Rabu, 15 November 2017

Berhenti Berharap (Part 1)

Hasil gambar untuk berhenti berharap
sumber foto: Google.co.id/veronicamagani

PROLOG


CANADA.
Secarik kertas dan pena berada di atas meja, sementara dia masih berkalut dan berselimut di atas ranjangnya dengan untaian tisu yag tersebar hampir memenuhi tempat sampahnya. Ia terus berada disana dengan sedikiit ketakutan yang mungkin adalah kekhawatiran, sementara dua yang lain hanya sedang berusaha menutupinya, lalu kemudian Ia mengambil secarik kertas itu, dan didekatkan dengan tangannya yang kemudian ia melemparkannya ke tempat sampah.

Dear diary,
Entah harus ku tulis apa untuk menuliskan tentangnya, warnanya memudar seiring berjalannya waktu. Iyah, warna kepercayaanku padamu. kau yang ku temui waktu itu, memberi kesan yang tak mampu ku ubah begitu saja. Kau bahkan memberiku asa mengharapnya penuh rasa. Lalu entah bagaimana dengan kedua temanku.
Seseorang yang tak sengaja ku temui, dibalik layar bernama handphope. Sebuah ponsel dengan nomor yang bertuliskan namamu. Entah sedang ditunjukkan Ilahi atau pun memang keisengan yang tak sengaja.
Berbunga hati, bertamankan riang. Mengenalnya seperti menemukan permainan baru di antara ribuan jebakan. Bak labirin di taman kota. Entah harusku tuliskan apalagi, sebab menggambarkanmu tak mampu ku sebut waktu, tak mampu ku lukis indah parasmu.
Iya kamu, lelaki itu yang ku ceritakan pada tiap pena-pena yang ku tinggalkan di dalam diary. Jika denganmu tinggalkan luka maka ku percaya meninggalkan mu pula takkan menghapus luka itu. Luka yang entah dengan sengaja kau beri, atau memang benar hanya singgah tanpa permisi.
Jika harus ku pilih untuk menyudahi ini, maka biarkan aku pergi dan berlari semampuku. Mengejar asa pada yang lain, sebab sebuah kecewa tak dapat sembuh hanya dengan kata maaf.
*Rini

Lalu ia menggumpalkan kertas itu dan melemparkannya ke tempat sampah. “Mungkin, ini saatnya aku harus kembali ke Indonesia” gumamnya.

Di luar matahari bersinar sangat cerah, seakan tak sanggup menebarkan kehangatan ke setiap penjuru bumi. Karena ribuan kilometer dari situ, di sebuah tempat dengan kehidupan yang  jauh berbeda, di sebuah tempat kecil di pelosok Bandung, terduduk seorang perempuan berkulit cerah di sebuah tempat yang rindang.
Ia memandang hamparan luas dengan altar sunyi, sesekali bernyanyi hingga suaranya mengecil terdengar purau dan mendayu. Terkadang ia hanya diam memilih menikmati sejuk alam, namun di sela rinti hujan, hanya isakan lirih yang terdengar samar keluar dari bibirnya.

“Kau tahu rasanya diabaikan,
Cintaku telah di ujung jalan ….
Aku sangat mengenalmu …
Aku juga cintaimu …
Tapi kau tak pernah, ada pengertian
Ku senang, ku sedih
Kau tak mau tahu …
Aku sangat mengenalmu …
Dulu kau tak begitu …
Kau bintang di hatiku,
Jadilah yang ku mau
Ku senang, ku sedih
Kau ada denganku ….” (-Agnes Monika: Cinta di ujung jalan-)

“Doni, aku gak tahu harus bagaimana untuk mengharapmu kembali, bagiku sudah tak ada lagi harapan kini. Keadaan kita semakin nyata menolakku. Semakin keras dari hari ke hari. Maaf  jika aku harus pergi, sebab menantimu kembali dengan janji yang sama begitu mencengkeram ketakutan pada diriku. Meski demikian aku percaya, masih panjang jalan yang harus ku lalui begitu pun dengan dirimu. Karena itu, aku memutuskan untuk pergi dari sini. Aku ingin mencari sebuah lingkungan yang memberiku kesan, bahwa tanpamu aku kan bahagia. Jadi maaf aku harus meninggalkan kota ini dan juga tentangmu.”
Perempuan itu menangis sesenggukan, sesungguhnya berat hatinya untuk meninggalkan kota Bandung, iyah bukan hanya kenangan bersama lelaki bernama Doni tetapi juga harapan tentang hatinya. Tetapi dia pun harus pergi. Masih panjang jalan yang harus di tempuhnya dari hanya sekedar berharapdia kembali. Akhirnya, setelah beberapa saaat menguatkan diri, Ia bangkit dan mulai meninggalkan tempat itu.

***

Jakarta.

“Mah …”
Teriakan manja mengisi ruang dapur keluarga Wijaya. Mamah Erita mengangkat kepalanya sejenak dan tersenyum melihat putri semata wayangnya, Lusiana. Dimiringkannya kepala ke samping untuk menerima ciuman putrinya.
“Hai sayang, bagaimana hari pertamamu kuliah?”
Lusi menghempaskan tubuh di samping ibunya sambil nyengir puas
“Lumayan menyenangkan Mah! Tapi aku agak kesel mah!”
“Kesel kenapa sayang?” Mengelus pipinya
“Tadi kakak panitianya ngeselin Mah, aku di hukum suruh jalan jongkok gara-gara salah jawab. Kan kaka gatau mah.” Ucapnya manja dan bersandar dibahu mamahnya.
“Gapapa sayang… Emang kamu jawab apa?”
“Tadi aku jawab bebek, ayam pas panitianya Tanya hewan yang di udara”
‘Hahaaha’ Mamahnya tertawa yang kemudian menutup mulutnya dengan jarinya. Adik lelakinya pun yang masih berusia 17 bulan itu pun ikut menertawakannya. “Adikmu saja sampai ketawa” ‘Hahaha’.
“Apa kamu dek, ledekin kakak? Awas kakak cubit nanti loh” Mencubit pelan pipi adiknya.
“Loh, kaka emang gatau?”
“Bukan gak tahu sih Mah, tapi kakak lagi kurang fokus”
“Berarti itu salah kakak”
“Mamah ….” Suaranya meminta pembenaran dengan manja.
“Udah sekarang ganti baju dulu, nanti turun lagi kita makan yaah”
“Okelah kalo begitu Mah”
“Awas ya kamu, adik kakak yang nyebelin” Mencium pipi tembem adiknya dan berlari ke kamarnya.
“Kakakmu gatau mana hewan di darat sama di udara” Sambil menyuapi makanan sikecil.



*Bersambung

6 komentar:

  1. Sudah memulai tantangan dengan tahapan yang benar: PROLOG.
    Kalau diseriusin bisa jadi bibit novel ini.

    Saya tunggu hingga EPILOg ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi.. Tahap-tahapannya itu, dari prolog ke perkenalan karakter, klimaks, baru epilog ya bang?
      Aamiin, mudah"an bisa lanjut nulis novel nantinya..
      Siaap bang, on progress nih...

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...