“Jadi mah, aku masih prepare. Nanti pesawat
berangkat jam satu.” Balasnya.
“Baiklah,
hati-hati di jalan ya Nak. Maaf mamah sama papah belum bisa jemput kamu, kami
ada meeting kantor. Nanti kamu dijemput sama si abang ya, Nak.” Balas sang Mamah.
Yang
kemudian ia balas, “Iya Mah.”
Setelah akhirnya usai prepare barang-barangnya, kini ia segera
membersihkan dirinya. Tak lupa pula makan. Beberapa saat kemudian, kedua
temannya pun mengantarkannya ke bandara. Kini terjadi lagi, perpisahan juga
tangisan di antara ketiganya. Hari perpisahan itu pun tiba.
Ia menapaki jalan langkah demi
langkahnya, menuju koridor pemberangkatan. Tak percaya bahwa kini ia akan di batasi
oleh jarak, semakin dekat dengan jarak yang mulai terasa tergambarkan. Meninggalkan
Negara itu dengan cepat, bukanlah inginnya.
***
Jakarta.
Sudah hampir sebulan Lusi juga Diana
kuliah, kegiatannya sebagai mahasiswi baru, terasa padat dirasanya. Namun
mereka tetap saling mengisi, dan saling berbagi di antara keduanya.
“Dian …,” panggil Lusina. “kamu pernah
ngerasain jatuh cinta?” lanjutnya bertanya.
“Emmmm …,” jawabnya terlihat berfikir
dan memain-mainkan bola matanya. “Ada yang jatuh cinta kayanya nih. Aku pernah.”
Lusiana memainkan sumpit mie pangsitnya,
“Gimana rasanya?” lanjutnya.
“Rasanya … seperti nano-nano. Seneng,
adem aja kalo liat si doi nya, apalagi kalo liat perhatiannya. Senyum manisnya
bikin dag dig dug. Ya seperti itu lah.” Jelasnya sembari membayangkan wajah
lelaki itu. “Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta sama siapa?”
“Aku gak yakin sih lagi jatuh cinta
sama dia, tapi …,” terdiam sejenak. “Selalu ngerasa nyaman aja pas udah liat
dia?”
“Cie
…. Sama siapa tuh?” Ledek Diana.
“Ada
deh, tapi aku juga gak tahu sih siapa namaya. Jadi nanti dulu aja kalau sudah
pasti. Baru ku kasih tahu.” Jelasnya.
Mereka
pun terus berbincang sambil menikmati makan siangnya di kantin kampus. Saat Diana
kembali ke arah tempat memesan makanannya, ia berpapasan dengan lelaki itu,
lelaki yang sama juga ingin memesan makanan yang sama.
“Handy
….,” teriak salah satu temannya di pojokan kantin. “Gue pesenin satu porsi
pedes ya”.
Sementara
lelaki itu hanya mengisyaratkan dengan kode tangannya yang pertanda iya.
“Bu,
saya pesan Mie pangsit seperti biasa sama baksonya ya. Saya di pojokan itu.”
menunjukan tempat duduknya pada ibu kantin itu.
“Iya
siap Handy.” Jawabnya jelas,
Sedangkan
Diana, sembari menunggunya beralih ia mengingat-ngingat nama lekaki itu. “Handy”
ia mengeja dalam hatinya. “Jadi lelaki yang selalu menarik perhatian aku selama
ini namanya Handy. Aku baru tahu” gumamnya dalam hati yang sekaligus membuatnya
dag dig dug tak karuan.
Sementara
Lusiana di belakang sana juga telah memerhatikan sahabatnya, yang kemudian
teralih perhatian oleh lelaki itu. Hatinya terus bernyanyi seperti harmoni,
perasaannya tak terkendali tiap ia menemui lelaki itu. sikap santunnya
memberinya kesejukan dan kedamaian, wibawanya memberikan ia sejuta harapan.
Matanya
memandang halus lelaki itu, lelaki yang tak ia tahu siapa namanya. Senyumya mulai
mengambang, bersama duduk yang manis memerhatikan. Hingga matanya tak ingin
jengah tuk memandang lelaki itu, hingga kembali ke tempat duduknya. Matanya melirik
tiap langkahnya, mengantarkan kepada kursi dipojokan kantin.
“Hai
Lus!” Ia dikejuti Diana memegang pundaknya. “Liatin apa?” tanyanya dengan mata yang
memandang hampir ke setiap penjuru kantin.
“Oh
tidak.” Jawabnya mengumpat dan menolehkan pandangannya.
Lalu
mereka melanjutkan makan siangnya, sesekali mereka membayangkan wajah lelaki
itu.
*Bersambung
*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar