Senin, 27 November 2017

Berhenti Berharap (Part 11)

Gambar terkait
sumber foto: ngaco.ID



Saat telah sampai pada stasiun akhir untuk transit, ia kembali terengah langkah. Meski pada akhirnya, harus menunggu. Ia menoleh jam tangannya, bersisikan tiga puluh menit.
          Tiga puluh menit pun berlalu, ia dengan segera mencari tempat janjian yang sudah diberitahu sahabatnya. Ia pun terus melangkah, lalu kemudian melihat lelaki itu dan menghampirinya.
          “Kak Handy?” tegurnya
          Handy pun menoleh ke arah suara, nan kaget. “Lusi?” tanyanya penuh kebingungan.
          Lusi pun menatap mata Diana, seolah menjelaskan untuk meninggalkan keduanya.
          “Oya kak, aku duluan ya.” Pamit Diana kepada lelaki itu.
          Handy pun semakin bingung, mengapa ia dibiarkan berdua dengan Lusi. Sementara dirinya hanya mengajak Diana. “Ana?” panggilnya.
          Sementara Ana berlalu tanpa menoleh.
          Lusi pun mengajaknya berlari pelan, dengan sesekali ngobrol dan bercanda. Handy pun hanya mengikutinya, tak banyak kata sebab ia masih dibuat bingung dengan sikap Ana yang akhir-akhir ini justru seperti menjauh darinya acap kali keduanya mulai untuk bersama.
          Dari kejauhan Ana hanya memandang kebersamaan keduanya. Meski ia sedikit terluka, harus menggadaikan cintanya demi persahabatan mereka.
          Rini pun menatapnya, “Mau sampai kapan kamu begini?”
          Gadis itu menoleh kaget.
          “Aku tahu, tanpa kamu beritahu pun” jelasnya “Abang ku selalu bilang, kamu selalu menghindar acap kali kalian harus bersama.” Lanjutnya.
          Ia tersenyum menyimpulkan, “Ah itu perasaan aja.” Hatinya mulai kelu.
          “Yah, sekarang aku tahu alasannya,” memalingkan pandangannya kearah Handy. “Kamu suka kan sama bang Handy?” tanyanya. “tapi kamu justru mengalah untuk sahabatmu.”
          Ana pun termangu, menyadari bahwa apa yang dikatakan Rini adalah kebenaran hatinya. Sehingga ia pun tak mampu lagi tuk mengelak mengatakan tidak.
          “Diana … Aku tahu apa yang kamu rasakan, aku juga tahu pengorbanan kamu. Tapi ini soal hati,” jelasnya memberi pemahaman. “kamu gak bisa terus memaksa diri, Lusiana perlu tahu perasaan kamu sebenernya. Kamu pun berhak untuk itu.”
          “Rin … sebelumnya terimakasih sudah ngertiin posisi aku. Tapi bagiku, tetap menjaga persahabatan dengannya adalah pilihan terbaik. Soal hatiku merasakan sakit, biar hanya menjadi ceritaku sendiri saja. Karna jika aku tak peduli, aku hanya mencintai keegoisanku saja sedangkan aku tahu, bahwa Lusi lebih mencintai Kak Handy.” Jawabnya dengan dewasa, memandang kearah Handy.
          Rini pun merangkulnya memberi segala kasih sayangnya. “Ana, kamu sangat dewasa. Bagaimana tidak abangku tak mencintaimu dengan tulusnya.” Mengelus punggungnya. “Tapi Ana, kamu juga tahu bahwa abangku mencintaimu.” Ia memperjelas dengan menegaskan bahwa abnngnya maenicntainya. “Apakah abangku tahu, kalo selama ini kamu menghindar karena alasan ini?” tanyanya.
          Ia hanya menggelengkan kepalanya. “Aku pun lelah, terus berpura-pura seperti ini Rin. Jika ada pilihan lain, aku mungkin memilih pilihan itu.”
          “Ah Ana … aku tidak bisa menjadi seperti dirimu.” Menghapus binar dimata Ana.

***
          Keesokan harinya, Handy kembali mengajak Diana disebuah tempat makan ternama di ibu kota, tentu dengan perjanjian tanpa mengajak Lusiana untuk meminta penjelasan tentang kejadian kemarin di car free day. Sementara Rini pun tetap ikut, hanya saja ia memilih menyendiri di meja makannya sendiri, sesekali ia mengingat tentang Ian. Meskipun kini, hatinya tak lagi berharap tentang lelaki itu.
          “Ana … aku mau Tanya.” Lelaki itu memulai obrolannya.
          “Iya kak, tanya apa?”
          “Maksud kamu apa kemarin, ninggalin aku sama Lusi? Bukannya kamu tahu, kalo aku Cuma ngajak kamu sama Rini aja?” ia terus melempar pertanyaan yang menyudutkan.
          Ia pun hanya terdiam, termangu. Lidahnya kembali kelu, menerima pertanyaan yang sama. Ia menunduk.
          “Kenapa diem, An.”
          “Tak apa Kak” ia mengelak.
          “Jangan bohong Ana, aku tahu yang sebenernya. Rini sudah bilang.” Jelasnya.
          Diana pun menoleh ke belakang, ke arah Rini.
          Rini hanya tersenyum, dan menatapnya lembut dengan mengedipkan matanya.
          “Kenapa kamu ngorbanin diri kamu sendiri?”
          “Dia sahabatku, dan aku …”
          Tiba-tiba Lusi sudah berdiri di belakang Handy, dengan wajah kecewa dan marah. “Jadi gini, lu dibelakang gue selama ini?” ia menyentak.
          Keduanya pun terkejut.
          Diana berdiri. “Aku bisa jelasin ini, Lus.”
          “Munafik lu! Sahabat macam apa kaya gitu?” amarahnya semakin tak terkendali, ia pun meninggalkan tempat itu bersama tangis.
          “Lus … Lusiana ….” Teriak Diana berusaha mengejar. “Apa yang kamu, gak seperti yang kamu fikirkan.”
          Rini pun terkejut dangan kehadiran Lusiana, ia dengan segera mengejar Diana. Sementara Handy, masih termangu diam dalam duduknya. Ia menyangga kepalanya dengan tangan, keningnya mulai berkerut.
          “Ana … Diana!” teriak Rini mengejar dan menarik tangannya  untuk berhenti mengejar. “Sudah biarkan dulu, Di. Karena alasan apapun kamu ngejelasin sekarang, dia pasti nggak ngerti. Saat seseorang emosi, fikirannya pun pasti ngikuti. Tunggu waktu yang tepat untuk ngejelasin semuanya yah?” ia memeluk tubuh gadis itu erat.
          Sementara Lusi, ia terus berlari pergi kembali ke rumahnya. Ia masuk tanpa salam, dengan menutup pintu yang ia hentak yang mengagetkan Mamahnya dan mengangggung tidur adiknya. Ia dengan segera meninggalkan mamahnya tanpa permisi dan masuk ke kamarnya dengan tangis yang tak lagi mampu ditahan.
          Mamahnya pun terkejut dengan tingkah anaknya, yang tak seperti biasanya. Datang tanpa salam juga yang tiba-tiba nangis. “Sayang … kamu kenapa, nak?” teriak sang ibunda diluar kamar yang sedari tadi mengikutinya.

          Sementara ia hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan sang ibunda. Namun, suara tangisnya semakin keras.


*bersambung

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehe siap mba, udah nulis tinggal sent aja hehe

      Hapus
  2. Woahh keren...
    Demi sahabat ya, tikung aja sih gak apa2 wkwkwkkwk

    BalasHapus
  3. Jangan menikung dijalan yg lurus mas hehe

    BalasHapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...