Kamis, 04 Januari 2018

Keabadian

Hasil gambar untuk otak robot
Sumber gambar: blackxperience.com

“Sharov, aku stress dengan latihan perlombaan yang akan di gelarkan bulan depan di Rusia. Sementara robot-robotku kehilangan kendali.” Ujar Ava Dhmrty dalam bahasa British.

Sharov hanya terdiam di mejanya, melihat kartun-kartun robot yang dimainkannya.

“Sharov … kau dengarkan aku?” tanyanya memastikan.

Matanya terbelalak, kepalanya miring ke kanan. Ia mencoba menerka-nerka dengan idenya. “Aku tahu sekarang kita harus apa?” jawabnya kilat mengagetkan Ava.

“Sungguh? Apa, Sharov?”

Ia kembali terdiam tak bergeming. Antara yakin dan tidak untuk mengungkapkannya. “Kau ingat, pekan lalu kita pergi ke sebuah restoran dengan pelayan robot bukan,?”

“He em.” Jawabnya sembari mengangguk.

“Apa kau menyadari, Ava. Mengapa robot-robot itu, bergerak sesuai apa yang kita mau?”

“Karena ada system yang kita kendalikan pada robot. Kau tahu itu, Sharov … mengapa masih kau tanyakan?” jawab Ava yang semakin bingung.

“Nah, tepat. Kita bisa gunakan itu, menghidupkan robot seperti halnya manusia dan hidup dalam keabadian.” Jelasnya dengan menghentikan tangannya menari di atas keyboard. “Bagaimana jika robot-robot kita buat untuk tetap abadi?”

“Bagaimana mungkin?” jawabnya

“Dengan transplantasi otak manusia kepada robot.” Jawabnya dengan lantang.

“Gila!” jawab Ava seakan-akan ide yang ditawarkan diluar nalarnya. “Ide gila macam apa itu, Sharov? Tidak, aku tidak akan melakukannya?” menepis wajahnya.

“Ayolah, Ava … ini pasti keren.” Bujuknya.

Ava pun terdiam, mencoba menimbang-nimbang pinta Sharov. Disisi lainnya, iya harus mengakui bahwa ide-ide gila Sharov yang mengantarkannya pada kemenangan tiap perlombaan robot di adakan.

“Bailak, Sharov.” Jawabnya datar. “Lalu seperti apa idemu, yang akan aku eksekusikan?”

“Ini aku pernah memikirkankannya sebelumnya, Ava. Dan aku rasa, kita butuh waktu yang lama untuk ini, mungkin sepuluh tahun.”

“Sharov, perlombaan ku bulan depan. Aku tidak bisa menghabiskan masa sepeluh tahun untuk hal ini.” Ava menyela.

“Ava … kamu tidak sendiri, aku pasti bantu. Dan setelah itu, aku tetap menikahi kamu. Percayalah ….” Bujuk Sharov.

“Kau sungguh, Sharov?” tanyanya memastikan.

Sharov mengangguk tanda iya, lalu menyalipkan tangannya pada pinggang dan bahu Ava, di ciumnya kening kekasihnya.

Setelah perbincangan bujukan untuk tetap mengikuti idenya. Kini mereka mulai mengeksekusikannya melalui perangkat-perangkat animasi pada layar laptopnya. Dengan Sharov sebagai kendali idenya, mereka mengerjakannya berdua.

Beberapa waktu berlalu.

“Sharov, aku ingin berhenti dari penelitian ini. Ini sesuatu yang tidak mungkin memtransplantasi otak manusia pada benda buatan seperti robot,” keluhnya “idemu terlalu liar.” Lanjutnya.

Sharov diam tak bersuara, hanya mencoba mengutak-ngatik system robotnya. “Ini butuh dana besar, juga bantuan para ilmuan.” Benaknya berbisik.

Ia pun terlihat seperti hampir saja menyerah. Namun, disisi lainnya, ia mempunyai rasa penasaran yang amat besar. Ia terus mencobanya, meski sering dihadapkan pada ketermangu buntu idenya.

Tetiba saja, ia memecahkan problem baru dan menemukan jalan peluang yang baru. “Ava, marilah tengok. Cepat …” ajaknya “lihat ini,” menunjukan systemnya pada Ava “proses akan mengupload kesadaran seseorang seperti program komputer ke mekanik robot proyek yang disebut otak. Dengan ini, aku bisa membayangkan robot humanoid manusia hidup pada lima tahun yang akan datang dan transplantasi kesadaran penuh pada sepuluh tahun yang akan datang.” Jelas sharov dengan penuh senyum.

Ava pun mulai memahaminya. “Apakah dengan demikian, hal ini memungkinkan tentara untuk mengoperasikan remote robot di medan perang melalui control pikiran?”

Sharov memandangnya, “Tentu bisa, Ava. Dengan pendekatan transplantasi otak ini.”

Kini keduanya pun lebih memfokuskan diri pada penelitiannya, sejenak melupakan perlombaan yang semakin dekat itu.



#OneDayOnePost
#TantanganFiksiODOP7
#FiksiIlmiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...