Senin, 29 Januari 2018

Si Bungsu dan Album Abu



“Hi, Rene. Kau masih ingat?” temanku memulai pembicaraan.

“Dulu itu, kamu paling kecil, pendek pula. Dan yang pastinya, selalu  menjadi si bungsu.” Jelasnya.

Aku tersenyum sembari menutup mulutku rapat. Tersipu malu. “Apa kau juga ingat, Kak?” aku  bertanya. “Dulu, kamu sering naik meja dan jahili anak-anak yang pendiam. Dan membuatnya nangis hingga meminta pertolongan. Hahaha.” Jawabku terkekeh.

Ssssssst. Ia berisyarat bersama tawa. “Sekarang kamu tinggi, dan masih kecil. Hahaha.

Aku kembali tersenyum. Disisi lainnya, aku merenung. Betapa kusadari dulu, memang paling kecil dan paling pendek. Siapa sangka sekarang aku tinggi, meski badanku tetap saja kecil. Hahaha.

Pernah suatu hari, kutemui guru Taman Kanak-Kanak ku dulu. Betapa ia kaget bersama candanya, yang mengatakan, dulu aku begitu kecil dan pendek. Kemudian, beliau mengatakan; “yang sok-sok an pengen gendong temannya, sampai jatuh mimisan.” Beliau mengakhiri dengan kekehan tawanya, “yang kecil-kecil, udah ingin sekolah.” Candanya.

Ah, kalau diingat, rasanya wajahku seperti kepiting rebus yang baru saja diangkat dari perapian. Iyah, merah sekali, bukan? Antara malu, haru dan rindu. Terbalut jua membalut diri yang membelenggu. Belenggu sebab alasan mengapa tidak sedari dulu saja aku menjadi pendiam. Bukan tanpa alasan, kenakalan yang pernah ku lakukan yang kini meninggalkan cerita yang bernama rindu jua maaf.

Bila saja dapat bertemu seutuhnya dengan mereka dalam satu waktu, takkan pernah selesai kuceritakan kenakalanku dulu saat bersamanya. Hanya sekedar ingin meminta maaf. Dan aku pun takkan lupa tentang apa yang harus memisahkan kita.

“Dan juga salah satu dari lima yang belum married.” Lanjutnya sedikit mengejek.

Yuah, aku kembali terkekeh. Apa yang dikatakannya memang benar, tak perlu kusembunyikan nyatanya. “Tak apa, usiaku memang tidak sepantaran kalian.” Jawabku membela diri.

Setelah beberapa menit saling melepas rindu, meski kini temu tak lagi menjamu. Tapi doaku tetap untukmu. Wahai sahabat-sahabat kecilku, dimanapun kalian kini. Entah dengan kehidupan barunya bersama keluarga kecil. Percayalah dan ingatlah, bahwa kita pernah berjuang bersama menuntaskan perjuangan yang diraih dengan kertas bernama Ijazah. Maka jagngan biarkan waktu membuat kita takluk, hingga menjadikannya sembong karen tidak saling sapa.

Kututup telfonku. Kembali ku mengingat, pada sebuah album abu yang kupegang. Yang kini meninggalkan warna buram pada tiap lembaran fotonya. Ah betapa ku merindukan semua. Sehat-sehat kalian disana.

*selesai.

#Day19 #30DWC
#OneDayOnePost
#KenaganMasaKecil

2 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...