Sabtu, 18 November 2017

Berhenti Berharap (Part 3)

       Hasil gambar untuk kebun bunga sakura high park
 sumber foto: blog.platechno.com


       Sementara Rini, minikmati malam terakhirnya di Negara orang sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Berselimutkan dingin juga sepi. Ia berjalan menyusuri kota, bersama kedua temannya, Julia dan Ester. Namun tak saling bicara, bisu tak bersuara.
      Berisyaratkan hati, menata diri yang saling terpikat satu dengan yang lainnya, tak berkode, seperti mereka memahami sebagaimana para perumus kode melafalkannya. Mereka hanya terus melangkahkan kakinya, berpijak dari sudut ke sudut kota yang lainnya, melewati jalan setapak hingga jalan kota yang ramai.
     Jaket tebalhya kini dirasa tak cukup membalut tubuhnya, dinginnya cuaca disana selalu mempunyai cerita yang tak bisa ia tuliskan lewat kata-kata. Ia hanya melipatkan tangannya didadanya, sementara lehernya terbungkus rapih oleh kain syal yang selalu ia pakai dan membiarkan tudung jaketnya menutupi kepalanya. Tak lupa pula ia selalu memakai sepatu boot kala salju menerpa Canada.
       Sementara kedua temannya, dirasa sudah terbiasa dengan cuara Negara sana. Membiarkan kepalanya sedikit diterpa salju, dan dengan sengaja melepas tudung jaketnya. Mereka saling menikmati malam itu, berjalan dan menari-nari dalam salju, memainkan kakinya dalam tumpukan salju. Sesekali saling menggumpalkan salju dan melemparkannya kepada yang lainnya.
      Saat cuaca kota diterpa salju, mereka memilih untuk berjalan kaki saja, sembari menikmati suasana kota. Hingga mereka tiba, pada suatu tempat yang selalu mereka cari. Iya suatu tempat yang selalu memberikan mereka kehangatan dan kebersamaan, suatu tempat dimana ketiganya dipertemukan, sebuah taman yang bernama High Park. Taman yang terbentang mulai dari Bloor Street hingga ke The Queensway, tepat di tepi utara Danau Ontario. Yang selalu mereka nanti adalah atraksi kebun bunga sakura (cherry).
     Satu dari kedua temannya menatap mata sayu Rini dengan penuh harap “Rin …,” panggilnya.
    “Iya” jawabnya mengangkat kepala dari menunduk.
   Matanya mulai berbinar, berkaca-kaca menahan tangis. Lalu sontak menarik tubuhnya dan mendekapkannya kepada tubuh Rini, memeluknya dengan erat yang ditambah dirangkul hangat oleh Ester.
     “Berjanjilah padaku untuk kembali kesini” ucap Julia penuh harap.
    Seketika air matanya tumpah tak tertahan, ia hanya menjawabnya dengan tangis.
     Sementara Etser terus membelai halus dan indah rambutnya. Membiarkan Rini menghabiskan sisa tangisnya, hingga tak ada lagi beban yang harus ditahan.
    Suasana hening. Hanya terdengar isak tangis dari ketiganya. Ester pun mulai melepas rangkulannya, begitu juga dengan Julia yang melepaskan pelukannya. Julia menghapuskan air mata yang masih tersisih di pipi temannya, sedangkan Ester memegang pundaknya memberinya kekuatan.
    “Percayalah sayang, kota ini selalu punya cerita tentang kita. Ia menyimpan tanpa kita pinta, ia juga takkan menghapusnya ketika kita lupa. Tapi kamu …” tersenyum “yang tak terlupa” lanjutnya.
   “Terimakasih Kak Etser.” Memandang Ester dengan senyum haru, dan memandang Julia disisi lainnya “Terimakasih juga buat Ka Julia.” Terdiam sejenak. “Terimakasih sudah mau direpotkan sama Rini beberapa bulan terakhir ini, Rini gak tahu harus ngomong apalagi. Kalian paling the best yang aku punya di Canada. Rini pasti kangen sama kalian, kangen tempat ini dan kangen semuanya.”
“Kita juga pasti kangen sama nakalnya kamu” ujar Ester
“Kakak ….” Jawabnya dengan penuh manja
Tersenyum, “Kau akan kembali kesini lagi kan?” Tanya Julia
Ia hanya mengedipkan mata, mengisyaratkan pertanda Iya.
“Kota ini selalu menunggumu kembali, dan pintu rumahku selalu Welcome buat kamu, Dik”
“Dan kamar kakak pun selalu welcome buat kamu acak-acakin, Dik” ledek jahilnya Ester.
Mereka pun tertawa. ‘Hahaha’.
Menikmati salju di tengah taman kota, sekaligus menjadi salam perpisahan ketiganya. Tak dapat lagi ditutupi, haru pikuk rasa dan suasananya. Ia kemballi terdiam dalam sebuah kursi taman, sedihnya mengingat semua cerita yang sudah terjadi, tak hanya tentang kedua temannya juga dengan seorang lelaki yang cukup memberikannya harapan indah yang meski kini justru hanya tinggalkan cerita yang disebut kenangan.
Ester menoleh, memandang wajah Rini dari sisi samping kanannya “Rin …” panggilnya, “apa Ian tahu bahwa kamu akan kembali ke Indoneisa?” lanjutnya bertanya.
Ia hanya menolehkan wajahnya sebentar kearah Ester dan mengalihkannya kembali kearah depan. “Entahlah Kak, aku tak lagi berhubungan dengan dia.” Jawabnya singkat dengan nada suara yang berubah, yang dipahami kedua temannya.
“Masih marah sama dia?” Tanya Julia dengan hati-hati
Ia hanya menyodongkan telinga kanannya, yang ia pahami dengan lirikan matanya. “Tidak kok Kak, aku tidak marah sama dia. Mungkin hanya aku saja yang terlalu berperasa. Sedangkan dia, dia sudah memainkan peranannya sendiri kok.” Jawabnya mengelak menutupi berat hatinya tanpa kabar dan status kejelasan di antara keduanya. “So, jangan khawatirkan itu kak.”
Sementara kedua temannya hanya mengiyakan petanda ia meyakininya.
“Aku berjanji menemuimu disudut kota, maka berjanjilan menantikan ku kembali dengan setiamu. Jaga dirimu baik-baik, sementara aku pun kan menjagamu dengan baik bersama janjiku.” Gumamnya dalam hati, sebagaimana kalimat yang pernah ia dengar dari mulut manis lelaki itu.
         Bahkan kata-katanya seperti sebuah pengingat yang amat tajam, selalu merusak lamunnya, bahkan selalu terngiang dalam ingatan juga pendengarannya. Yang menghantui sisi pertahanan keyakinannya.



*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...