Kamis, 16 November 2017

Berhenti Berharap (Part 2)

Setibanya di kamar, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan  boneka-boneka teddy bear kesayangannya. Terkadang matanya sedikit ikut terpejam, lalu terbuka kembali dan terpejam kembali. Lelaki itu menghampiri dengan senyumnya yang manis “Sayang, yuk kita makan dulu” katanya mengajak makan. Ia pun begitu tersipu, ternyata lelaki yang terlihat menyebalkan tadi, begitu romantis. “Sayang, yuk kita makan dulu” ajakan lelaki itu kembali mengalihkan lamunnya.
Namun beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu terdengar “Sayang, kamu tidur ya … Makan dulu yuk” suara teriak Mamahnya menyadarkan Lusi.
Sontak ia pun terbangun dari tidurnya “Iya Mah, bentar lagi kakak turun” teriaknya di dalam kamar sembari membenarkan ikat rambutnya
“Baiklah, mamah tunggu di meja makan ya”
Ia pun hanya mengiyakan bisik dihatinya, yang kemudian Ia kembali merebahkan badannya. “Ya ampun, aku kira tadi beneren. Sialnya Cuma mimpi.” Gumam dihatinya. Namun ternyata ia terbawa perasaan, ia mulai senyum-senyum sendiri, mengingat kejadian tadi betapa polos dirinya sehingga kena hukuman lelaki nyebelin itu. Iya lelaki yang berkumis tipis, dengan kacamatanya yang pas sekali dipakai. Ia mulai mengingat-ngingat, dan mengeja namanya “Ha … Ha” ucapnya terbata-terbata seolah sedang mengingat keras namanya. “Ha apa yah, kok aku lupa! Eh tapi apaan sih ini, kok malah nginget-nginget cowok nyebelin kek dia gitu” sadarnya kembali menyadarkan. “Pake kebawa mimpi lagi, ah bodo ah” ia pun mulai mengacuhkannya.
Segera ia mengganti bajunya, dan membersihkan muka bantalnya lalu kembali ke ruang makan yang mana Mamahnya telah menunggu lama.

***

          Kampus.

       Ha ri ini, adalah hari pertamanya masuk kuliah setelah tiga hari masa ospek. Hari pertama juga resmi bergelarkan Mahasiswi. Ia menyusuri lorong demi lorong kampus, mencari kelasnya. Membaca dan mengeja nomor kelasnya, matanya seperti tak ingin kalah, melirik ke kanan dan ke kiri, memandang ke semua penjuru ruang kelas.
      Jalannya bak lagu sendu yang mendayu-dayu, bahkan suara langkahnya pun bagaikan musik piano yang bergetarkan lembut. Bukan karena dirinya yang terlalu feminim, namun ia dengan sengaja berjalan pelan sembari mengenal kampus dan mencari ruangannya.
        ‘Bruuuuuuug’ Suara buku terjatuh. “Eh eh maaf” Jawab keduanya kompak.
      Sementara lelaki itu masih fokus memainkan HP-nya tapi kemudian sadar bahwa bukunya yang di bawa telah jatuh. Lelaki itu memungut satu demi satu bukunya yang jatuh karena tertabrak. Sesekali melihat jam tangannya.
       Begitupun dengan Lusiana, ia terlihat seperti kaget dan salah tingkah Karena telah menabrak orang. “Maaf, maaf Kak. Saya nggak sengaja” sembari membantu mengambil dan merapihkan buku yang terjatuh.
     “Oh iya tidak apa-apa, saya juga salah” Jawab lelaki itu yang kemudin ikut jongkok  mengambil bukunya.
         “Loh, kakak kan panitia ospek kemarin?”
       Sementara lelaki itu hanya memandangnya, mencoba mengingat-ngingat dengan siapa ia berbicara. Sambil terus membereskan bukunya. Dalam hatinya bergumam “Kaya gak asing, tapi ya sudahlah” ia menepis.
     “Maaf ya, dan terimakasih sudah membantu membereskan bukunya. Saya duluan ya. Sudah telat.” Ungkapnya tanpa basa-basi.
      “Oh iya ka”
      Lelaki itupun dengan segera berlari ke arah ruangannya dengan sedikit terburu-buru. Sedangkan Lusiana, ia membalikkan tubuhnya ke belakang dan dengan sengaja memandangnya, meliriknya dari kejauhan, melihatnya tetap dengan wibawanya. Hingga ia memperhatikan dimana letak ruang kelasnya.
       “Empat … delapan … dua” ejanya dalam hati.
      Lalu ia kembali membalikan tubuhnya, melanjutkan kembali mencari ruangannya sembari mengingat ruang kelas lelaki itu. Iya seorang lelaki yang entah mengapa selalu mengusik lamunnya akhir-akhir ini. Lelaki yang telah memberinya hukuman semasa ospek, tapi sekaligus lelaki yang menyita hampir perhatiannya. Ia pun kembali mengabaikan, namun senyumnya mengisaratkan telah ada seautu yang terjadi disana.
       “Kakak, tahu ruang ini nggak?” Tanya seorang mahasiswi lain sambil menunjukan nomor ruangannya.
        “Lho, kita seruang. Aku aja lagi nyari” jawab Lusi
      “Huft. Untung ada temennya. Bareng boleh ya Kak” ujar seorang mahasiswi tadi.
     “Tentu dengan senang hati sekali.” Terdiam. “Oh iya, kita belum kenalan” ia memulai mengajaknya berkenalan “Namaku Lusiana Wijaya, bisa panggil aku Lusi” Ia mengulurkan tangannya tanda mengajaka berjabat.
        Mahasiswi itu pun dengan senang hati menerima berjabat tangan dengannya. “Hi Kak, aku Diana Lestari. Bisa panggil aku Dian ataupun Ana” tersenyum
         “Hi Dian, senang bertemu denganmu”
        Mereka pun akhirnya berjalan berdua menyusuri lorong kampus mencari nomor ruangannya. Seoalah seperti kawan yang sudah sangat lama, mereka menikmati obrolannya. Tertawa bersama, seakan-akan kampus itu miliknya, bahkan seolah mereka  bukanlah seorang mahasiswi baru.
        Awal perkenalannya memberikan kesan, sehingga mereka saling menikmatinya dan saling mendukung. Seperti sebuah hubungan mutualisme, yang saling membutuhkan satu samamlainnya. Tak hanya sekedar menjadi teman duduk, juga sekaligus menjadi satu-satunya teman yang dimiliki masing-masing.
       Dengan asyiknya mereka berjalan, hingga tanpa sadar sebenernya ruang kelasnya sudah terlewat. “Empat … sembilan … dua” ejanya sambil melihat papan bertuliskan ruangannya. Lalu matanya membelalak saat dilihat ternyata nomornya telah terlewat.
          ‘Loh kok nomor empat sembilan sembilan” Tanya Diana heran.
        'Hahaha’  mereka pun tertawa bersama sebab menyadarinya bahwa ruangannya telah terlewat.
          “Ternyata terlewat” jawab Lusi. “Kalo gitu kita balik lagi” lanjutnya.
      Lalu akhirnya memreka membalikkan badannya kemabli dan melanjutkan jalannya menuju ruang kelasnya bernomor empat sembilan dua.


***

*Bersambung

2 komentar:

  1. Gita cinta di kampus

    Dari baca judulnya ini seperti sad ending..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe bisa jadi bisa jadi... Tungguin sampe epilognya aja hhehe

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...