Kamis, 11 Januari 2018

Catatan Pernikahan (Part 4)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/percikan iman online

Terik matahari bergilir mengikuti arah mata angin, yang sisakan suasana sunyi bak rona pipi si gadis desa. Warna langit pun perlahan berubah jingga. Ditataplah matanya yang kini mengisyaratkan sendu sedih air matanya.


“Dek, coba tanya, Bang Ian sudah sampai mana?” tanya Kifa.

Dita mengangguk. “Memang, Bang Ian sudah dikabari?” lanjutnya dengan bertanya.

Kifa hanya mengangguk lemas, ditambah sedari tadi tubuhnya belum dapat asupan kecuali  hanya minum air saat subuh tadi, tubuhnya yang kecil semakin terlihat dengan urat-urat nadinya yang jelas tergambarkan di kulitnya.

Kali ini, ia benar-benar tidak mempedulikan penampilannya. Masalahnya dengan Yoga, benar-benar menyita fikiran juga tenaganya. Ia pun hanya berisyarat untuk berbicara sepatah kata. “Kak Kifa, matamu sembab, tubuhmu semakin terlihat kurus.” Gumam Dita yang sedari tadi memerhatikan kakaknya, yang sedang termangu.

“Halo, bang? Bang Ian, lagi dimana?” tanya Dita di ujung telefonnya.
“Abang masih di jalan, dalam satu jam abang sampai, dek.” Suaranya terhenti, “sebenarnya ada apa?”
“Nanti akan diceritakan kalau abang sudah sampai. Ade di rumah Pak Heru.” Jelasnya.
“Ya sudah, nanti abang kesana.” Ditutupnya telfon tadi.

***

Pukul 18.50

“Assalamu`alaikum …” teriak suara lelaki yang tak asing bagi Kifa maupun Dita.

Tanpa aba-aba Kifa pun langsung keluar menemuinya, dipeluknya lelaki itu. Lelaki yang terlihat menyimpan letihnya seorang diri, badannya yang kecil menonjolkan sedikit otot-otot tangannya, bahunya nampak terlihat jatuh tak sekekar dulu.

“Kamu kenapa, Neng? Kamu sakit, badanmu kecil sekali?” tanya lelaki itu yang tak lain adalah abangnya sendiri, Ian.

Tangisnya kembali menyeruak, membasahi baju pada bahunya. Ia tak bisa lagi menahan, disisi lain ia mengumpulkan nyali untuk kembali menceritakan tentang cerita apa yang sedang dialaminya, mengenai suaminya juga Dyah, istrinya.

“Ada apa, Neng? Tadi di terlfon katanya mau bilang, ini abang sudah pulang.” Jelas dan pintanya.

Sementara Ibu Wiwid melihat dari dalam rumah. “Kifa …” teriaknya, “ajak dulu saja, abangmu masuk rumah. Biar nanti dijelaskan di rumah.” Lanjutnya.

Mata Ian pun tertuju pada mata adiknya, ditatapnya mata itu dalam-dalam. Hatinya pun mulai bergetar sebab bagaimana pun, ia adalah ikatan darah yang tak bisa dilepaskan. Ia pun mengedipkan matanya, mengangguk lembut  menandakan, iya mengerti.

Dibawanya adiknya, yang masih didekap masuk rumah.

Bersama dekapannya, kini Kifa memberanikan dirinya untuk memulai bercerita. Ditahannya kembali air mata yang masih menyisakan binar di matanya, dikuatkan kembali pula lidahnya yang sudah kelu.

Tapi ia tak sendiri, Dita sebagai adik pun membantu menjelaskan cerita kejadiaannya.
Satu per satu, alasan mulai tertanggapi. Hatinya tersohok, menerima kenyataan. 

Meskipun ia seorang lelaki, ia pun kelu. Letih yang sedari tadi ditahan, kini tak ada lagi kekuatan untuk terus  bertahan. Ingin rasanya teriak, “Memeluk bantal mungkin lebih menyenangkan daripada harus memikirkan kenyataannya.” Gumamnya berbisik.

Namun, ia pun masih ada pikiran untuk berpikir jernih, menuntaskan permasalahan adiknya yang menyangkut pada keutuhan rumah tangganya sendiri.

“Bagaimana, kalau hal itu benar-benar terjadi. Dua keluarga hancur sekaliigus, apa yang akan ku katakan pada Ayah juga Ibu disana?” hatinya bergolak, pikirnya sudah tak pasti melayang jauh. Ia tidak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.

“Iya, kita selesaikan sekarang ya, Neng.” Jawabnya memberi kepastian, namun tatap matanya kosong.

***


*bersambung


#Days1
#30DWC
#OneDayOnePost

12 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...