Sabtu, 27 Januari 2018

Merajut Rindu


Ketika teriknya bersembunyi dibalik awan, sementara bulirnya bersemayam pada dedaunan. Ia menengadah dipinggiran danau, berharap hujan turun dengan derasnya. Minimal memberinya jeda untuk kembali  bertemu dengan sang kekasih hati. Seharusnya.

Gadis manis, berkumis tipis dengan pipi yang sedikit chubby itu menyeka matanya, air matanya tak henti turun membasahi rona pipi. Tangisnya hingga menyedu, sisakan sesak didada. Ia harus kembali bergulat dengan rindu. Pikirnya.

“Dik …” Johan memanggil dari arah belakang punggungnya dengan pelan.

Dik, panggilan yang dituju untuk gadis bernama Sista. Ia diam, tak bersuara. Hanya menghapus air matanya, mencoba merapihkan sisa-sisa tetesannya yang kini membekas sembab dimata.

Johan menghampiri gadis yang tengah duduk seorang diri itu. Ia menoleh diam, ia pun tak bisa bergeming. Baginya waktu bergitu cepat berlalu. Hening.

“Dik, kau menangis?” Johan memulai  pembicaraan,

Sista masih terdiam, memalingkan wajahnya kearah berlawanan dari pandangan Johan. Menyeka kembali bulir-bulir tetes air matanya, pelan.

“Coba kau tengok aku?” lanjutnya, dengan memegang kedua pipi Sista mencoba memalingkan wajah gadis itu ke hadapannya.

Mata Sista terpejam, dan membuka mata saat matanya berpapasan dengan lelaki yang tak asing dalam hidupnya.

Ditatap lembut mata gadis bermata sipit itu, masih terlihat binar dimatanya yang membendung, “kenapa menangis?” ia mencoba menyeka air mata yang tersisa di ujung mata Sista.

Sista hanya membalas dengan senyum. Menjamah jari besarnya Johan yang masih memegang pipinya, mencoba meraup hangat kasih sayang lelaki dihadapannya, dengan bersandar pada punggung tangannya. Matanya kembali terpejam, menikmati hadirnya. Kuharap tetap seperti ini.

“Kau tak perlu menangis, Dik. Aku hanya pergi untuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti kan kembali pada dirimu. Tapi kau jangan nakal, aku pasti kembali.”

Gadis bernama Sista itu pun memukul tangan Johan yang masih memegang pipinya. Uh.

“Duh, kok dipukul sih, Dik? Sakit tahu?” alih-alihnya dengan manja.

“Itu lagu Pasto, Mas.” Jawabnya manja, dengan sedikit senyum.

Johan pun mendeham tawa.

“I i i ih, nyebelin.” Rajuk Sista.

“Nah gitu dong, senyum. Jangan cemberut mulu,” rayunya, “kamu makin terlihat manis kalau tersenyum.” Johan pun tersenyum.

“Au aah.” Jawabnya, mengode perhatian. Hening. “Mas …” lanjutnya, “kamu jadi berangat malam ini?” suara Sista kembali purau, ia mencoba menata hatinya.

Johan menatap pelan, lalu kemudian memalingkan wajahnya. “Iya, Dik.”

“Harus malam ini juga ya?”

Johan mengangguk-angukkan kepala, pertanda iya. “Seharusnya kemarin malam, Mas sudah harus berangkat, Dik.” Jelasnya.

Deg. Penjelasan Johan kembali menghentak jantungnya, irama hatinya kembali tak menentu. Menggema rindu, berprotes waktu. Kenapa harus secepat ini?.

“Aku masih rindu.” Kalimat itu pun terlontar dari bibirnya yang mulai kelu.

Johan terdiam, direngkuhnya tubuh Sista yang kecil dalam dekapan bahunya yang kekar. Dipeluknya erat, menumpah rindu yang semakin berat.

Sepasang kupu-kupu kecil berwarna kuning menghampiri, seakan memberi arti persetujuan diri. Ia terbang mengitari, tanpa mengusik jiwa yang saling merindui.

***

Senja kini berlalu, gelapnya pertanda hari sudah malam. Suasana perkampungan yang masih asri di pegunungan teh, mendukung diri untuk tidur. Seharusnya. Jangkrik-jangkrik yang terdengar semakin ramai memecah lamun, gerimis sore itu menambah kesan romantis pada kulit yang berbalut dingin.

Johan yang sudah rapih bersama kemasan barangnya, siap kembali bertarung dikota pencakar langit, metropolitan. Meninggalkan kasihnya, yang kini kembali harus merajut rindu.

“Mas berangkat ya, Dik.” Pamit johan, sembari mengulur tangannya.

Sista pun menerima jabatan tangannya, lalu menciumnya tepat dipunggung tangan. Menggambarkan arti sebuah kepatuhan.

“Jaga diri kamu baik-baik ya.” Tangannya mengelus-elus lembut pipi Sista, kemudian dikecupnya kening gadis itu. Ia raih tubuh gadis itu, dipeluknya erat.

Kepala Sista tepat dibahunya, air matanya kini kembali menetes tumpahkan rindu yang kembali meraja. Begitupun dengan Johan, matanya kini terlihat berbinar tinggalkan sendu.

Iya, namanya juga lelaki. Yang selalu menyimpan tangis, hanya karena tak ingin terlihat lemah.

Dilepaslah pelukan itu, tanpa melihat kembali wajahnya ataupun bahkan saling menatap mata. “Pak, Bu. Johan berangkat dulu ya.” Lanjutnya pamit kepada Bapak, Ibu mertuanya.

Ia segera masuk dalam mobilnya, mobil berwarna abu dengan aksen biru muda. Ia menatap dalam kaca mobilnya. Maafkan Mas, Dik. Sejak pernikahan enam bulan  lalu, Mas tidak pernah bersamamu. Dan sekarang, Mas pulang hanya sebentar tinggalkan sesak rindu yang semakin menggebu dihati. Tapi percayalah, Dik. Mas sellauingin bersamamu, setiap waktu. Meski sekarang, Mas harus rela melepasmu. Mas janji, Dik. Ini terakhir Mas meninggalkanmu. Mas, akan segera urus perpindahannya. Hatinya berbisik, bersama tangis yang tak mampu lagi tertahan.

Ia pun mulai menghidupkan mobilnya, lalu membuka kaca mobil. Terlihat sang istri melambai tangan, yang ia sambut dengan senyum. “Mas berangkat ya, Dik. Assalamu`alaikum.” Tak lupa pula ia melambaikan tangannya, lalu menutup kaca mobilnya. Dilajukannya mobil itu.

Mobil berlalu, Sista memilih berlari menuju kamarnya. Menghabiskan rindu yang semakin menggebu, begitupun dengan Johan. Ia pun tak mampu lagi berpura-pura. Tangisnya membasahi foto, yang sedari tadi ia pegang bersama setir mobil.

*selesai.


***
Mungkin seperti itu, rasanya LDR an pas udah nikah. Nyesek yah :D


#Day17 #30DWC
#OneDayOnePost
#FlashFiction #LDR

12 komentar:

  1. Nyesek..
    Rindu itu tidak akan pernah terobati. Rindu itu seperti candu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahaya yaah mba wid?
      nyees k ati nyeseknya 😭

      Hapus
  2. Long diatance marriage 😵
    Gak kebayang kalo aku yg ngalamin 😕

    BalasHapus
    Balasan
    1. LDM ya mba agil..
      Aku gamau bayangin, nyesek psti 😭

      Hapus
  3. Iya nyesek banget, lebih nyesek dari hanya sebuah cerita, hehehe

    BalasHapus
  4. Manis saat beemanja tp nyesek di akhir 😢😢

    BalasHapus
  5. Rindu. Manismanis nyesek 😔

    BalasHapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...