. Terbalut jua membalut diri yang membelenggu. Belenggu sebab alasan mengapa tidak sedari dulu saja aku menjadi pendiam. Bukan tanpa alasan, kenakalan yang pernah ku lakukan yang kini meninggalkan cerita yang bernama rindu jua maaf.

Bila saja dapat bertemu seutuhnya dengan mereka dalam satu waktu, takkan pernah selesai kuceritakan kenakalanku dulu saat bersamanya. Hanya sekedar ingin meminta maaf. Dan aku pun takkan lupa tentang apa yang harus memisahkan kita.

“Dan juga salah satu dari lima yang belum married.” Lanjutnya sedikit mengejek.

Yuah, aku kembali terkekeh. Apa yang dikatakannya memang benar, tak perlu kusembunyikan nyatanya. “Tak apa, usiaku memang tidak sepantaran kalian.” Jawabku membela diri.

Setelah beberapa menit saling melepas rindu, meski kini temu tak lagi menjamu. Tapi doaku tetap untukmu. Wahai sahabat-sahabat kecilku, dimanapun kalian kini. Entah dengan kehidupan barunya bersama keluarga kecil. Percayalah dan ingatlah, bahwa kita pernah berjuang bersama menuntaskan perjuangan yang diraih dengan kertas bernama Ijazah. Maka jagngan biarkan waktu membuat kita takluk, hingga menjadikannya sembong karen tidak saling sapa.

Kututup telfonku. Kembali ku mengingat, pada sebuah album abu yang kupegang. Yang kini meninggalkan warna buram pada tiap lembaran fotonya. Ah betapa ku merindukan semua. Sehat-sehat kalian disana.

*selesai.

#Day19 #30DWC
#OneDayOnePost
#KenaganMasaKecil

Minggu, 28 Januari 2018

Kemarin, Bunda!

Hasil gambar untuk rindu bunda
Sumber gambar: Puisi-mania.info



Kemarin,
Aku masih merengek tangis meminta cicis
Menyisakan sesal yang makin kesal
Kemarin,
Aku masih bersikukuh, memohon harap, meminta kabul.
Kemarin,
Kala layang-layang terbang tinggi lalu menjauh
Kita mengejar tanpa pernah lelah

Tapi kini ...
Kini, kumulai menata hidup membangun diriku
Kini, saat dunia pun dalam genggaman
Kuterperdaya karena kilaunya

Andai menjadi masa kecil adalah pilihan,
Maka biarkan kumemilihnya.
Sebab mata ini telah lelah menyimpan beban

Bunda ...
Tetaplah menjadi rumah untukku
Memberi yang tak pernah ingin mengambil kembali
Lebih dari sekedar lembaga pendidikan bernama sekolah.



#30DWC #Day18
 #OneDayOnePost

Sabtu, 27 Januari 2018

Merajut Rindu


Ketika teriknya bersembunyi dibalik awan, sementara bulirnya bersemayam pada dedaunan. Ia menengadah dipinggiran danau, berharap hujan turun dengan derasnya. Minimal memberinya jeda untuk kembali  bertemu dengan sang kekasih hati. Seharusnya.

Gadis manis, berkumis tipis dengan pipi yang sedikit chubby itu menyeka matanya, air matanya tak henti turun membasahi rona pipi. Tangisnya hingga menyedu, sisakan sesak didada. Ia harus kembali bergulat dengan rindu. Pikirnya.

“Dik …” Johan memanggil dari arah belakang punggungnya dengan pelan.

Dik, panggilan yang dituju untuk gadis bernama Sista. Ia diam, tak bersuara. Hanya menghapus air matanya, mencoba merapihkan sisa-sisa tetesannya yang kini membekas sembab dimata.

Johan menghampiri gadis yang tengah duduk seorang diri itu. Ia menoleh diam, ia pun tak bisa bergeming. Baginya waktu bergitu cepat berlalu. Hening.

“Dik, kau menangis?” Johan memulai  pembicaraan,

Sista masih terdiam, memalingkan wajahnya kearah berlawanan dari pandangan Johan. Menyeka kembali bulir-bulir tetes air matanya, pelan.

“Coba kau tengok aku?” lanjutnya, dengan memegang kedua pipi Sista mencoba memalingkan wajah gadis itu ke hadapannya.

Mata Sista terpejam, dan membuka mata saat matanya berpapasan dengan lelaki yang tak asing dalam hidupnya.

Ditatap lembut mata gadis bermata sipit itu, masih terlihat binar dimatanya yang membendung, “kenapa menangis?” ia mencoba menyeka air mata yang tersisa di ujung mata Sista.

Sista hanya membalas dengan senyum. Menjamah jari besarnya Johan yang masih memegang pipinya, mencoba meraup hangat kasih sayang lelaki dihadapannya, dengan bersandar pada punggung tangannya. Matanya kembali terpejam, menikmati hadirnya. Kuharap tetap seperti ini.

“Kau tak perlu menangis, Dik. Aku hanya pergi untuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti kan kembali pada dirimu. Tapi kau jangan nakal, aku pasti kembali.”

Gadis bernama Sista itu pun memukul tangan Johan yang masih memegang pipinya. Uh.

“Duh, kok dipukul sih, Dik? Sakit tahu?” alih-alihnya dengan manja.

“Itu lagu Pasto, Mas.” Jawabnya manja, dengan sedikit senyum.

Johan pun mendeham tawa.

“I i i ih, nyebelin.” Rajuk Sista.

“Nah gitu dong, senyum. Jangan cemberut mulu,” rayunya, “kamu makin terlihat manis kalau tersenyum.” Johan pun tersenyum.

“Au aah.” Jawabnya, mengode perhatian. Hening. “Mas …” lanjutnya, “kamu jadi berangat malam ini?” suara Sista kembali purau, ia mencoba menata hatinya.

Johan menatap pelan, lalu kemudian memalingkan wajahnya. “Iya, Dik.”

“Harus malam ini juga ya?”

Johan mengangguk-angukkan kepala, pertanda iya. “Seharusnya kemarin malam, Mas sudah harus berangkat, Dik.” Jelasnya.

Deg. Penjelasan Johan kembali menghentak jantungnya, irama hatinya kembali tak menentu. Menggema rindu, berprotes waktu. Kenapa harus secepat ini?.

“Aku masih rindu.” Kalimat itu pun terlontar dari bibirnya yang mulai kelu.

Johan terdiam, direngkuhnya tubuh Sista yang kecil dalam dekapan bahunya yang kekar. Dipeluknya erat, menumpah rindu yang semakin berat.

Sepasang kupu-kupu kecil berwarna kuning menghampiri, seakan memberi arti persetujuan diri. Ia terbang mengitari, tanpa mengusik jiwa yang saling merindui.

***

Senja kini berlalu, gelapnya pertanda hari sudah malam. Suasana perkampungan yang masih asri di pegunungan teh, mendukung diri untuk tidur. Seharusnya. Jangkrik-jangkrik yang terdengar semakin ramai memecah lamun, gerimis sore itu menambah kesan romantis pada kulit yang berbalut dingin.

Johan yang sudah rapih bersama kemasan barangnya, siap kembali bertarung dikota pencakar langit, metropolitan. Meninggalkan kasihnya, yang kini kembali harus merajut rindu.

“Mas berangkat ya, Dik.” Pamit johan, sembari mengulur tangannya.

Sista pun menerima jabatan tangannya, lalu menciumnya tepat dipunggung tangan. Menggambarkan arti sebuah kepatuhan.

“Jaga diri kamu baik-baik ya.” Tangannya mengelus-elus lembut pipi Sista, kemudian dikecupnya kening gadis itu. Ia raih tubuh gadis itu, dipeluknya erat.

Kepala Sista tepat dibahunya, air matanya kini kembali menetes tumpahkan rindu yang kembali meraja. Begitupun dengan Johan, matanya kini terlihat berbinar tinggalkan sendu.

Iya, namanya juga lelaki. Yang selalu menyimpan tangis, hanya karena tak ingin terlihat lemah.

Dilepaslah pelukan itu, tanpa melihat kembali wajahnya ataupun bahkan saling menatap mata. “Pak, Bu. Johan berangkat dulu ya.” Lanjutnya pamit kepada Bapak, Ibu mertuanya.

Ia segera masuk dalam mobilnya, mobil berwarna abu dengan aksen biru muda. Ia menatap dalam kaca mobilnya. Maafkan Mas, Dik. Sejak pernikahan enam bulan  lalu, Mas tidak pernah bersamamu. Dan sekarang, Mas pulang hanya sebentar tinggalkan sesak rindu yang semakin menggebu dihati. Tapi percayalah, Dik. Mas sellauingin bersamamu, setiap waktu. Meski sekarang, Mas harus rela melepasmu. Mas janji, Dik. Ini terakhir Mas meninggalkanmu. Mas, akan segera urus perpindahannya. Hatinya berbisik, bersama tangis yang tak mampu lagi tertahan.

Ia pun mulai menghidupkan mobilnya, lalu membuka kaca mobil. Terlihat sang istri melambai tangan, yang ia sambut dengan senyum. “Mas berangkat ya, Dik. Assalamu`alaikum.” Tak lupa pula ia melambaikan tangannya, lalu menutup kaca mobilnya. Dilajukannya mobil itu.

Mobil berlalu, Sista memilih berlari menuju kamarnya. Menghabiskan rindu yang semakin menggebu, begitupun dengan Johan. Ia pun tak mampu lagi berpura-pura. Tangisnya membasahi foto, yang sedari tadi ia pegang bersama setir mobil.

*selesai.


***
Mungkin seperti itu, rasanya LDR an pas udah nikah. Nyesek yah :D


#Day17 #30DWC
#OneDayOnePost
#FlashFiction #LDR

Jumat, 26 Januari 2018

Adalah Alasan



Gambar terkait
Sumber gambar: Intisari Online - Grid.ID


Sebuah kisah menjamur lara, pada rona kasih tumpukan cerita. Bisukan nyali yang berjiwa pada hati yang membara. Kepingan luka lama hancurkan percaya, tiap-tiap jiwa yang merana mengharap iba. Bak para durjana, memanah pinta, meminta paksa.


Iris, meringis, sisakan tangis. Deritanya meraba, menyapa lara. Kala kilau sebuah manis menyimpul bengis, oleh perilaku yang terbentuk iblis. Kecewa nampak hingga pelipis, menyiutkan manis dibibirnya yang tipis.

Tak ingin mengingat, ciptakan kenangan. Apalagi menyimpannya dalam bayangan. Namun, hanya bibir yang mampu bilang, nyatanya semua terkenang dalam ingatan. Dalam semua angan yang hampir terbang, matikan asa saat saling berpegangan. Hanya karena alasan yang saling bertentangan, hingga menjauhkan diri, melepas tantangan.

Sakit ku hiraukan, meski hati bernanah meminta pertolongan. Adakah ruang permohonan dimaafkan, dari harap pembebasan kesepian. Kesendirian menyindir oleh sesal yang mengukir, tinggalkan singgah bernama pertahanan.

Kesepian menjalara lara, dari keputusan mencerai kata. Ciptakan sunyi bertahta dari kilau kemintang yang menyapa. Adakah ruang permohonan dimaafkan, dari rasa yang sudah menderita.

Adalah belajar. Proses menyingkap, pelengkap ikatan pasangan. Meski kadang derita menyapa berpapasan. Adalah belajar, turunkan keegoisan. Meski kebenaran bersebelahan. Adalah belajar, ciptakan keharmonisan. Dari sekecil kesalahan yang mungkin bertentangan.


#Day16 #30DWC
#OneDayOnePost
#Prolis #Kesempatankedua

***
Sepenggal kata dalam prolis ini, tercipta dari based true story orang terdekat. Sebab ternyata lara tercipta karena diri tak ingin mengerti, sementara solusi hadir menghampiri seiring masalah terjadi. Hanya perlu, siapkan hati yang lapang, menerima akan problematika kehidupan. Sebab segala sesuatunya pun memiliki kadar. Jangan mudah takluk hingga membuat terpuruk. Sekali lagi, hanya perlu hati yang lapang, menerima kekurangan. Sebab kesempatan kedua berhak didapatkan untuk ciptakan pembelajaran.

Hasil gambar untuk AL BAQARAH AYAT 286
Sumber gambar : Dailymoslem

Kamis, 25 Januari 2018

Catatan Pernikahan (Part 5)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/ percikan iman online

“Neng …” Ian masuk tanpa salam.


Dyah melirik kaget, menumpahkan air kopi yang sedari tadi diminumnya. “Loh? Tumben pulang cepet?”

”Kamu apa-apaan sih, Neng?” suaranya terhenti, tetiba dalam hati berbisik harus tahan dan pura-pura tidak tahu. Namun, ia pun tak bisa bungkam begitu saja. Sesak amarahnya menggumpal seperti bola salju yang siap dilempar. “Ada apa kamu sama Yoga?” teriaknya membari membanting pintu.

Jebreet. Suara bantingan pintu itu terdengar hingga ke tetangga. Satu-dua tetangganya mulai menengok ke arah sumber suara, sebagian yang lain memilih menguping.

Saat waktu bersamaan, Kifa datang bersama ibu mertua juga adiknya. Tak lupa pula anaknya dalam gendongan. Ia menyusup masuk tanpa permisi, tinggalkan pertanyaan yang membekas dihati. “Duh, ada apa ayah? Kayanya, akan ada perang saudara nih.” Bisik suara tetangga.

Kifa menghiraukan keramaian.  Emosinya memuncak bak gunung mengeluarkan lahar. “Eh jablay, anjing loe …” Kifa menarik bahu Dyah, dan menjambak rambutnya. Suaranya meninggi meskipun sedikit purau, “mau loe apa, hah? Loe mau … mau ngehancuri rumah tangga gue, hah?” lanjutnya yang tersedu bersama isak tangis yang menderu.

Anjing, loe. Sakit taek,” jawab Dyah tidak kalah emosi, “tanyain laki loe. Anjing loe, apa-apaan coba?” suaranya pun meninggi, ia membalas menjambak rambut Kifa.
Dita merengkuh bahu Kifa, berusaha memberinya ketenangan. “Entar dulu,jangan emosi dulu. Kan tadi bilangnya mau dibahas kekeluargaan aja.”

“Diam loe!” jawab Kifa kalaf, mendorong bahu Dita ke tembok.

Bruuuuugh. “Aaw.” Jerit Dita kesakitan.

“Sabar, Kifa. Sabar.” Ibu Wiwid menahan tubuh Kifa yang bergolak menyambar tubuh Dyah.

Dita dengan rasa ibanya, mengambil alih bayi yang sedari tadi ikut terkoyak-koyak emosi ibunya. Dilepaslah gendongan dari sang ibu, kemudian ia membawa keponakannya pergi keluar. Ditatapnya wajah para tetangga yang sedari tadi memerhatikan, seperti halnya film disebuah bioskop.

Ian tak berdiam diri, ia mencoba melerai pertengkaran yang terjadi. “Neng!” teriak Ian, “kamu itu udah punya suami, hargai aku. Aku masih suami kamu. Jaga sikap! Jangan kegatelan! Dia itu adik iparmu, bukan oranglain.” Sentak Ian bersama emosi.

“Wah … si Ian bisa marah ternyata.” Bisik para tetangganya.

Tetangga yang lain menampalinya, “iya, ya. Serem juga ternyata.”

“Kasian Mas Ian ya, kerja cap’ek-capek, istrinya begitu.” Sahut tetangga yang lain, “sabar banget ya jadi Mas Ian.”

“Ih kalau gue jadi dia, udah gua tinggalin itu bini.” Sahut yang lain tak kalah sinis.

Dita mendengar percakapan yang dibicarakan para tetangganya. Namun ia hanya diam, masih menimang bayi Kifa yang terus menangis.

Beberapa waktu kemudian, masih kegaduhan itu belum jua selesai. Orangtua Dyah datang, dan pekarangan rumah sudah ramai menjadi tontonan gratis tetangga.

Namun kedua orangtuanya tak banyak tingkah, seperti layaknya orangtua pada umumnya yang ketika melihat anaknya dipojokkan. Lain kini, dengan orang tua Dyah, mereka justru hanya melihat seperti sesuatu itu sedang tidak terjadi terhadap anak perempuannya. Ya, hanya beralasan tersabab sakit yang diderita.

Suasana hening seketika, tatkala kemudian Yoga datang.

“Tuh, tuh …” ucap Safina, tetangga depan rumah Dyah, “Yoga datang.” Ia menyenggol sikut Rahayu.

“Tau nggak? Kan dia dulu kenangan masalalunya Yoga. Jadi wajar aja, jadinya begini.” Ujar Nana.

“Husst, diem.” Sahut Rahayu.

Yoga datang dengan tergopah-gopah, seperti dikejar anjing. Ia langsung masuk kedalam rumah, menenangkan istrinya. Dipeluknya Kifa, ditubuhnya yang kekar. Tangis Kifa meraung seperti auman serigala, sembari memukul-mukul bahu Yoga.

Sementara Dyah, masih menggerutu.


*bersambung
(Maaf ada kata-kata yang sangat kasar ditulisan, tidak bermaksud apa-apa. Hanya sekedar pendukung sikap kalaf dari sebuah emosi para tokohnya.)

#Day15
#30DWC
#OneDayOnePost

Rabu, 24 Januari 2018

Hukuman Penelitian

Hasil gambar untuk ruang penelitian
Sumber gambar: khairullahbinmustofa.blogspot.com


Sepirit harap mengangka langkah, menjemu asa yang sempat marah. Terlebih lelah telah memilah, pada sisa tenaga yang hampir punah. “Jangankan sisa makanan, sepotong kunyit pun tak akan ku ampuni. Dikira, penelitian ini gampang?” suara Ainun meninggi, membelah emosi.

Ruang 2 X 3 m, dirasa terlalu sempit untuk sebuah ruang penelitian. Banyak aktifitas yang memerlukan gerak lebih gesit dari sekedar duduk memantau tabung-tabung penelitian. “Kita harus segera menyelesaikannya, aku sudah bosan berada ditempat ini setiap hari. Ruang ini terlalu sempit, dan sangat tidak nyaman. Terlalu ramai yang mengganggu fokusku .” Keluh Angel.

“Iya, Angel. Kau betul sekali.” Ujar Resa.

“Tapi ... bagaimana kita menyelesaikannya?” pinta Ainun.

Resa membalikkan tubuhnya, membelakangi tabung-tabung penelitiannya. Ia menghadap Ainun. “Nah, itu dia kendalanya.” Jelasnya yang kemudian terdiam sebentar, “ini nih begini. Akibat kalau pas masuk praktik, malah kabur. Pas pelajaran banyak ngobrol.” Lanjutnya.

“Kamu sih, Res. Gara-garanya. Udah tahu Ibu Nina itu galak, masih aja becanda dikelas.” Tuduh Ainun.

Sementara Angel masih fokus pada bahan-bahan penelitiannya, dahinya mengericit memikirkan caranya agar ia cepat menyelesaikan masa hukumannya, lalu keluar dari tempat yang sempit itu.

“Eh, Ainun. Bukannya kamu duluan ya, ngapain coba ngobrolin si Surya. Udah tahu dia gak suka sama kamu, masih aja ngarepin. Dan cerita pas Ibu Nina ngajar.” Resa geram atas tuduhan Ainun yang tidak dirasanya.

“Eh,  loe kok nyolot sih, Res. Biasa aja dong.” Jari telunjuk kanannya Ainun menunjuk Resa, sementara tangan kirinya menyangga dipinggang kiri, sekan menantang.

“Eh, loe duluan ya.” Jawabnya tak kalah sinis.

“Stop! Stop! Stop!” sela Angel melerai. “Kalian bisa gak sih, gak usah pakai berantem. Buang-buang waktu, tau gak? Kalau kalian berantem, harus berapa lama lagi kita berada disini. Pikir dong?” ujar Angel yang mulai geram akan tingkah kedua temannya. “Penelitiannya ini udah susah. Jadi, jangan buat tambah rumit dengan saling menyalah. “

Kedua temannya terdiam, menunduk mengakui kesalahan.

Ketiganya kini serius menekuni penelitian. Berharap ide baru datang, selesaikan hukuman.

*selesai.


#Day14
#30DWC

#OneDayOnePost

Selasa, 23 Januari 2018

Kasih Tak Sampai

Hasil gambar untuk kasih tak sampai
Sumber gambar: wattpad


“Ku mohon, Pak.” Pinta Talia dengan memohon.

“Nak, kau masih ingat, bukan?” ayahnya kembali mengingatkan, “dahulu …” matanya terpejam sebentar, dalam bayangnya teringat kenangan masa kecil, “nenekmu meninggal karena sikap radikalisme dari penjajah. Semburat bau anyir dari tubuhnya akibat darah dari serangan musuh itu, tepat diwajah bapak.” Ia menghentikan ceritanya, lalu kemudian menelankan air liur ditenggorokannya. “Dan nenekmu meninggal ditempat, sementara bapak kehilangan jejak kakekmu. Lalu bagaimana mungkin bapak kan restui hubungan kalian berdua. Sementara kamu tahu, bahwa bapakmu ini anti-Belanda, Nak. Kamu bahkan ingat itu, bukan?” lanjutnya.

“Tapi, Pak …” Talia masih berusaha untuk memohon restunya. “Tidak semua orang Belanda, demikan bukan?”

Bapaknya pun hanya terdiam.

Sang ibu memandangnya, mencoba memulai pembicaraan. “Pak … apakah bapak ingat? Dahulu kakek pernah mengatakan, bahwa ajarkan kepada anak perihal kejujuran. Jangan pernah memaksakan perihal hati, karena hati apabila dipaksa, ia justru membiru membabi buta. Apakah sekarang bapak mau membiarkan, putri kesayangan bapak ini, menangis tersedu karena restu yang tidak didapat dari bapak?” jelasnya.

Ia menoleh, matanya menandakan pertimbangan. “Tapi, Bu ….”

Ibunya mengangguk, “kita pun pernah muda, Pak.”

“Baiklah, Bu. Kalau memang ibu menjamin.”

Seulas senyum dibibir Talia mengambang, menandakan bahwa kini restunya sudah didapat. “Terimakasih, Pak. Terimakasih, Bu. Talia sayang bapak sama ibu.” Diraihnya kedua tangannya, diciumnya tepat pada punggung tangan keduanya.

***

‘Tuk, tik, tak, tik, tuk.’ Suara sepatu kuda pun terdengar dari arah luar, keluarga Talia pun segera menemuinya. Dilihatnya Pak kusir bersama lelaki bernama Egidius, asal Belanda. Dengan pakaian yang sangat rapih. Perpaduan Belanda dan adat sunda membaur haru, meramaikan ruang tamu yang serba biru.

Ramainya suasana memberi kesan yang tak bisa dilupa, Egidius, lelaki campuran Sunda-Belanda itu nampak terlihat gagah dengan baju kerahnya. Ia mengenakan baju kemeja putih, juga jas hitam seperti halnya seorang mempelai pengantin pria. Kulitnya yang bersih juga putih, membedakannya dari yang lain.

Disisi lain juga, Talia dengan pakaian sundanya terlihat lebih anggun serta ayu. Parasnya yang memang cantik, seakan-akan memang berjodoh apabila disandingkan dengan Egidius. Secara kulitnya pun putih berseri.

Acara lamaran itu pun segera dimulai, suasana berbeda nampak terlihat sekali. Perpaduan dua Negara, serta dua adat. Suasana mendung seakan memberi kesan khidmat keduanya.

“Talia ….” Panggil sang ibu.

“Iya, Bu. “ Jawabnya.

“Talia …” teriak ibunya. “Bangun! Siang-siang ngigo.” Jelasnya.

Ia pun segera bangun dengan teruyung-uyung,serta kaget. “Aduh, Ibu … Kenapa bangunin teteh sih? Tuh kan gagal nikah lagi.” Jelasnya.

“Ya Allah … Siang-siang mimpinya nikah. Bangun, bangun. Sana mandi! Itu lihat iler ntos dipipi. Dasar jorok, maneh teh jadi awewe.” Ujar ibunya dengan nada sedikit meninggi.


“Oh my prince, kapan kita bertemu?” sergah Talia, yang justru mengambil poster gambar Egidius dilemarinya. Ia pun mengarsir gambar lainnya yang berdamingan dengan gambar Egidius. Harapnya, agar ia dapat fokus memandang Egidius seorang diri.

*selesai.


#Day13
#30DWC
#OneDayOneOdop

Senin, 22 Januari 2018

Alea : Surat Rindu Alea (Part 5)

Gambar terkait
Sumber gambar: sisileeya.blogspot.com

Hari-hari kini berlalu begitu cepat, rasa kelu menggambar sebuah janji kepastian. Namun, harap masih enggan memberikan jawaban akan rindu yang kini dibiarkan sendirian.


“Mengapa rindu harus seberat ini?” maki Alea pada dirinya sendiri.

Ditatapnya langit yang kini mulai menggantungkan senja, selepas rinai hujan jatuh ke bumi, jua tersalip pelangi yang mulai kabur.

Bergegas ia berlalu, melewati jalan setapak dengan lampu pijar jalanan kota metropolitan. Alea melihat gadis kecil tengah berjalan dengan teruyung-uyung, tubuhnya masih basah akibat hujan tadi sore yang cukup deras. Tanpa disadarinya, gadis kecil itu menghampirinya, “kaka, kau mau pakai payung?” tawarnya, yang ternyata adalah ojek payung.

Lamunnya pecah, ia mengibas rambutnya yang agak lepek tersabab hujan yang sisakan gerimis. Senyumnya mengambang, lalu menundukan kepalanya menandakan iya.

Ia tak menyembunyikan sesak rindunya dibalik hujan, namun ia pun tak bisa memungkiri hanya bisa diam. “Terimakasih ya dek,” sesampainya disebuah toko, dan mengeluarkan uang kertasan juga sedikit camilan, “bawa ini, jangan lupa makan ya. Sisanya ambil saja buatmu yah.”

“Camilan ini, sudah lebih dari cukup, Ka.” Ia berusaha mengembalikan sisa uangnya.

Namun, Alea hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian menganggukkan kepalanya, berisyarat bahwa sisanya memang untuk gadis kecil tadi.

“Tapi, Ka …” ia tetap memaksa.

“Anggap saja, sisa uang itu karena kamu telah temani kaka, sampai toko ini.” Ia tersenyum dengan penuh ramah.

Gadis kecil berpayung itu pun, menyimpulnya dengan senyum. Tak lupa pula mengucapkan terimakasih.

Lalu ia pun berlalu, Alea memandang dari kejauhan. “Adik kecil itu, pandai sekali.” Seulas senyumnya mengambang. Kau tahu, aku mencintai hujan sejak saat itu kita berlari berpayungkan hujan. Sementara jaketmu kau biarkan basah, sekedar menutup kepalaku. Berbagi denganmu, sekejap dalam dekapan. Meski waktu itu, aku tak mengerti bahwa hadirmu pernah menyinggahi hati. Hingga saat ini, aku memilih pergi tersabab cinta yang mungkin terlambat. Bisiknya dalam lamunan melihat langkah kaki gadis berpayung tadi. Besitnya dalam bayangan Julio. “Ah, apasih ini?” ia mengumpat, namun hatinya menyambut dengan penuh kesan. Bagaimanapun aku pernah tanpa sadar mengharapmu, meski kini dengan sadar aku mengikhlaskanmu. Senyumnya kembali mengambang. Segera ia berlalu dan memilih masuk toko.

***

Dear,
Entah mengapa, aku merasa sejak pertemuan itu, kita menjadi asing. Mungkinkah benci setelah pertemuan itu, benar adanya? Ku harap tidak, Peu. Seulur rindu yang membalur subur, menyimpan rimbun yang tak lagi bisa dikubur. Tersungkur ku pada harap yang tak bisa ku bawa kabur, hanya karna ingin diakui bahwa kau telah singgah berdapur.


Rongga, mendongak luangkan nada. Dalam asa meminta jasa, pada diri yang tak kuasa dihimbun lara yang hampir bertahta. Rindu mendera kala kabar hampir terlupa, namun doa selalu tercipta. Semoga kau tetap terjaga, dalam takdir sang maha pencipta.

Dariku, untukmu. Wahai pemilik rindu.

Ia menutup penanya. Menyimpulkan selebaran kertasnya diatas buku. Ditaruhnya berdampingan dengan secangkir kopi. Aroma cappuccino mulai menyerbak penuhi indera penciumannya. “Ku harap, kau juga merasakan hal yang sama, Peu.”

Ia kembali mengambil suratnya, tak ada niat baginya untuk memberikannya langsung. Ia pun segera melipat kertasnya, dibuatnya menjadi perahu kertas. Dibawanya kertas itu pulang.

Ia bergegas tinggal toko, selepas hujan benar-benar telah reda. “Mengapa tangis harus ada? Kala rindu tercipta, Peu?” bicaranya pada hati. Ia pun berlalu membawa perahu kertasnya, dibuangnya kertas itu di sungai dekat rumahnya. Akan ku lerai segala yang terkusut. Semoga dengan ini, beban rinduku tak lagi menggebu hingga hadirkan bulir air mata yang sudah tersedu. Hatinya berbisik sembari melepas perahu kertasnya.

“Peu, aku rindu.”


#Day12
#30DWC
#OneDayOnePost

Minggu, 21 Januari 2018

Rindu Yang Berjamur

Gambar terkait

Seulas cerita dihari libur bersama cinta yang tak pernah kabur. Meski kini, rasa telah hampir tersungkur tersabab rindu yang sudah berjamur.

Ibarat pohon rindang yang menahun, menjulang serta merimbun. Sayupannya menahan yang tak tertahan. Menjadi lahan tempat persembunyian.

Ah, tidak! Ku harap ini hanya sebentar. Cukup hilangkan bimbang akan ragumu, biar ku menari pada altar sunyi ruangmu, bersama sisa-sisa serpihan kalbu.

Ku lerai, tak terikat. Biar terurai, tak mengumpat. Membentuk, lain terkatup. Apalagi menjadi tambang yang berbentuk.



#Day11
#30DWC
#OneDayOnePost

Sabtu, 20 Januari 2018

Takdir Berkata Lain

Hasil gambar untuk cinta kau bawa mati
Sumber gambar: hipwee

Hening berkalut membalut sunyi, hanya riak air meyamai sepi. Si inspirasi singgah di palung hati, yang sempat dimiliki sebagai kekasih hati. Tawanan diri yang dirindui, memikat dengan penuh arti, dibalik rimbun akan ego pada diri.

Sejuk melambai tersapa angin, mengitari imaji sesosok insan. Daku puja yang hadirkan nyaman, dalam hati yang tersimpan angan. Bak melodi yang dialunkan pelan dalam simphoni kehidupan. Rinai hujan hadir dengan sopan, menyambut mesra kau , wahai pujaan.

Memeluk erat selepas penat yang hampir mengikat. Terikat akan tirakat yang ku buat, bersamu di malam yang pekat. Selepas janji yang terikat di hari jum`at. Meski kini, tak ingin ku ingat. Cukup hutan saksi bisu yang menguat, akan janji yang tak pernah terungkap.

Engkau yang kucintai, bilamana kini takdir tak membersamai. Sudikah kiranya, kau menanti dalam abadi? Menunggu diri yang terlanjur mencintai, hingga tak bersisa tinggalkan naluri. Atau  biarkan diri kau bawa lari dari mimpi yang sudah terpatri.

Kini ku simpuhkan diri bersama abadimu, didekat papan bertuliskan namamu. Nama yang kini menjadi pengenalmu. Peti mati yang terpampang didepan diri, memberi hari yang kini terpenjara sepi. Semoga kelak kau kan sadari, cintaku tak pernah mati. Meski tangisku, kini tiada lagi berarti. Sebab kau sudah tiada lagi.



#Day10
#30DWC
#OneDayOnePost

Jumat, 19 Januari 2018

Kidungan


Aku, kecoa yang menjijikan. Mengitari di setiap sudut ruang bahkan jalanan. Tempat yang kumuh, jua bau. Jauh dari kata-kata kesayangan.

Para wanita selalu menyambutku dengan jerit,  bukan senang seperti menemui idola. Tubuhku tipis, kakiku berbulu halus, kulitku hitam kemerahan setelah hampir jingga.

Aku, kecoa yang menjijikan. Namun, aku tahan banting. Aroma tubuhku bau. Aku adalah musuh wanita.

Indra ku tajam, kelebihan yang tidak dimiliki hewan lain. Aku mencekam rasa takut, dari energi manusia yang menjijikanku. Aku terbang dengan sayap tipis, menghampiri orang-orang phobia.

Aku, kecoa yang menjijikan. Hidup beratusan tahun, tahan dari keadaan apapun. Badai topan, tsunami maupun gempa bumi.

Aku, tahan virus jua bakteri. Hidupku ditempat yang kotor, jauh dari kenyamanan untuk manusia. Tapi karna ini, aku bertahan hidup ratusan tahun.

Aku, kecoa yang menjijikan. Tak menyisakan cerita yang mengasyikan. Tersibak karna rasa jijik jua bau. Tak mengapa, ku dibanting. Namun, kami kan kembali merekah dari tanah karena sikap setiap insan.

Aku, kecoa yang menjijikan. Terlahir atas sikap manusia yang lebih menjijikan.


#Day9
#30DWC
#OneDayOnePost


Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah penggunaan dua fungsi indera yaitu mata dan telinga, serta fungsi hati (Qalbun) dan pada ayat lain disebutkan fungsi akal. Pada hewan semua fungsi tersebut (mata, telinga dan otak) hanya digunakan untuk kepentingan perut dan organ (satu kilan) di bawah  perut, sementara pada manusia seharusnya lebih dari itu yaitu untuk kepentingan isi dalam dada (hati) ke atas sehingga memiliki daya guna secara kemanusiaan. Nah ketika fungsi instrumen pada manusia tersebut tidak digunakan maka wajarlah, dalam bahasa Al Qur’an, manusia disamakan dengan hewan ternak bahkan lebih dari itu buruknya (melebihi dari perilaku hewan).

Allahu ta'alla 'alaam.

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...