Jumat, 05 Januari 2018

Catatan Pernikahan (Part 3)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/percikan iman online



“Semalam, begadang dari mana kamu?” tanya Pak Heru.

“Biasalah.” Jawabnya acuh.

Pak Heru pun mengeleng-gelengkan kepalanya. “Apa-apaan ini, Yoga?” melempar ponselnya tepat di wajah Yoga. “Kamu ngehamilin kakak iparmu sendiri, Dyah itu kakak iparmu bukan orang lain. Dan istrimu itu, adik Ian, suaminya.” Bentaknya dengan nada keras dan emosi.

“Oh, jadi Kifa cerita. Pantesan aja pagi-pagi udah gak ada di rumah.” Jawabnya datar.

“Dasar, kamu anak cuma malu-maluin orangtua saja.” Lanjut sentak Pak Heru.

Ibu Wiwid pun segera keluar dari ruang keluarga, menemui suaminya untuk mencoba melerai emosinya. “Sabar, Pak. Sabar …” lalu mengajaknya duduk.

Hening seketika, sementara suara isak tangis terdengar dari arah kamar seperti berbisik. Ditambah suara nyaring teriakan si kecil, Wakhid.

“Yoga …” panggil ibu Wiwid, “tadi pagi istrimu datang kesini sambil nangis. Apa kamu bener udah ngehamilin kakak iparmu?” sudut Ibunya.
“Enggak lah, Bu. Ngapain coba, gila aja.” Jawabnya masih dengan santai, karena merasa dirinya benar.

Ibunya memandang heran, “terus, maksud sms ini apa?” lanjutnya mengingatkan isi pesan di ponselnya.

“Cuma becanda aja.” Jawabnya dengan mimik muka sedikit  menyesal.

Tetiba Kifa pun keluar dari kamarnya, “apa-apaan begitu, Mas? Becanda macam apa itu?” hatinya semakin teriris, emosinya kembali pecah, wajahnya memucat, binar air mata yang sedari tadi dicoba untuk di tahan, tumpah kembali. Ia memeluk harapnya, mencoba mengikhlaskan jika perpisahan adalah solusi terakhirnya.

Lalu kemudian Ilmi datang, memeluknya dari arah belakang mencoba memberi dukungan dan kemudian mengajaknya kemballi masuk kamar. “Kak, yuk kita ke kamar lagi, kasian sama wakhidnya.” Ajaknya

Kifa pun berlalu.

“Bu, sumpah. Itu cuma becanda.” Jelasnya. “Yoga gak seburuk itu, Bu.”

Ibu Wiwid pun sedikit termenung, sejujurnya hatinya menepis bahwa Yoga melakukannya, sebab bagaimana pun juga, ia tahu bagaimana sifat anaknya. Anak yang di kandungnya selama sembilan bulan, dan lahir dari dalam rahimnya sendiri, yang disusuinya, yang disapihnya dengan penuh cinta. Dibimbingnya, hingga melihat proses pertumbuhannya sedari ia masih dalam kandungan hingga ia memberikan untuknya, Yoga junior yang terwujud pada cucunya, Wakhid.

Namun, disisi lainnya. Ia pun tidak habis pikir, jika yang dilakukan anaknya hanya sebatas becanda. Baginya pernikahan adalah sakral, bagaimana mungkin ia memainkan karmanya sendiri, keterlaluan yang tak berganda.

“Becanda sih becanda, Yoga. Maksudnya apa kaya gitu?” Ibu Wiwid pun kembali menodong, kali ini ia bersikap netral.

“Keterlaluan kamu!” kepalan tangan Pak Heru mendarat tepat dipipi kanan Yoga. ‘Preeeeet’

Yoga terdiam, sembari  memegang pipinya.

Sementara Ibu Wiwid, meringis melihat anaknya tertampar suaminya. Namun, ia pun hanya diam tak banyak yang dilakukan. “Udah, Pak. Udah.”

“Sumpah, demi Allah Ibu. Yoga cuma becanda.” Jawabnya berusaha jujur, sebab bagaimana pun ia tidak pernah bisa berbohong kepada Ibunya.

“Awas aja kamu, bakal di arak sama warga. Di telanjangi keliling kampung.” Sergah Pak Heru.

“Aku gak takut, Pak. Karena aku gak pernah ngelakuin apapun, dan itu cuma becanda.” Jelasnya yang  sedikit meringis, menahan sakit akibat tamparan yang dilucutkan bapaknya.

“Nanti, kita akan tahu kebenarannya setelah kita temui Dyah.” Ujar Ibu Wiwid.

“Ya, Ayo.” tantangnya.



*bersambung


#OneDayOnePost
#DomesticDrama

4 komentar:

  1. Wah makin seru ini. Yang biasa bilang sabar..sabar..itu..uncle Ik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyatah mba wid?
      Boleh ah, nanti dimasukin nama uncle. Tp jadi apa yah? mmm

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...