Kamis, 18 Januari 2018

Rahasia Manusia Terkutuk

Gambar terkait
Sumber gambar: news.lewatmana.com

“Sudahlah, Anne. Kau itu perempuan! Kodrat perempuan itu di rumah,” suara Ibu Niken, meninggi. “tengok kakak mu itu,” ia berisyarat dengan telunjuknya. “biar dia seorang lelaki, dia lebih banyak di rumah. Nggak kaya kamu, hutan, hutan, dan hutan lagi.”

“Sudah biarkan saja, Mah.” Teriak Arnold, dari ruang keluarga. “Biar dia dimakan binatang buas disana.” Jawabnya dengan terkekeh.

“Huuusst … kalo ngomong yang benar.” Ibu Niken mengingatkan.

“Mamah, tenang aja. Ini juga bukan kali pertama, aku ke hutan kok.” Jelas Anne, sementara tangannya berada di bahu sang mamah menandakan isyarat bahwa; kan baik-baik saja.

Sementara sang ayah, ia masih mengecek persiapan senapan pemburuannya. “Anne, kau sudah siap?” tanya sang ayah.

Ia berisyarat dengan jemarinya, menandakan; Oke.

Sang mamah pun hanya  mengangkat bahu, memasrahkan kehendak anak perempuannya.

***

Hutan.

Suasana hening, sejuk namun rimbun dengan pepohonan yang menjulang tinggi, menjadi tempat empuk pelarian binatang-binatang buas. Tempat persembunyian dari pemburuan manusia yang picik. Hutan belantara dengan berbagai jenis binatang.

“Ayah, kali ini kita mau berburu apa?” tanya gadis bermata sipit, dengan rambut sedikit pirang yang diikat, melihatkan kulit lehernya yang mulus dan putih.

“Mmmmm …,” jawabnya seakan-akan menimbang jenis pemburuannya. “ayah dengar kata warga sini, ada binatang buas yang tiba-tiba turun ke hutan ini. Ayah belum tahu pasti, binatang seperti apa.” Jelasnya.

Gadis berbaju orange-coklat itu pun mengangguk.

Tidak hanya ada Anne dan sang ayah, ada beberapa orang yang juga ikut. Ada Paman Ik dengan anaknya Nataulo, Om Rick teman ayah Anne, ada juga Shira teman Anne yang sama-sama suka berburu.

Mereka ber-enam pun menyusuri pedalaman hutan, sebab di tengah-tengah hutan lebih mudah menjumpai binatang-binatang buas itu.

Tetiba suara kayu yang patah, seakan terinjak terdengar tepat dibelakangnya. Bersiap siagalah ke-enam pemburu itu dengan senapannya masing-masing. ‘Doooooooor’ suara senapan Paman Ik menggelarkan hutan, burung-burung beterbangan dari sarangnya. “Uh, hampir saja.” Ucapnya.

“Apakah benar, barusan yang ku lihat itu singa?” tanya Anne, memastikan.

Om Rick menoleh ke arahnya, “benar, Anne. Mungkin ini, yang dimaksud para warga.” Terdiam sejenak. “Karena, baru kali ini dalam sejarah pemburuan kita bertemu dengan singa, di hutan yang tak jauh dari perkampungan warga.” Lanjutnya.

“Itu tandanya, kita harus berhati-hati lagi.” Sambung Ayah Anne.

Sementara disisi lainnya, seseorang terlihat tengah duduk bersandar dibahu pohon yang besar. Bersamanya terlihat darah yang menetes, dari betisnya yang besar.

Anne melihatnya seperti meringis kesakitan. Ia pun meminta izin kepada sang ayah untuk menengoknya memberikan pertolongan.

Dihampirinya seseorang itu, seseorang dengan badan yang kekar juga rambut pirang. Wajahnya terlihat sangat perkasa, senyumnya manis meski sedikit terlihat bengis. “Ada, yang bisa saya bantu?” gadis itu menawarkan diri.

“Betis mu luka, cukup mengeluarkan darah banyak. Kamu harus segera diobati. Kalau tidak, darah yang keluar akan lebih banyak lagi.” Sergah seru Shira, yang menghiraukan jawaban lelaki itu.

Anne mengangguk, memberi pemahaman. “Tenang saja, kami akan membantumu.” Sembari mengeluarkan kotak P3K dari ranselnya.

Segera ia membersihkan luka itu. Sementara sang ayah dan yang lainnya kecuali Shira, lebih dulu melanjutkan perjalanannya.

Lelaki itu pun mengangkat kepalanya, “terimakasih sudah membantu.” Sorot matanya berpapasan dengan sorot mata Anne, yang sipit. Keduanya terjebak dalam tatapan.

“Kau sedang apa di hutan ini, seorang diri?” tanya Shira menyadarkan tatapan keduanya.

Anne pun tersadar, dia clingak-clinguk salah tingkah. “Kakimu sudah selesai diobati.” Sergahnya basa-basi, sembari menundukan kepalanya membereskan kotak P3K miliknya.

Lelaki itu hanya terdiam, menghiraukan pertanyaannya.

“Oya, sepertinya kamu bukan orang sini. Siapa namamu?” ujar Shira.

“Saya, Lian.” Ia menyodorkan tangannya.

Tangan lelaki itu pun dijabat Shira juga Anne.


***

Senja berlalu, berganti malam. Terang temaram rembulan, hingga pelosok hutan. Auman suara-suara  binatang di hutan terdengar, suasana dengan api anggun juga nyaring jangkring dan kodok menjadi irama. Sesekali suara bising nyamuk, berkeliling didekat telinga.

“Lian, sepertinya disana ada santapan yang sangat lezat untuk kita malam ini.” Ujar Cassa, teman Lian.

Akhirnya keduanya pun berusaha mendekat, perlahan namun pasti. Ia urungkan dengkur suaranya. Semakin terlihat yang dipandang itu adalah manusia, matanya menemukan sosok yang dikenalinya.

“Cass …” panggil Lian pelan.

Jalannya pun terhenti, “Lihat Lian, mereka manusia.”

Lian hanya menoleh seujung matanya, ia menundukan kepalanya. “Cass, boleh aku berkata jujur padamu?”

“Ada apa, Lian?” tanya ia heran sedikit termangu.

“Sebenarnya … perempuan yang berada disana …” jawabnya seperti mengeja, “adalah perempuan yang sudah menyembuhkan betisku yang luka tadi, dia sangat baik. Aku tidak sanggup menghabiskan nyawanya.” Ia menunduk.

“Apa?” suaranya meninggi, hingga membangunkan kewaspadaan Anne dan yang lainnya.
“Ku mohon, jangan sakiti dia. Dia manusia yang baik.” Bela Lian.

Namun, Cassa tak menghiraukan. Sebab baginya, jika memang ia baik, mana mungkin ia menyakiti hewan lain dengan cara berburu.

“Lian, apakah kau lupa? Bukankah kita diturunkan Raja, untuk membantu binatang-binatang hidup pada habitatnya. Apakah kau juga lupa, kita ini adalah kutukan atas kepicikan yang pernah kita lakukan. Tak inginkah kau sudahi ini?” Cassa kembali mengingatkan dengan janji-janji dan peraturan yang diberikan sang Raja hutan.

Lian hanya terdiam, bagaimanapun ia masih mengingat  semuanya.

“Lian … kita terkutuk bertahun-tahun menjadi seorang manusia singa, itu karena apa? Karena apa, Lian?” suara Cassa meninggi. “Karena kepicikan kita sebagai manusia, yang berburu tanpa rasa tanggungjawab. Membantai hutan, tanpa pernah kita tahu bagaimana lingkungan habitat asli para hewan. Kau tak lupa, itu kan?”

Lian kembali membela Anne, dan teman-teman pemburuannya. Hatinya bimbang, dirasanya apa yang dikatakan Cassa adalah kebenaran. Namun, disisi lainnya, ia tidak bisa menghabiskan nyawa gadis berambut pirang yang telah membantunya, sesuatu dalam hatinya berdebar. Bagaimanpun, nalurinya masih manusia yang berperasa.

“Tapi, Cassa … aku tidak bisa.” Ia memandang Anne, dari kejauhan.

“Lian, apakah kau mencintai gadis itu?” ditatapnya mata Lian, dengan tajam.

“Iya, Cassa.”

“Lian! Apakah kau tidak berkaca. Kau itu manusia singa, dan dia manusia seutuhnya. Kau tidak bisa bersatu.” Cassa kembali mengingatkan, nadanya getir dan meninggi.

“Kenapa, Cassa?” kali ini, ia membantah. “Kau lupa, aku juga bernaluri manusia meski tubuhku dapat berwujud singa. Wajar kalau aku merasakan ini, dan kamu tidak bisa melarangku untuk hal ini.” Jelasnya.

Akhirnya kedua sahabat, manusia singa itu berdebat. “Karena, aku juga mencintaimu, Lian.” Jelas Cassa, yang akhirnya mengungkapkan perasaannya.

Lian terdiam, mencoba mencerna perkataan terakhir temannnya. Saat diam itu, Cassa yang memuncak emosi, perlahan mendekati api anggun yang terdapat Anne dan beberapa orang lainnya. Ditikamnya gadis itu dari belakang, dicabiknya dengan taringnya begitu ganas.

Suara teriak nan kaget itu pun menyadarkan Lian dari ketermangu dirinya. Namun, ayah Anne tak berdiam diri. Diraihnya senapan yang berada disampinya itu, di tembakannya tepat pada perutnya. Dibantunya oleh Om Rick, juga Paman Ik.

Darah kini, keluar dari tubuh singa betina itu, tubuhnya mulai lemas kehabisan darah. Sementara tubuh Anne pun, luka parah meski kondisinya sangat kritis.

Lian hanya mampu memandang, tak bisa melakukan apa-apa. Jika ia menemuinya menjadi seekor singa, maka nyawanya pun menjadi ancaman. Namun jika ia menghampirinya dengan berwujud manusia, pasti mereka akan menanyakan dari mana keberadaan Lian. Sementara Cassa, disana masih terkulai meski nadinya masih berdenyut.

Kini Lian, ditampa rasa gelisah, jua bimbang. Sebab keduanya adalah wanita-wanita  berarti dalam  hidupnya, yang tak  bisa ia memilih menyelamatkan satu dari keduanya. Kali ini, dia benar-benar hanya terdiam, menjauh dari kejadian yang ia lihat. Meski hatinya mulai terasa hampa.


#Days8
#30DWC
#OneDayOnePost

8 komentar:

  1. Balasan
    1. Hihihi makasih mba wid,
      nyoba FR.. Entah masuk atau tidak huhuhu

      Hapus
  2. Oooh kasian lian, tak mampu berbuat apa-apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dia hnya termangu. Pilihan yg berat hihi

      Hapus
  3. cakep ceritanya, jadi sebenarnya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun mas yan..
      Jdi sbnernya lian itu manusia yg terkutuk jadi singa haha

      Hapus
  4. Balasan
    1. Mkasih kak kifa, teman" yg lain dan kaka lbih keren :)

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...