Rabu, 22 November 2017

Berhenti Berharap (Part 6)


        Gambar terkait

         “Hai Bang, gimana kuliahmu?” tanya Rini pada Handy, yang tak lain adalah kakak sepupunya. “Kapan wisuda?” lanjutnya sembari mengacak-acak buku.
         “Lagi pusing, banyak tugas.” Jelasnya singkat. “Hai kamu, lama di Negara orang makin putih aja.” Lanjutnya meledek.
          “Iyalah, emang abang makin item. ‘Hahaha’” ledeknya.
        Membalikan tubuhnya dari kursi belajar. “Biarin abang item, yang penting tetap manis.” Pembelaan dirinya.
          ‘Hahaha’. “Dasar abang jelek, gak mau ngalah.” Memukulnya pelan dengan buku.
          “Siapa pacarmu sekarang, Rin? Sini bawa, ajak kenalin ke abang.”
          Membuka-buka lembaran demi lembaran buku. “Aku nggak punya, Bang.”
          “Bisa aja emang kalo bohong.” Jawabnya menyudutkan pembenaran Rini.
          “Aku serius, Bang.” Berusaha meyakininya. “Sebenernya sih ada yang menarik perhatian aku, dia baik, dia humoris, dia dewasa, dia asyik gak kaya abang, nyebelin.” Ucapnya.
          “Jadi abang, nyebelin nih?”
          ‘Hehehe’. “Tapi abang, paling baik kok”
          “Dasar ya kamu gak berubah. Selalu bisa aja ngegoda abang.” Jawabnya sembari nyubit pipinya Rini. “Lalu?” lanjutnya.
          “Gak ada kelanjutannya. Udah begitu aja.” Jelasnya.
“Loh, gimana sih?” tanyanya semakin heran. “Jadi kalian gak pacaran?” lanjutnya.
“Entahlah, Bang. Sudah lost contac.” Tuturnya dengan sedikit perasaan kecewa. “Lalu bagaimana dengan abang sendiri?” lanjutnya bertanya mengalihkan pembicaraan. “Siapa pacar abang sekarang? Apa masih jomblo!” tanyanya sembari meledek.
“Abang … abang …” terlihat menjawabnya dengan terbata-bata dan membalikan kembali tubuhnya ke arah meja belajar. “ada satu cewek yang menarik perhatian abang.” Jelasnya.
“Lalu?”
“Tapi entahlah Rin. Abang belum yakin, kalo abang beneran suka sama dia.” Jelasnya.
“Widih, siapa nih ya cewek yang berhasil ngegoda iman abang gue satu inih?” jawabnya meledek.
‘Hahaha’. “Apasih kamu?”
“Ayo lah bang siapa?” pertanyaanya semakin menyudutkan.
Ia mulai menjelaskannya semenjak pertama kali melihatnya di lorong kampus menuju sebuah taman dengan senyum manisnya yang khas bersama lesung pipi, yang selalu membiarkan rambutnya terurai, tutur katanya halus, berkulit putih cerah, gayanya yang anggun selalu memberinya kesejukan juga  kehangatan saat memandangnya. Saat dipertemukan tanpa sengaja di kantin pun, ia menahan degup di dadanya untuk berpura-pura tak peduli.
Rini menatap mata abangnya. “Aku yakin, abang aku yang satu ini sedang beneran jatuh cinta.” Jawabnya. “Matamu gak bisa bohongin aku, Bang”
“Ah kamu. Sudahlah.”
“Aku mendukungmu kok bang. Lanjutkan ya, perjuangin cintamu sampai dapat.” Ucapnya memberi dukungan. “Anak mana dia?” lanjutnya bertanya.
“Terimakasih buat dukungan ya, Sayang. Dia adik kelas abang, masih anak semester baru lah.” Jawabnya mulai terus terang.
Hingga akhirnya kakak-adik sepupu itu pun berbagi perasaannya, menceritakan sesuatu yang mungkin dapat disebut dengan kata cinta.
Kemudian Rini meminta abangnya tuk mengajaknya pergi keluar. Mencari hiburan, mungkin hanya sekedar makan atau pun jalan ke Mall. Ia pun mulai merapihkan buku-bukunya. Maklumilah, Rini adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami Istri keluarga Zakaria. Ayahnya adalah pengusaha property yang sukses, dan ibunya adalah sekretaris sang Ayah, makanya keduanya selalu bekerja dalam satu hal pekerjaan yang sama.
Sementara abangnya sendiri adalah Kakak sepupu satu-satunya yang ia miliki di Jakarta, ia adalah anak dari kakak ayahnya yang juga seorang anak tunggal. Sejak berusia remaja, ia sudah ikut bersama keluarga Zakaria tersabab orang tuanya meninggal saat kecelakaan pesawat dua belas tahun silam, saat usianya baru menginjak dua belas tahun. Itu sebabnya Handy dibesarkan oleh kedua orang tua Rini, dan mengangapnya seperti layaknya anak kandungnya sendiri. Usia keduanya berselisih hanya enam tahun,
Handy pun menuruti maunya Rini, dan segera mengajaknya pergi keluar. Menemaninya menyusuri kota, menikmati suasana Jakarta yang mungkin sudah sedikit berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, saat terakhir sebelum tiga tahunnya berada di Canada.



*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...