Rabu, 29 November 2017

Berhenti Berharap (Part 12)

Gambar terkait
sumber foto: youtube.com

     “Sayang, kakak bisa cerita sama mamah.” Lanjut sang mamah memberi perhatian.

      “Aku mau sendirian dulu mah.” Teriaknya dengan suara yang semakin sedu.
     Mamahnya pun memahaminya, dan meninggakan dirinya seorang diri di kamarnya. Sementara ia, terus menangisinya, sebab tak habis fikirnya mengapa seorang sahabat yang begitu dia sayang, yang dia percayakan dapat menyakitinya begitu saja. Kecewanya semakin memuncak, tatkala ia melihat dan merasakan kekhawatirannya benar adanya.

***

          Diana tak menyerah, ia pun ingin memperbaiki hubungannya dengan sahabatnya. Ia berencana pergi kerumahnya, menjelaskan cerita yang sebenarnya.
          “Hi tante.” Sapa Diana kepada Ibu Erita, dan mencium punggung tangannya.
          Ibu Erita pun menyambutnya dengan senyum.“Hai sayang, apa kabar kamu?”
          “Aku baik tante,” jawabnya dengan senyum. “Lusi-nya mana ya tan?” tanyanya sembari sesekali menengok ke arah lantai atas.
          Ibu Erita pun menoleh ke arah lantai atas.“Sudah dari kemarin, dia gak keluar kamar, Na. Untuk makan saja nggak.”Ibu Erita menjelaskan. “Sebenernya ada apa, Nak?”
          Ia terdiam sejenak. “Boleh aku ke atas, tan”
          Ibu Erita pun mengangguk.
          Ia dengan segera menuju kamar Lusi dan mengetuk pintunya. “Lus, ini aku. Diana.” Jelasnya. “Boleh, aku  masuk?” pintanya.
          Namun, Lusi jua tak kunjung membukakan pintu.Ia membiarkannya terdiam.
          “Lus, aku bisa jelasin ke kamu yang sebenernya.” Ia pun terkulai lemas didepan pintu dan bersandar disana.
          “Pergi lu dari sini, gue gak butuh penjelasan lu.” Teriaknya sembari melemparkan bantal ke arah pintu.
          Diana pun terkejut dan mulai menangis.
          Ibu Erita pun menghampirinya, mebangunkan dirinya dan mengajaknya untuk berbicara terbuka dengannya di lantai bawah.
          “Kamu minum dulu ya.”
          Ia pun menerima gelas yang diberi ibu Erita. “Terimakasih tante.”
          “Nak, tante juga pernah muda. Tante pernah ngerasain apa yang kalian rasain sekarang. Kalo kamu mau, kamu bisa cerita sama tante.” Jelasnya yang kemudian memeluk Diana, sebagaimana ia memeluk anaknya sendiri.
          “Tak apa kok tante, cuma ada kesalahpahaman aja.” Jelasnya.
          Ibu Erita pun hanya tersenyum menyimpulkan dan mengelus rambutnya.
          Diana pun dengan sedikit penyesalan yang tertahan, binar di matanya kini semakin terlihat memendung. Entah bagaimana ia harus memulai menjelaskannya, ia bahkan menyalahi dirinya bahwa ia telah memilih keputusan yang salah. “Seharusnya aku tak pernah berjanji, meskipun iya.Seharusnya aku memilih untukmenjauh.”Hatinya menggerutu.
          “Lus … aku gak pernah bermasud untuk seperti ini. Apalagi untuk mengkhianati kamu.” Hatinya berbicara dan menatap ke arah lantai kamarnya.
          Namun, ia hanya diam tak bergeming. Tak ada tanda-tanda bahwa ia kan turun untuk menemuinya atau sekedar bertemu dengan mamahnya. Seperti harap persahabatannya kan pupus dengan mudahnya.

***

          Libur semester telah usai, kini mereka melanjutkan aktifitas kembali setelah berlibur panjang meski liburan terakhirnya tak seperti yang direncanakan bahkan mungkin sebuah ketidakmungkinan yang menjadi mungkin.
          Sebuah cerita di akhir liburan yang berujung tak mengesankan. Siapa sangka? Mengakhiri liburan dengan sebuah kesalahpahaman yang merusak hubungannya.
          Kini, Lusiana tak ingin lagi mengenal sahabatnya bahkan untuk sekedar menegur. Kekecewaannya menutup hatinya, sehingga hatinya tertutupi oleh emosi keraguan terhadap sahabatnya.
          Sementara lelaki itu, ia kini tengah disibukkan dengan tugas akhir skripsinya. Sedangkan hubungan antara dirinya dengan lelaki itu seperti kembali menjadi asing. Setelah harapnya di mainkan lalu kemudian di patahkan begitu saja.
          Ia hanya dekat dengan Rini, adik sepupunya Handy. Namun demikian, ia enggan menyebut Handy dengan Diana didepannya, mengenai hal apa yang sebenarnya terjadi. Padahal tanpa ia ketahui, Rini sudah tau di antara semuanya. Sementera kini, ia tak hanya sibuk kuliah, kini ia sibuk menjadi salah satu volunteer anak jalanan.
          “Hai, Lus.” Sapa Diana saat sahabatnya masuk ke dalam kelas.
          Namun ia hanya menoleh sinis, lalu memalingkan pandangannya dengan cepat. Ia mengambil tempat duduk yang tak berdekatan dengan sahabatnya.
          Diana pun kembali terdiam.
          Hari itu, terasa hari yang sangat lama bagi keduanya. Di diamkan secara langsung hingga menimbulkan pertanyaan teman sekelas lainnya. Ia tak saling menyapa, jangankan menyapa saling menoleh pun tidak. Saat kelas telah usai, mereka memilih melanjutkan masing-masing aktifitasnya.
          Diana kembali ke tempat kost nya, sementara Lusiana. Ia pergi ke tempat makan yang biasa ia tongkrongi bersama sahabatnya. Sesekali dalam benaknya ia bergumam, “Ana, gue kangen lo.” Matanya terpejam. “Tapi disisi lain, gue kecewa.” Cakapnya.
          Kemudian ia membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia saat itu, ada seorang gadis yang ia kenali betul, tengah berada tepat didepan pandangannya lalu kemudian tersenyum dengan senyuman yang tak asing baginya.



*bersambung


2 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...