Sabtu, 25 November 2017

Berhenti Berharap (Part 9)

Gambar terkait
sumber foto: Twitter.com


        Tanpa mengubah nama. “Ana, kau tahu aku. Aku begitu menyayangimu.” Lelaki itu pun memulainya dengan berdialog.

          Sementara sang nawacerita bercerita, bahwa hal itu pun berat bagi Ana.
          “Aku tahu, Mas. Tapi hubungan kita tak direstui orangtuaku.” Jawabnya dengan nada lirih.
          Sang nawacerita pun berkata, bahwa orang tuanya mendengar percakapan mereka. Dan segera memarahi lelaki itu.
          “Hei kamu anak muda.” Jawab ayah Ana, yang diperankan teman setim lainnya. “Kamu punya apa untuk mencintai anak saya?”
          “Aku punya cinta, Ayah”
          “Ayah?” jawabnya geram. “Tak sudi aku mendapatkan menantu seperti kamu.” Lalu menarik tangan Ana, untuk menjauh dari lelaki itu. “Ayo Ana, kamu masuk ke kamar.” Pintanya dengan nada kasar.
          “Tapi Ayah …” jawabnya penuh permohonan. “Aku mencintainya, dia kekasihku.” Jawabnya dengan beruraian air mata yang membuat para anggota lain ikut terharu dalam aktingnya.
          “Ana kau lupa, bahwa aku ini adalah masih ayahmu.” Jawab sang ayah yang semakin geram. Sementara tangannya di pegang sang ayah kuat. “Ayah bilang, kamu masuk sekarang!” teriak ayahnya yang semakin terlihat emosi.
          “Tapi ayah ….” Tangannya berusaha melepaskan diri dari genggaman sang ayah. “Aku mencintainya ayah, dan ayah gak bisa larang aku gitu aja.” Jelasnya yang kemudian berlari mendekati Handy, kekasihnya.
          “Ana!” emosinya kini mulai memuncak, “Kau tahu dengan siapa kamu sedang berbicara?” sang ayah menjelaskan.
Sementara ibunya, dia terus menahan amarah suaminya sembari tetap menasihati anaknya. Apa boleh buat seorang ibu hanya bersikap sesuai rasanya, ia membenarkan alasan sang putri yang mencintai lelaki itu dikarenakan kesederhanaanya, namun juga tak menyalahkan suaminya akan sikapnya yang keras terhadap keputusan sang anak. Sang ibu hanya  berusaha menenangkan dirinya juga amarah suaminya, meski tangisnya tak mampu tuk terbendung.
Hingga tanpa sadar, anggota yang lain pun beruraikan air mata.
“Apa jadinya kalo hal itu terjadi sama gue?” ungkap salah satu anggota lain.
“Sama. Gue sampe ikutan nangis.”  Jawab anggota yang lainnya.
Akhirnya persembahan dari mereka pun telah usai, beberapa orang masih dengan posisi yang sama di anatara ketegangan juga keterharuan. Hingga membuat panitia termangu terbawa suasana perannya.
“Pak sudah selesai.” Anis mengingatkan.
Mata sang panitia pun mulai gelagapan, tak menyadarinya bahwa telah usai. “Duh, kisahnya sedih. Saya sampai terbawa suasana.” Jawabnya sembari menyeka air matanya jatuh kembali. “Okay, kasih applause untuk tim lima.” Semua orang pun bertepuk tangan.
“Apakah kalian, sudah saling kenal sebelumnya?” Tanya salah satu panitia yang lain pada Handy juga Diana.
Sementara keduanya hanya saling bertatap yang kemudian di akhiri senyum. “Tidak pak, bahkan kita baru dipertemukan disini karena satu tim.” Jawab Handy yang kemudian meminta pengakuan terhadap anggota timnya tanpa terkecuali Kevin.
“Kerjasama yang bagus,” sembari memberi tanda OK pada jempol kedua jari tangannya. “Chemestry kalian dapat sekali, mengalir dan menyatu begitu aja.”
Semua anggota timnya pun saling memandang, dan melempar tawa untuk kekompakan yang dibuatnya. Namun salah satu anggota lain, Anis justru memandang wajah Handy juga wajah Diana yang ia simpulkan dengan senyum.
Persembahan dari tim mereka pun telah usai, seperti halnya dengan yang lain. Kini bagian tim lainnya yang mendapat giliran. Namun setelah tampilnya tim Diana, mood Lusiana mulai berubah. Ia selalu berandai jika harusnya yang diposisi seperti itu dirinya, berada di sampingnya apalagi bersandar pada bahunya yang kekar. Ia pun kembali ke dalam tenda seorang diri.
Saat tengah asik bersama kesendiriannya, salah satu teman timnya mengatakan bahwa persembahan telah usai. Dan akan segera di nyalakannya api unggun pada menit-menit terakhir pergantian hari.
Semua bernyanyi menanti dinyalakannya api unggun, berkeliling lalu berpegang tangan satu sama lainnya. Kini semuanya boleh bergabung bersama teman angkatannya  masing ataupun tetap bersama timnya. Kemudian Diana memilih mendekati Lusi, saling berpegang tangan sementara lelaki itu berada tepat pada posisi di depannya bersama Kevin juga teman lainnya.
Api pun menyala, semua sorak gembira. Suara tepuk tangan juga nyanyian mendomisili dan bergerak sesuai maunya lagi tanpa diatur seperti sebelumnya.
Diana pun memilih ke belakang tenda setelahnya, dimana tempat semua persediaan makanan diletakkan, dan memilih menyendiri. Yang kemudian justru diikuti Anis, teman se-timnya.
“Hai An.” Sapanya
Ia pun menoleh ke arah suara. “Ka Anis.” Jawabnya dengan senyum.
“Kamu nggak ikut rame-rame depan api unggun?” menghampiri dan duduk di sampingnya.
Ia hanya menggelengkan kepalanya. “Disana terlalu panas.”
Anis pun tersenyum dan memandangnya. “Kamu suka sama Kak Handy yah?” tanyanya dengan senyum.
Ia pun seketika menjadi salah tingkah, “Ih apa sih, Kak.” Jawabnya berusaha mengelak.
“Kamu boleh aja membohongi diri kamu sendiri, ataupun bohongi yang lain. Tapi tidak ke saya.” Tersenyum. “Saya bisa baca dari matamu, iyah walaupun saya bukan teman dekatmu yang sehari-harinya bisa ketemu.” Lanjutnya.
          Sementara Diana pun hanya diam memerhatikan.
          “Tapi benar kan, apa kataku?” Tanyanya kembali menyudutkan dan sesekali  menggodanya. “Okay, kamu gak perlu jawab. Aku tahu jawabanmu.”
          “Ngomong apasih Ka Anis?” lagi-lagi dirinya berpura-pura tak mengerti.
          Anis pun bangkit dari tempat duduknya yang kemudian berbisik. “Kalau kamu suka, perjuangin cinta kamu. Turunkan ego dan saling mensupport.” Menatapnya hangat dengan senyum lalu meninggalkan dirinya kembali seorang diri.
          Ia pun membalasnya dengan senyum kembali yang kemudian matanya melirik langkah wanita itu hingga sesekali menyudutkan matanya ke arah Handy dan mulai merenungkan apa yang dikatakan Anis sebelumnya.


*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...