Kamis, 30 November 2017

Hujan akhir Bulan

Kala matahari masih menutup malu
Pada pekat hitam mendung pagi
Sunyi, lembut dalam alunan lirih dinginnya
Menyelimut ke dalam pori-pori yang sensitif

Terbangun akan aromanya
Pada ritme suaranya yang ramai
Bukan gemuruh yang menyalip ketakutan
Hanya bunyinya yang membangunkan

Mentari bersembunyi pada awan
Sementara sinarnya, bak enggan tuk menampakkannya
Apakah ia pun berkalut?
Hatiku bertanya.
Atau mungkin menjelma pada sebuah rasa,
Takdir dan mimpi ..

Ia berbunyi, tik ...
Seperti alunan ritme
Pada syimpony dipenghujung waktu
Sebagai tanda jarak terlihat nyata

Sisanya singgah pada sebuah dedaunan
Yang meninggalkan butir demi butir air
Dan menaruh bulir kesejukannya pada setiap Insan

Hadirnya menyamai kesendirian
Terselimutkan kehampaan akan kenangan silam
Hujan akhir bulan
Seperti titik simpul sebuah cerita
Akankah usai?
Atau justru kan terpatri menyambung cerita?
Hanya Ia dan Hujan yang memahami.

Rabu, 29 November 2017

Berhenti Berharap (Part 12)

Gambar terkait
sumber foto: youtube.com

     “Sayang, kakak bisa cerita sama mamah.” Lanjut sang mamah memberi perhatian.

      “Aku mau sendirian dulu mah.” Teriaknya dengan suara yang semakin sedu.
     Mamahnya pun memahaminya, dan meninggakan dirinya seorang diri di kamarnya. Sementara ia, terus menangisinya, sebab tak habis fikirnya mengapa seorang sahabat yang begitu dia sayang, yang dia percayakan dapat menyakitinya begitu saja. Kecewanya semakin memuncak, tatkala ia melihat dan merasakan kekhawatirannya benar adanya.

***

          Diana tak menyerah, ia pun ingin memperbaiki hubungannya dengan sahabatnya. Ia berencana pergi kerumahnya, menjelaskan cerita yang sebenarnya.
          “Hi tante.” Sapa Diana kepada Ibu Erita, dan mencium punggung tangannya.
          Ibu Erita pun menyambutnya dengan senyum.“Hai sayang, apa kabar kamu?”
          “Aku baik tante,” jawabnya dengan senyum. “Lusi-nya mana ya tan?” tanyanya sembari sesekali menengok ke arah lantai atas.
          Ibu Erita pun menoleh ke arah lantai atas.“Sudah dari kemarin, dia gak keluar kamar, Na. Untuk makan saja nggak.”Ibu Erita menjelaskan. “Sebenernya ada apa, Nak?”
          Ia terdiam sejenak. “Boleh aku ke atas, tan”
          Ibu Erita pun mengangguk.
          Ia dengan segera menuju kamar Lusi dan mengetuk pintunya. “Lus, ini aku. Diana.” Jelasnya. “Boleh, aku  masuk?” pintanya.
          Namun, Lusi jua tak kunjung membukakan pintu.Ia membiarkannya terdiam.
          “Lus, aku bisa jelasin ke kamu yang sebenernya.” Ia pun terkulai lemas didepan pintu dan bersandar disana.
          “Pergi lu dari sini, gue gak butuh penjelasan lu.” Teriaknya sembari melemparkan bantal ke arah pintu.
          Diana pun terkejut dan mulai menangis.
          Ibu Erita pun menghampirinya, mebangunkan dirinya dan mengajaknya untuk berbicara terbuka dengannya di lantai bawah.
          “Kamu minum dulu ya.”
          Ia pun menerima gelas yang diberi ibu Erita. “Terimakasih tante.”
          “Nak, tante juga pernah muda. Tante pernah ngerasain apa yang kalian rasain sekarang. Kalo kamu mau, kamu bisa cerita sama tante.” Jelasnya yang kemudian memeluk Diana, sebagaimana ia memeluk anaknya sendiri.
          “Tak apa kok tante, cuma ada kesalahpahaman aja.” Jelasnya.
          Ibu Erita pun hanya tersenyum menyimpulkan dan mengelus rambutnya.
          Diana pun dengan sedikit penyesalan yang tertahan, binar di matanya kini semakin terlihat memendung. Entah bagaimana ia harus memulai menjelaskannya, ia bahkan menyalahi dirinya bahwa ia telah memilih keputusan yang salah. “Seharusnya aku tak pernah berjanji, meskipun iya.Seharusnya aku memilih untukmenjauh.”Hatinya menggerutu.
          “Lus … aku gak pernah bermasud untuk seperti ini. Apalagi untuk mengkhianati kamu.” Hatinya berbicara dan menatap ke arah lantai kamarnya.
          Namun, ia hanya diam tak bergeming. Tak ada tanda-tanda bahwa ia kan turun untuk menemuinya atau sekedar bertemu dengan mamahnya. Seperti harap persahabatannya kan pupus dengan mudahnya.

***

          Libur semester telah usai, kini mereka melanjutkan aktifitas kembali setelah berlibur panjang meski liburan terakhirnya tak seperti yang direncanakan bahkan mungkin sebuah ketidakmungkinan yang menjadi mungkin.
          Sebuah cerita di akhir liburan yang berujung tak mengesankan. Siapa sangka? Mengakhiri liburan dengan sebuah kesalahpahaman yang merusak hubungannya.
          Kini, Lusiana tak ingin lagi mengenal sahabatnya bahkan untuk sekedar menegur. Kekecewaannya menutup hatinya, sehingga hatinya tertutupi oleh emosi keraguan terhadap sahabatnya.
          Sementara lelaki itu, ia kini tengah disibukkan dengan tugas akhir skripsinya. Sedangkan hubungan antara dirinya dengan lelaki itu seperti kembali menjadi asing. Setelah harapnya di mainkan lalu kemudian di patahkan begitu saja.
          Ia hanya dekat dengan Rini, adik sepupunya Handy. Namun demikian, ia enggan menyebut Handy dengan Diana didepannya, mengenai hal apa yang sebenarnya terjadi. Padahal tanpa ia ketahui, Rini sudah tau di antara semuanya. Sementera kini, ia tak hanya sibuk kuliah, kini ia sibuk menjadi salah satu volunteer anak jalanan.
          “Hai, Lus.” Sapa Diana saat sahabatnya masuk ke dalam kelas.
          Namun ia hanya menoleh sinis, lalu memalingkan pandangannya dengan cepat. Ia mengambil tempat duduk yang tak berdekatan dengan sahabatnya.
          Diana pun kembali terdiam.
          Hari itu, terasa hari yang sangat lama bagi keduanya. Di diamkan secara langsung hingga menimbulkan pertanyaan teman sekelas lainnya. Ia tak saling menyapa, jangankan menyapa saling menoleh pun tidak. Saat kelas telah usai, mereka memilih melanjutkan masing-masing aktifitasnya.
          Diana kembali ke tempat kost nya, sementara Lusiana. Ia pergi ke tempat makan yang biasa ia tongkrongi bersama sahabatnya. Sesekali dalam benaknya ia bergumam, “Ana, gue kangen lo.” Matanya terpejam. “Tapi disisi lain, gue kecewa.” Cakapnya.
          Kemudian ia membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia saat itu, ada seorang gadis yang ia kenali betul, tengah berada tepat didepan pandangannya lalu kemudian tersenyum dengan senyuman yang tak asing baginya.



*bersambung


Senin, 27 November 2017

Berhenti Berharap (Part 11)

Gambar terkait
sumber foto: ngaco.ID



Saat telah sampai pada stasiun akhir untuk transit, ia kembali terengah langkah. Meski pada akhirnya, harus menunggu. Ia menoleh jam tangannya, bersisikan tiga puluh menit.
          Tiga puluh menit pun berlalu, ia dengan segera mencari tempat janjian yang sudah diberitahu sahabatnya. Ia pun terus melangkah, lalu kemudian melihat lelaki itu dan menghampirinya.
          “Kak Handy?” tegurnya
          Handy pun menoleh ke arah suara, nan kaget. “Lusi?” tanyanya penuh kebingungan.
          Lusi pun menatap mata Diana, seolah menjelaskan untuk meninggalkan keduanya.
          “Oya kak, aku duluan ya.” Pamit Diana kepada lelaki itu.
          Handy pun semakin bingung, mengapa ia dibiarkan berdua dengan Lusi. Sementara dirinya hanya mengajak Diana. “Ana?” panggilnya.
          Sementara Ana berlalu tanpa menoleh.
          Lusi pun mengajaknya berlari pelan, dengan sesekali ngobrol dan bercanda. Handy pun hanya mengikutinya, tak banyak kata sebab ia masih dibuat bingung dengan sikap Ana yang akhir-akhir ini justru seperti menjauh darinya acap kali keduanya mulai untuk bersama.
          Dari kejauhan Ana hanya memandang kebersamaan keduanya. Meski ia sedikit terluka, harus menggadaikan cintanya demi persahabatan mereka.
          Rini pun menatapnya, “Mau sampai kapan kamu begini?”
          Gadis itu menoleh kaget.
          “Aku tahu, tanpa kamu beritahu pun” jelasnya “Abang ku selalu bilang, kamu selalu menghindar acap kali kalian harus bersama.” Lanjutnya.
          Ia tersenyum menyimpulkan, “Ah itu perasaan aja.” Hatinya mulai kelu.
          “Yah, sekarang aku tahu alasannya,” memalingkan pandangannya kearah Handy. “Kamu suka kan sama bang Handy?” tanyanya. “tapi kamu justru mengalah untuk sahabatmu.”
          Ana pun termangu, menyadari bahwa apa yang dikatakan Rini adalah kebenaran hatinya. Sehingga ia pun tak mampu lagi tuk mengelak mengatakan tidak.
          “Diana … Aku tahu apa yang kamu rasakan, aku juga tahu pengorbanan kamu. Tapi ini soal hati,” jelasnya memberi pemahaman. “kamu gak bisa terus memaksa diri, Lusiana perlu tahu perasaan kamu sebenernya. Kamu pun berhak untuk itu.”
          “Rin … sebelumnya terimakasih sudah ngertiin posisi aku. Tapi bagiku, tetap menjaga persahabatan dengannya adalah pilihan terbaik. Soal hatiku merasakan sakit, biar hanya menjadi ceritaku sendiri saja. Karna jika aku tak peduli, aku hanya mencintai keegoisanku saja sedangkan aku tahu, bahwa Lusi lebih mencintai Kak Handy.” Jawabnya dengan dewasa, memandang kearah Handy.
          Rini pun merangkulnya memberi segala kasih sayangnya. “Ana, kamu sangat dewasa. Bagaimana tidak abangku tak mencintaimu dengan tulusnya.” Mengelus punggungnya. “Tapi Ana, kamu juga tahu bahwa abangku mencintaimu.” Ia memperjelas dengan menegaskan bahwa abnngnya maenicntainya. “Apakah abangku tahu, kalo selama ini kamu menghindar karena alasan ini?” tanyanya.
          Ia hanya menggelengkan kepalanya. “Aku pun lelah, terus berpura-pura seperti ini Rin. Jika ada pilihan lain, aku mungkin memilih pilihan itu.”
          “Ah Ana … aku tidak bisa menjadi seperti dirimu.” Menghapus binar dimata Ana.

***
          Keesokan harinya, Handy kembali mengajak Diana disebuah tempat makan ternama di ibu kota, tentu dengan perjanjian tanpa mengajak Lusiana untuk meminta penjelasan tentang kejadian kemarin di car free day. Sementara Rini pun tetap ikut, hanya saja ia memilih menyendiri di meja makannya sendiri, sesekali ia mengingat tentang Ian. Meskipun kini, hatinya tak lagi berharap tentang lelaki itu.
          “Ana … aku mau Tanya.” Lelaki itu memulai obrolannya.
          “Iya kak, tanya apa?”
          “Maksud kamu apa kemarin, ninggalin aku sama Lusi? Bukannya kamu tahu, kalo aku Cuma ngajak kamu sama Rini aja?” ia terus melempar pertanyaan yang menyudutkan.
          Ia pun hanya terdiam, termangu. Lidahnya kembali kelu, menerima pertanyaan yang sama. Ia menunduk.
          “Kenapa diem, An.”
          “Tak apa Kak” ia mengelak.
          “Jangan bohong Ana, aku tahu yang sebenernya. Rini sudah bilang.” Jelasnya.
          Diana pun menoleh ke belakang, ke arah Rini.
          Rini hanya tersenyum, dan menatapnya lembut dengan mengedipkan matanya.
          “Kenapa kamu ngorbanin diri kamu sendiri?”
          “Dia sahabatku, dan aku …”
          Tiba-tiba Lusi sudah berdiri di belakang Handy, dengan wajah kecewa dan marah. “Jadi gini, lu dibelakang gue selama ini?” ia menyentak.
          Keduanya pun terkejut.
          Diana berdiri. “Aku bisa jelasin ini, Lus.”
          “Munafik lu! Sahabat macam apa kaya gitu?” amarahnya semakin tak terkendali, ia pun meninggalkan tempat itu bersama tangis.
          “Lus … Lusiana ….” Teriak Diana berusaha mengejar. “Apa yang kamu, gak seperti yang kamu fikirkan.”
          Rini pun terkejut dangan kehadiran Lusiana, ia dengan segera mengejar Diana. Sementara Handy, masih termangu diam dalam duduknya. Ia menyangga kepalanya dengan tangan, keningnya mulai berkerut.
          “Ana … Diana!” teriak Rini mengejar dan menarik tangannya  untuk berhenti mengejar. “Sudah biarkan dulu, Di. Karena alasan apapun kamu ngejelasin sekarang, dia pasti nggak ngerti. Saat seseorang emosi, fikirannya pun pasti ngikuti. Tunggu waktu yang tepat untuk ngejelasin semuanya yah?” ia memeluk tubuh gadis itu erat.
          Sementara Lusi, ia terus berlari pergi kembali ke rumahnya. Ia masuk tanpa salam, dengan menutup pintu yang ia hentak yang mengagetkan Mamahnya dan mengangggung tidur adiknya. Ia dengan segera meninggalkan mamahnya tanpa permisi dan masuk ke kamarnya dengan tangis yang tak lagi mampu ditahan.
          Mamahnya pun terkejut dengan tingkah anaknya, yang tak seperti biasanya. Datang tanpa salam juga yang tiba-tiba nangis. “Sayang … kamu kenapa, nak?” teriak sang ibunda diluar kamar yang sedari tadi mengikutinya.

          Sementara ia hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan sang ibunda. Namun, suara tangisnya semakin keras.


*bersambung

Minggu, 26 November 2017

Berhenti Berharap (Part 10)


Gambar terkait
sumber foto: felingss.blogspot.com

“Hei, boleh aku duduk?” lelaki itu menghampirinya.

Ia pun menolehnya kaget. Lalu kemudian mengedipkan matanya pertanda iya dan menggeser duduknya untuk berbagi tempat duduk dengan lelaki itu.
Seketika suasananya berubah hening, hingga terasa mulai digigiti nyamuk.
“Banyak nyamuk yah?” Handy memulai pembicaraan.
Gadis itu pun menoleh, kemudian menundukkan pandangannya. “Iya.” Jawabnya.
“Tadi acting kamu bagus,” ia memuji.
“Kak Handy juga.” Jawabnya yang terihat tersipu, tak hanya menahan malu terhadap lelaki itu, namun juga menata gemuruh senang dalam hatinya.
Mereka pun terlibat pembicaraan yang lama, hingga sahabatnya menghampiri dengan mencari perhatian pada lelaki itu.
“Hai, Diana” sapanya. “Loh, ada kak Handy?” tanyanya pura-pura tak tahu.
Handy pun hanya tersenyum.
“Masih ingat sama aku?”
“Em … mukanya gak asing yah.” Jawabnya sembari menerka-nerka ingatannya.
Diana pun menoleh ke arah Handy, “Iya dia temanku, Lusiana namanya.” Ia
 memperkenalkan temannya. “Dia juga, yang waktu ospek Kakak hukum suruh jalan jongkok.” Jelasnya melanjutkan.
“Oh itu kamu!” jawabnya mulai mengingat. “Kalian satu angkatan?” tanyanya menoleh kepada dua gadis itu.
“Iya.” Jawab keduanya kompak.
Handy pun menoleh ke arah keduanya.
“Iya kita satu angkatan, satu kelas juga.” Jawab Lusi yang lebih banyak bicara daripada Diana.
Handy hanya mengangguk, mengiyakan yang kemudian izin meninggalkan keduanya.
“Kalo gitu kalian silakan lanjutkan kalo mau ngobrol, saya juga mau lanjut gabung dengan yang lain.” Pintanya yang di barengi senyum yang ditujukan untuk Diana, namun yang menanggapi justru sahabatnya. Lalu ia pergi.
“Kak Handy, asyik banget sih jadi orang. Manis juga senyumnya.” Jelasnya bersandar pada bahu sahabatnya. “Coba bisa tiap hari deket dia.” Ucapnya lirih.
“Apa Lus?” jawabnya kaget. “Maksud kamu?” membangunkan kepala Lusi dari sandarannya.
Ia pun menatap Diana dalam-dalam, dengan terus tersenyum. Sementara Diana  masih terheran-heran dengan sikap sahabatnya.
                “Diana, kamu tahu?” menatap mata sahabatnya dengan  menaruh tangannya di atas bahu Diana. “Orang yang selalu aku ceritain itu?” lanjutnya menjelaskan dengan pelan.
          ‘Deg.’ Jantung Diana tiba-tiba berdegup kencang, sementara otaknya masih  menyemilir tertahan di pembuluh darah. Seperti sudah tahu tahu akan jawabannya, semua tertahan didadanya. Ia sedikit menegang, namun demikian ia masih bisa mengontrol dirinya. Ia pun mengangguk.
          “Iya, dia Kak Handy.” Jelasnya dengan terus tersenyum.
          ‘Byaaaaaar’. Perasaannya membuncah bak sebuah bendungan yang meluap hingga sebabkan banjir. Ia menurunkan ketegangan dalam dirinya, akan kenyataan yang baru saja ia dengar. “Jadi selama ini, yang dimaksud itu Kak Handy.” Benaknya bergumam seolah-olah tak percaya. Ia hanya tersenyum pasi, mencoba mengontrol dirinya. “Kamu, emang gak salah buat mencintai seseorang.” Jawabnya dengan hati yang bergetar. Sementara dirinya menahan tangis didadanya, bagaimana tidak? Dua orang yang saling bersahabat mencintai seorang lelaki yang sama.
          Lusi pun memeluk dirinya erat, seakan memberi tahu bahwa kini ia tak lagi harus menyimpan kagumnya seorang diri. Sedangkan Diana dalam peluknya, ia melihat lelaki itu dari kejauhan dengan binar dimatanya.
          “Perjuangin kalo dia memang pantas diperjuangin.” Ucapnya dengan sedikit lirih.
          Lalu Lusi pun menarik tubuh Diana dari peluknya dan tersenyum. “Untuk itu, kamu mau kan bantu aku?” tanyanya.
          Ia pun menoleh lalu memalingkan kembali wajahnya. “Bantu apa Lus?” jawabnya kemudian.
          “Bantu aku terus deket sama dia yah?” pintanya.
          Diana pun semakin tercekat akan maunya, ia sebenernya ingin menolak pintanya. Namun, apa boleh buat. Ia pun mengiyakan berjanji untuk membantunya terus dekat dengan Handy.
          Seketika suasana menjadi hening, dan mereka memilih melanjutkan mengikuti acara. Tetapi tidak dengan Diana, gadis itu memilih beralih kedalam tenda dengan alasan sudah mengantuk yang kemudian ia menimbang-nimbang permohonan  sahabatnya, ia mengerti bahwa ia harus terluka namun disisi lain ia pun juga sama mencintainya. Meski sahabatnya tak pernah tahu perasaannya yang sesungguhnya. Hingga ia terlelap pada tidurnya.

***
          Roda waktu semakin bergerak jalan maju, persahabatan mereka tetap terjaga. Dua orang sahabat itu pun masih bersama, dan sama-sama saling dekat dengan lelaki itu. Satu semester berlalu, kini lelaki itu sedang mempersiapkan skripsinya sementara dua orang yang saling bersahabat itu menginjak semester empat, sama seperti adik sepupunya.
          Suatu hari di weekend, Handy pun mengajak adik sepupunya untuk lari pagi tak lupa pula ia mengajak Diana. Sekaligus memperkenalkan keduanya. Mereka bertemu di sebuah Car free day. Namun tanpa sepengetahuan Handy, ternyata gadis itu pun mengajak sahabatnya.
          Disisi lain, seperti biasanya, Lusiana terbangun adri lelapnya tidur. Matanya yang masih suntuk terlihat jelas oleh lingkaran hitam area matanya, tak lupa Ia menyegerakan satu dari lima waktu yang wajib.
          Tangannya mengepal, menggeliat dengan manjanya. “Hari ini aku harus pergi.” Katanya berujar.
          Lalu ia mempersiapkan dirinya, membersihkan diri, dan tetap menjaga sarapannya walaupun hanya segelas susu. Ia pergi ke sebuah stasiun, dengan terengah-engah. Mengejar waktu, sebab keterlambatan adalah sebeuah kutukan baginya.
          Iya, akhirnya duduk dengan tenang di bagian ujung gerbong commuter line, tepat pada gerbong yang dikhususkan untuk wanita. Lalu membuka ponselnya, sekedar membalas pesan dan menutupnya kembali setelah usai.
          Ia kini menikmati alunan bunyi keretanya, kala embun masih membasahi kaca kereta dengan tebalnya. Sementara bersamanya, ia memandang satu demi satu orang yang berada disekelilingnya sekaligus rumah-rumah yang ia lewati diluar kaca kereta. Sesekali ia memejamkan matanya.


*bersambung

Sabtu, 25 November 2017

Berhenti Berharap (Part 9)

Gambar terkait
sumber foto: Twitter.com


        Tanpa mengubah nama. “Ana, kau tahu aku. Aku begitu menyayangimu.” Lelaki itu pun memulainya dengan berdialog.

          Sementara sang nawacerita bercerita, bahwa hal itu pun berat bagi Ana.
          “Aku tahu, Mas. Tapi hubungan kita tak direstui orangtuaku.” Jawabnya dengan nada lirih.
          Sang nawacerita pun berkata, bahwa orang tuanya mendengar percakapan mereka. Dan segera memarahi lelaki itu.
          “Hei kamu anak muda.” Jawab ayah Ana, yang diperankan teman setim lainnya. “Kamu punya apa untuk mencintai anak saya?”
          “Aku punya cinta, Ayah”
          “Ayah?” jawabnya geram. “Tak sudi aku mendapatkan menantu seperti kamu.” Lalu menarik tangan Ana, untuk menjauh dari lelaki itu. “Ayo Ana, kamu masuk ke kamar.” Pintanya dengan nada kasar.
          “Tapi Ayah …” jawabnya penuh permohonan. “Aku mencintainya, dia kekasihku.” Jawabnya dengan beruraian air mata yang membuat para anggota lain ikut terharu dalam aktingnya.
          “Ana kau lupa, bahwa aku ini adalah masih ayahmu.” Jawab sang ayah yang semakin geram. Sementara tangannya di pegang sang ayah kuat. “Ayah bilang, kamu masuk sekarang!” teriak ayahnya yang semakin terlihat emosi.
          “Tapi ayah ….” Tangannya berusaha melepaskan diri dari genggaman sang ayah. “Aku mencintainya ayah, dan ayah gak bisa larang aku gitu aja.” Jelasnya yang kemudian berlari mendekati Handy, kekasihnya.
          “Ana!” emosinya kini mulai memuncak, “Kau tahu dengan siapa kamu sedang berbicara?” sang ayah menjelaskan.
Sementara ibunya, dia terus menahan amarah suaminya sembari tetap menasihati anaknya. Apa boleh buat seorang ibu hanya bersikap sesuai rasanya, ia membenarkan alasan sang putri yang mencintai lelaki itu dikarenakan kesederhanaanya, namun juga tak menyalahkan suaminya akan sikapnya yang keras terhadap keputusan sang anak. Sang ibu hanya  berusaha menenangkan dirinya juga amarah suaminya, meski tangisnya tak mampu tuk terbendung.
Hingga tanpa sadar, anggota yang lain pun beruraikan air mata.
“Apa jadinya kalo hal itu terjadi sama gue?” ungkap salah satu anggota lain.
“Sama. Gue sampe ikutan nangis.”  Jawab anggota yang lainnya.
Akhirnya persembahan dari mereka pun telah usai, beberapa orang masih dengan posisi yang sama di anatara ketegangan juga keterharuan. Hingga membuat panitia termangu terbawa suasana perannya.
“Pak sudah selesai.” Anis mengingatkan.
Mata sang panitia pun mulai gelagapan, tak menyadarinya bahwa telah usai. “Duh, kisahnya sedih. Saya sampai terbawa suasana.” Jawabnya sembari menyeka air matanya jatuh kembali. “Okay, kasih applause untuk tim lima.” Semua orang pun bertepuk tangan.
“Apakah kalian, sudah saling kenal sebelumnya?” Tanya salah satu panitia yang lain pada Handy juga Diana.
Sementara keduanya hanya saling bertatap yang kemudian di akhiri senyum. “Tidak pak, bahkan kita baru dipertemukan disini karena satu tim.” Jawab Handy yang kemudian meminta pengakuan terhadap anggota timnya tanpa terkecuali Kevin.
“Kerjasama yang bagus,” sembari memberi tanda OK pada jempol kedua jari tangannya. “Chemestry kalian dapat sekali, mengalir dan menyatu begitu aja.”
Semua anggota timnya pun saling memandang, dan melempar tawa untuk kekompakan yang dibuatnya. Namun salah satu anggota lain, Anis justru memandang wajah Handy juga wajah Diana yang ia simpulkan dengan senyum.
Persembahan dari tim mereka pun telah usai, seperti halnya dengan yang lain. Kini bagian tim lainnya yang mendapat giliran. Namun setelah tampilnya tim Diana, mood Lusiana mulai berubah. Ia selalu berandai jika harusnya yang diposisi seperti itu dirinya, berada di sampingnya apalagi bersandar pada bahunya yang kekar. Ia pun kembali ke dalam tenda seorang diri.
Saat tengah asik bersama kesendiriannya, salah satu teman timnya mengatakan bahwa persembahan telah usai. Dan akan segera di nyalakannya api unggun pada menit-menit terakhir pergantian hari.
Semua bernyanyi menanti dinyalakannya api unggun, berkeliling lalu berpegang tangan satu sama lainnya. Kini semuanya boleh bergabung bersama teman angkatannya  masing ataupun tetap bersama timnya. Kemudian Diana memilih mendekati Lusi, saling berpegang tangan sementara lelaki itu berada tepat pada posisi di depannya bersama Kevin juga teman lainnya.
Api pun menyala, semua sorak gembira. Suara tepuk tangan juga nyanyian mendomisili dan bergerak sesuai maunya lagi tanpa diatur seperti sebelumnya.
Diana pun memilih ke belakang tenda setelahnya, dimana tempat semua persediaan makanan diletakkan, dan memilih menyendiri. Yang kemudian justru diikuti Anis, teman se-timnya.
“Hai An.” Sapanya
Ia pun menoleh ke arah suara. “Ka Anis.” Jawabnya dengan senyum.
“Kamu nggak ikut rame-rame depan api unggun?” menghampiri dan duduk di sampingnya.
Ia hanya menggelengkan kepalanya. “Disana terlalu panas.”
Anis pun tersenyum dan memandangnya. “Kamu suka sama Kak Handy yah?” tanyanya dengan senyum.
Ia pun seketika menjadi salah tingkah, “Ih apa sih, Kak.” Jawabnya berusaha mengelak.
“Kamu boleh aja membohongi diri kamu sendiri, ataupun bohongi yang lain. Tapi tidak ke saya.” Tersenyum. “Saya bisa baca dari matamu, iyah walaupun saya bukan teman dekatmu yang sehari-harinya bisa ketemu.” Lanjutnya.
          Sementara Diana pun hanya diam memerhatikan.
          “Tapi benar kan, apa kataku?” Tanyanya kembali menyudutkan dan sesekali  menggodanya. “Okay, kamu gak perlu jawab. Aku tahu jawabanmu.”
          “Ngomong apasih Ka Anis?” lagi-lagi dirinya berpura-pura tak mengerti.
          Anis pun bangkit dari tempat duduknya yang kemudian berbisik. “Kalau kamu suka, perjuangin cinta kamu. Turunkan ego dan saling mensupport.” Menatapnya hangat dengan senyum lalu meninggalkan dirinya kembali seorang diri.
          Ia pun membalasnya dengan senyum kembali yang kemudian matanya melirik langkah wanita itu hingga sesekali menyudutkan matanya ke arah Handy dan mulai merenungkan apa yang dikatakan Anis sebelumnya.


*Bersambung

Jumat, 24 November 2017

Berhenti Berharap (Part 8)

Saat malam tiba, semua tim dikumpulkan kembali di sebuah lapangan dengan pusat persiapan bahan api unggun. Mereka tetap bersama timnya masing-masing untuk mempersiapkan pula persembahan yang akan di tampilkan sepanjang menanti waktu yang tepat untuk menyalakan api unggunnya.
Saling bertukar fikiran untuk mengisi persembahan, nampaknya tim Diana selalu terlihat santai dengan penuh tawa. Sedangkan tim Lusiana, selalu diributkan oleh perbedaan pendapat. Ia menatap sahabatnya agak sinis, nampaknya ia mulai cemburu terhadap kekompakan timnya, tak hanya itu terlebih kepada kedekatannya terhadap lelaki itu.
Ia menoleh ke arah sahabatnya yang kemudian mengodenya dengan sekali gelengan kepala menandakan, “Yuk ke belakang” yang kemudian sahabatnya mengerti dan segera ia izin untuk segera pergi ke belakang arah tempat tenda wanita. Sementara Handy pun ikut menoleh, melihatnya pergi, matanya melirik langkah pendek gadis itu.
“Ada apa?” ujar Diana dengan suara yang pelan, sementara matanya sibuk memata-matai sekitarannya.
“Kok kamu, aku perhatiin deket banget sama Kak Handy?” tanyanya to the point.
Mata gadis itu pun mulai menatap mata sahabatnya, dalam benaknya ia mulai kebingungan atas pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya. “Kan memang dia ketua tim aku, Lus.” Jawabnya memberi alasan.
“Iya, aku tahu. Tapi gak sedeket itu kan?” tanyanya semakin menyudutkan.
“Lho, lho … ini maksud kamu apa ya?” jawab Diana heran. “Kok kamu ngelarang-larang gitu?” tanyanya semakin heran.
“Bukan ngelarang sih An. Tapi …”
Kemudian Diana memotong bicaranya Lusi, “Tapi apa?” jawabnya agak sinis.
“Tapi masalahnya,” ia menghentikan suaranya, menutup bibirnya dengan jari-jari tangannya sebab hampir saja ia mau berkata bahwa lelaki yang dimaksudnya selama ini adalah Handy. “Mmmm, nggak jadi.” Lanjutnya.
Mata Diana pun melirik mata sahabatnya dalam-dalam, ia melihat bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan dari dirinya mengenai lelaki itu. Yang kemudian melihat ke arah timnya untuk menengok Handy. Fikirnya, “Seperti tidak terjadi apa-apa”. Begitupun dengan Lusiana, ia pun menoleh ke arah lelaki itu.
“Gak jelas kamu Lus,” ujarnya. “Udah ah, kita balik lagi ke depan, nanti ketahuan panitia, habislah kita.”
Lusi pun hanya berdiam diri.
“Eh, malah melamun. Ayo lus ….” Ajaknya.
Ia pun akhirnya mengiyakan dan segera kembali pada timnya masing-masing.
“Habis apa, kok lama?” Tanya Handy saat Diana kembali. Lalu menoleh ke arah belakang melihat Lusi.
Gadis itu pun ikut memandang Lusi. “Biasa, urusan cewe. Maaf agak lama.” Jawabnya yang kemudian mengalihkan kembali matanya terhadap lelaki itu.
Lelaki itu pun kembali mengalihkan pandangannya ke arah timnya. “Baiklah, tak apa.” jawabnya santun. “Mari kita lanjutkan.” Lanjutnya mengajak timnya berdiskusi.
Sementara Lusiana, ia hanya mampu memandang lelaki itu dari kejauhan serta melihatnya memberi perhatian lebih terhadap sahabatnya, yang mulai menimbulkan benih-benih kecemburuan.
Persembahan masing-masing tim pun segera di mulai menjelang waktu-waktu penyalaan api unggun. Dengan nomor urut yang sengaja dikocok.
Suasana semakin seru, tatkala salah satu tim mempersembahkan stand up comedy.
“Sayang, kamu tahu ibu kita kartini?” ujar salah satu anggota dari tim lain saat mempersembahkan persembahan timnya.
“Tahu, itu tuh yang perayaanya setiap bulan april itu kan ya?” jawabnya.
“Iya, kamu bener. Sekarang, biarlah dulu ibu kita kartini. Kalau besok …?”
“Besok apa, Yang?”
“Kalo besok ibu kita besanan. Eaaaaa.” Jawabnya yang kemudian disambut riang para anggota dan tim lain. Hingga suara teriakan “Witwiw” dan “Eaaaa” terdengar dari setiap sisi-sisi anggota yang melingkar, melingkari api unggun.
          Sementara Handy dan Diana, ia saling menatap dan melempar senyum. “Setelah ini, bagian tim kita. Kamu siap kan?” Tanya Handy.
          Ia hanya menganggukan kepalanya sembari tersenyum.
          Panitia pun membunyikan pluitnya, tanda waktu untuk persembahan masing-masing tim telah habis. “Beri applause untuk tim sembilan.” Yang kemudian dengan segera diganti oleh persembahan tim yang lain.
          “Kali ini, dari Tim Handy.” Teriak salah satu panitia. “Handy and team, sudah siap?” Tanya panitia.
          Timnya pun kompak menjawab. “Iya, siap.” Sembari mengacungkan jempol tangannya.
          “Beri tepuk tangan untuk tim lima”. Semua orang pun bertepuk tangan.
          Tim lima pun maju, dan mulai memperkenalkan diri. Bercerita tentang sebuah cerita romantic. Ada yang menjadi nawacerita, ada yang pura-pura menjadi salah satu orang tuanya, ada juga yang menjadi pohon-pohonan. Sementara Handy dengan Diana, mereka adalah tokoh utamanya.


*Bersambung

Berhenti Berharap (Part 7)

Hasil gambar untuk curi pandang kartun
sumber foto: 145xcomz.blogspot.co.id

       Kini minggu demi minggu berubah bulan, hingga berubah menjadi semester baru, persahabatannya kini semakin terjalin. Tak terhitung warnanya, tak sedikit cerita berbagi tentangnya, tentang lelaki itu, tentangnya yang memillih tuk diam mencintai.

          Diana yang memilih memendam kagum dalam diamnya, sementara Lusiana memilhnya berbagi cerita dengan sahabatnya meski hingga saat ini pun tak pernah menyebutkan namanya. Dua orang sahabat yang menyimpan perasaan terhadap lelaki yang sama. Sementara Rini, ia masih saja menikmati kesendirian dalam kebimbangan harap tentangnya yang  justru tanpa kabar.
          Pada suatu ketika dalam acara yang di adakan pihak kampus, di pertemukanlah kembali Lusiana, Diana juga Handy. Dimana ketiganya terkumpul bersama semua angkatan, tergabungnya senior juga junior. Yang kemudian terbagi kembali menjadi beberapa tim-tim kecil, saat itu Diana juga Handy satu tim, sementara Lusiana di tim lain.
“Tim empat, ada Puspa,” nama yang dipanggil pun segera memposisikan diri di depan berjajar dengan tim yang lainnya, “… Rina, Dimas, Lusiana, Adi, ….” Teriak salah satu panitia yang disambut riuh juga tepuk tangan para mahasiwa.
          Sementara Lusi, bersikap sedikit kesal saat penyebutan anggota tim-nya hingga akhir yang tak menyebutkan nama lelaki itu, yang ia harap bisa satu tim dengannya. Namun apa boleh buat, ia hanya menerima keputusan yang sudah dibuat para panitia.
          “Yuah, kita nggak se-tim.” Ucapnya kepada Diana, mengalihkan sesalnya.
          Diana tersenyum, “tak apa, semangat yah!” jawabnya memberi semangat.
          “Tim Lima, Diana,” ia pun menyesuaikan dirinya di depan, “… Kevin, akbar, Anis … dan terakhir Handy.” Teriak kembali salah satu panitia yang semakin terdengar riuh dengan tepuk tangan mahasiswa yang lain.
          Diana pun hanya tersenyum, dalam hatinya ia bergumam betapa senangnya bisa berada dalam satu tim dengan lelaki yang ia kagumi. Sementara Lusiana, ia hanya memandangnya dari samping berujarkan dalam diri, “kan aku yang mau satu tim bareng kak Handy. Beruntungnya Diana.”
          Setelah panitia menyebutkan semua tim-nya yang terbagi atas kurang lebih lima belas tim dengan kisaran jumlah anggota sepuluh hingga tiga belas anggota, kini ke semua tim diharuskan membentuk kader ketua tim.
          Semua tim hampir terdengar gaduh, saling menunjuk si A dan si B nya untuk menjadi ketua tim. Namun justru malah membalik tunjuk arah, saling mengandalkan. Yang mana ketua adalah yang bertanggung jawab terhadap para anggota timnya masing-masing. Tanpa terkecuali Tim lima, yaitu tim Diana. Ia kompak menunjuk Handy, yang kemudian ia langsung menerimanya tanpa menolak dengan kata, “Ah kamu saja”  seperti yang lainnya.
          Akhirnya tim lima pun terbentuk dengan ketua tim Handy, bersama sebelas anggota lainnya. Sementara Lusiana, ia akhirnya  mendaftarkan dirinya sebagai ketua tim dikarenakan anggotanya yang hanya saling mengandalkan satu sama lain.
          Waktu pembentukan ketua tim pun habis, panitia mulai mengumpulkannya kembali di halaman kampus, dengan garis saling berjajar antara tim satu dengan tim lainnya dengan posisi ketua berada di baris terdepan.
          Setelah terbentuknya ketua tim, kini panitia memberi clue dan randown mengenai acara itu kepada sang ketua dan tugas seorang ketua yang pertama adalah memberi pemahaman kepada masing-masing anggotanya.
          Dengan bijaknya Handy melangkah dan membuat strategi khusus untuk timnya, wibawanya semakin terlihat kala ia mulai menjelaskan satu demi satu tahap dan randown acara kepada anggotanya. Sementara Diana, ia memperhatikan detail lelaki itu dengan baik, tampak begitu manis ia melihatnya hingga mencuri pandangan darinya. Sesekali ia menundukan pandangannya, dan menyimpulkannya dengan senyumnya yang manis. Hingga membawanya pada lamunan akan lelaki itu yang kemudian menjadi salah tingkah kala teman se-timnya mengagetkan dirinya.
          “Na!” bahu temannya menyentuh bahu Diana, yang mengagetkan dirinya.
Dengan segera ia menoleh kearah temannya. “Apa?” jawabnya dengan suara kaget dan terdengar berbisik.
“Di tanya kak Handy, sudah paham belum?” jawabnya memberi penjelasan sembari menundukan kepalanya, ucapnya berbisik pula.
Diana pun segera menegakkan pandangannya dan menatap ke arah lelaki itu.
“Iya kamu?” ujar Handy
“Iya paham Kak.” Jawabnya yang kemudian kembali menundukan pandangannya.
Acaranya pun di mulai, memulainya dari perkenalan mmasing-masing anggota tim bersama jargon dan yel-yel lengkap yang dibuat bersama, mengharuskannya saling mengenal antar anggota satu dengan anggota lainnya yang mana nilai sebuah kekompakan dan kebersamaan adalah kunci utamanya.
Sementara Lusiana, ia selalu mencuri-curi pandang mencari perhatian lelaki itu, namun lagi ia selalu melihat betapa lelaki itu begitu dekat dengan sahabatnya, ia sedikit cemburu meski masih beranggapan hal biasa karna memang satu tim, tetapi tetap saja ia tak bisa menutupinya.
Langkahnya semakin tak tentu, gejolak cemburunya kini mulai mengganggu aktifitasnya, ia mulai tidak focus. Sementara Diana, ia tak menyadari tingkah aneh sahabatnya, karena fikirnya kerjasama dan kebersamaan tim adalah yang penting, ia bersikap professional mesti tak menutup hatinya, bahwa bersama dengan lelaki itu adalah kemustahilan yang sedang terjadi apalagi saling melempar canda tawa.


*Bersambung

Rabu, 22 November 2017

Berhenti Berharap (Part 6)


        Gambar terkait

         “Hai Bang, gimana kuliahmu?” tanya Rini pada Handy, yang tak lain adalah kakak sepupunya. “Kapan wisuda?” lanjutnya sembari mengacak-acak buku.
         “Lagi pusing, banyak tugas.” Jelasnya singkat. “Hai kamu, lama di Negara orang makin putih aja.” Lanjutnya meledek.
          “Iyalah, emang abang makin item. ‘Hahaha’” ledeknya.
        Membalikan tubuhnya dari kursi belajar. “Biarin abang item, yang penting tetap manis.” Pembelaan dirinya.
          ‘Hahaha’. “Dasar abang jelek, gak mau ngalah.” Memukulnya pelan dengan buku.
          “Siapa pacarmu sekarang, Rin? Sini bawa, ajak kenalin ke abang.”
          Membuka-buka lembaran demi lembaran buku. “Aku nggak punya, Bang.”
          “Bisa aja emang kalo bohong.” Jawabnya menyudutkan pembenaran Rini.
          “Aku serius, Bang.” Berusaha meyakininya. “Sebenernya sih ada yang menarik perhatian aku, dia baik, dia humoris, dia dewasa, dia asyik gak kaya abang, nyebelin.” Ucapnya.
          “Jadi abang, nyebelin nih?”
          ‘Hehehe’. “Tapi abang, paling baik kok”
          “Dasar ya kamu gak berubah. Selalu bisa aja ngegoda abang.” Jawabnya sembari nyubit pipinya Rini. “Lalu?” lanjutnya.
          “Gak ada kelanjutannya. Udah begitu aja.” Jelasnya.
“Loh, gimana sih?” tanyanya semakin heran. “Jadi kalian gak pacaran?” lanjutnya.
“Entahlah, Bang. Sudah lost contac.” Tuturnya dengan sedikit perasaan kecewa. “Lalu bagaimana dengan abang sendiri?” lanjutnya bertanya mengalihkan pembicaraan. “Siapa pacar abang sekarang? Apa masih jomblo!” tanyanya sembari meledek.
“Abang … abang …” terlihat menjawabnya dengan terbata-bata dan membalikan kembali tubuhnya ke arah meja belajar. “ada satu cewek yang menarik perhatian abang.” Jelasnya.
“Lalu?”
“Tapi entahlah Rin. Abang belum yakin, kalo abang beneran suka sama dia.” Jelasnya.
“Widih, siapa nih ya cewek yang berhasil ngegoda iman abang gue satu inih?” jawabnya meledek.
‘Hahaha’. “Apasih kamu?”
“Ayo lah bang siapa?” pertanyaanya semakin menyudutkan.
Ia mulai menjelaskannya semenjak pertama kali melihatnya di lorong kampus menuju sebuah taman dengan senyum manisnya yang khas bersama lesung pipi, yang selalu membiarkan rambutnya terurai, tutur katanya halus, berkulit putih cerah, gayanya yang anggun selalu memberinya kesejukan juga  kehangatan saat memandangnya. Saat dipertemukan tanpa sengaja di kantin pun, ia menahan degup di dadanya untuk berpura-pura tak peduli.
Rini menatap mata abangnya. “Aku yakin, abang aku yang satu ini sedang beneran jatuh cinta.” Jawabnya. “Matamu gak bisa bohongin aku, Bang”
“Ah kamu. Sudahlah.”
“Aku mendukungmu kok bang. Lanjutkan ya, perjuangin cintamu sampai dapat.” Ucapnya memberi dukungan. “Anak mana dia?” lanjutnya bertanya.
“Terimakasih buat dukungan ya, Sayang. Dia adik kelas abang, masih anak semester baru lah.” Jawabnya mulai terus terang.
Hingga akhirnya kakak-adik sepupu itu pun berbagi perasaannya, menceritakan sesuatu yang mungkin dapat disebut dengan kata cinta.
Kemudian Rini meminta abangnya tuk mengajaknya pergi keluar. Mencari hiburan, mungkin hanya sekedar makan atau pun jalan ke Mall. Ia pun mulai merapihkan buku-bukunya. Maklumilah, Rini adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami Istri keluarga Zakaria. Ayahnya adalah pengusaha property yang sukses, dan ibunya adalah sekretaris sang Ayah, makanya keduanya selalu bekerja dalam satu hal pekerjaan yang sama.
Sementara abangnya sendiri adalah Kakak sepupu satu-satunya yang ia miliki di Jakarta, ia adalah anak dari kakak ayahnya yang juga seorang anak tunggal. Sejak berusia remaja, ia sudah ikut bersama keluarga Zakaria tersabab orang tuanya meninggal saat kecelakaan pesawat dua belas tahun silam, saat usianya baru menginjak dua belas tahun. Itu sebabnya Handy dibesarkan oleh kedua orang tua Rini, dan mengangapnya seperti layaknya anak kandungnya sendiri. Usia keduanya berselisih hanya enam tahun,
Handy pun menuruti maunya Rini, dan segera mengajaknya pergi keluar. Menemaninya menyusuri kota, menikmati suasana Jakarta yang mungkin sudah sedikit berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, saat terakhir sebelum tiga tahunnya berada di Canada.



*Bersambung

Senin, 20 November 2017

Berhenti Berharap (Part 5)

“Jadi mah, aku masih prepare. Nanti pesawat berangkat jam satu.”  Balasnya.
        “Baiklah, hati-hati di jalan ya Nak. Maaf mamah sama papah belum bisa jemput kamu, kami ada meeting kantor. Nanti kamu dijemput sama si abang ya, Nak.”  Balas sang Mamah.
          Yang kemudian ia balas, “Iya Mah.”
          Setelah akhirnya usai prepare barang-barangnya, kini ia segera membersihkan dirinya. Tak lupa pula makan. Beberapa saat kemudian, kedua temannya pun mengantarkannya ke bandara. Kini terjadi lagi, perpisahan juga tangisan di antara ketiganya. Hari perpisahan itu pun tiba.
          Ia menapaki jalan langkah demi langkahnya, menuju koridor pemberangkatan. Tak percaya bahwa kini ia akan di batasi oleh jarak, semakin dekat dengan jarak yang mulai terasa tergambarkan. Meninggalkan Negara itu dengan cepat, bukanlah inginnya.

***

Jakarta.
          Sudah hampir sebulan Lusi juga Diana kuliah, kegiatannya sebagai mahasiswi baru, terasa padat dirasanya. Namun mereka tetap saling mengisi, dan saling berbagi di antara keduanya.
          “Dian …,” panggil Lusina. “kamu pernah ngerasain jatuh cinta?” lanjutnya bertanya.
          “Emmmm …,” jawabnya terlihat berfikir dan memain-mainkan bola matanya. “Ada yang jatuh cinta kayanya nih. Aku pernah.”
          Lusiana memainkan sumpit mie pangsitnya, “Gimana rasanya?” lanjutnya.
          “Rasanya … seperti nano-nano. Seneng, adem aja kalo liat si doi nya, apalagi kalo liat perhatiannya. Senyum manisnya bikin dag dig dug. Ya seperti itu lah.” Jelasnya sembari membayangkan wajah lelaki itu. “Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta sama siapa?”
          “Aku gak yakin sih lagi jatuh cinta sama dia, tapi …,” terdiam sejenak. “Selalu ngerasa nyaman aja pas udah liat dia?”
          “Cie …. Sama siapa tuh?” Ledek Diana.
          “Ada deh, tapi aku juga gak tahu sih siapa namaya. Jadi nanti dulu aja kalau sudah pasti. Baru ku kasih tahu.” Jelasnya.
          Mereka pun terus berbincang sambil menikmati makan siangnya di kantin kampus. Saat Diana kembali ke arah tempat memesan makanannya, ia berpapasan dengan lelaki itu, lelaki yang sama juga ingin memesan makanan yang sama.
          “Handy ….,” teriak salah satu temannya di pojokan kantin. “Gue pesenin satu porsi pedes ya”.
          Sementara lelaki itu hanya mengisyaratkan dengan kode tangannya yang pertanda iya.
          “Bu, saya pesan Mie pangsit seperti biasa sama baksonya ya. Saya di pojokan itu.” menunjukan tempat duduknya pada ibu kantin itu.
          “Iya siap Handy.” Jawabnya jelas,
          Sedangkan Diana, sembari menunggunya beralih ia mengingat-ngingat nama lekaki itu. “Handy” ia mengeja dalam hatinya. “Jadi lelaki yang selalu menarik perhatian aku selama ini namanya Handy. Aku baru tahu” gumamnya dalam hati yang sekaligus membuatnya dag dig dug tak karuan.
          Sementara Lusiana di belakang sana juga telah memerhatikan sahabatnya, yang kemudian teralih perhatian oleh lelaki itu. Hatinya terus bernyanyi seperti harmoni, perasaannya tak terkendali tiap ia menemui lelaki itu. sikap santunnya memberinya kesejukan dan kedamaian, wibawanya memberikan ia sejuta harapan.
          Matanya memandang halus lelaki itu, lelaki yang tak ia tahu siapa namanya. Senyumya mulai mengambang, bersama duduk yang manis memerhatikan. Hingga matanya tak ingin jengah tuk memandang lelaki itu, hingga kembali ke tempat duduknya. Matanya melirik tiap langkahnya, mengantarkan kepada kursi dipojokan kantin.
          “Hai Lus!” Ia dikejuti Diana memegang pundaknya. “Liatin apa?” tanyanya dengan mata yang memandang hampir ke setiap penjuru kantin.
          “Oh tidak.” Jawabnya mengumpat dan menolehkan pandangannya.

          Lalu mereka melanjutkan makan siangnya, sesekali mereka membayangkan wajah lelaki itu.


*Bersambung

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...