Senin, 20 November 2017

Berhenti Berharap (Part 5)

“Jadi mah, aku masih prepare. Nanti pesawat berangkat jam satu.”  Balasnya.
        “Baiklah, hati-hati di jalan ya Nak. Maaf mamah sama papah belum bisa jemput kamu, kami ada meeting kantor. Nanti kamu dijemput sama si abang ya, Nak.”  Balas sang Mamah.
          Yang kemudian ia balas, “Iya Mah.”
          Setelah akhirnya usai prepare barang-barangnya, kini ia segera membersihkan dirinya. Tak lupa pula makan. Beberapa saat kemudian, kedua temannya pun mengantarkannya ke bandara. Kini terjadi lagi, perpisahan juga tangisan di antara ketiganya. Hari perpisahan itu pun tiba.
          Ia menapaki jalan langkah demi langkahnya, menuju koridor pemberangkatan. Tak percaya bahwa kini ia akan di batasi oleh jarak, semakin dekat dengan jarak yang mulai terasa tergambarkan. Meninggalkan Negara itu dengan cepat, bukanlah inginnya.

***

Jakarta.
          Sudah hampir sebulan Lusi juga Diana kuliah, kegiatannya sebagai mahasiswi baru, terasa padat dirasanya. Namun mereka tetap saling mengisi, dan saling berbagi di antara keduanya.
          “Dian …,” panggil Lusina. “kamu pernah ngerasain jatuh cinta?” lanjutnya bertanya.
          “Emmmm …,” jawabnya terlihat berfikir dan memain-mainkan bola matanya. “Ada yang jatuh cinta kayanya nih. Aku pernah.”
          Lusiana memainkan sumpit mie pangsitnya, “Gimana rasanya?” lanjutnya.
          “Rasanya … seperti nano-nano. Seneng, adem aja kalo liat si doi nya, apalagi kalo liat perhatiannya. Senyum manisnya bikin dag dig dug. Ya seperti itu lah.” Jelasnya sembari membayangkan wajah lelaki itu. “Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta sama siapa?”
          “Aku gak yakin sih lagi jatuh cinta sama dia, tapi …,” terdiam sejenak. “Selalu ngerasa nyaman aja pas udah liat dia?”
          “Cie …. Sama siapa tuh?” Ledek Diana.
          “Ada deh, tapi aku juga gak tahu sih siapa namaya. Jadi nanti dulu aja kalau sudah pasti. Baru ku kasih tahu.” Jelasnya.
          Mereka pun terus berbincang sambil menikmati makan siangnya di kantin kampus. Saat Diana kembali ke arah tempat memesan makanannya, ia berpapasan dengan lelaki itu, lelaki yang sama juga ingin memesan makanan yang sama.
          “Handy ….,” teriak salah satu temannya di pojokan kantin. “Gue pesenin satu porsi pedes ya”.
          Sementara lelaki itu hanya mengisyaratkan dengan kode tangannya yang pertanda iya.
          “Bu, saya pesan Mie pangsit seperti biasa sama baksonya ya. Saya di pojokan itu.” menunjukan tempat duduknya pada ibu kantin itu.
          “Iya siap Handy.” Jawabnya jelas,
          Sedangkan Diana, sembari menunggunya beralih ia mengingat-ngingat nama lekaki itu. “Handy” ia mengeja dalam hatinya. “Jadi lelaki yang selalu menarik perhatian aku selama ini namanya Handy. Aku baru tahu” gumamnya dalam hati yang sekaligus membuatnya dag dig dug tak karuan.
          Sementara Lusiana di belakang sana juga telah memerhatikan sahabatnya, yang kemudian teralih perhatian oleh lelaki itu. Hatinya terus bernyanyi seperti harmoni, perasaannya tak terkendali tiap ia menemui lelaki itu. sikap santunnya memberinya kesejukan dan kedamaian, wibawanya memberikan ia sejuta harapan.
          Matanya memandang halus lelaki itu, lelaki yang tak ia tahu siapa namanya. Senyumya mulai mengambang, bersama duduk yang manis memerhatikan. Hingga matanya tak ingin jengah tuk memandang lelaki itu, hingga kembali ke tempat duduknya. Matanya melirik tiap langkahnya, mengantarkan kepada kursi dipojokan kantin.
          “Hai Lus!” Ia dikejuti Diana memegang pundaknya. “Liatin apa?” tanyanya dengan mata yang memandang hampir ke setiap penjuru kantin.
          “Oh tidak.” Jawabnya mengumpat dan menolehkan pandangannya.

          Lalu mereka melanjutkan makan siangnya, sesekali mereka membayangkan wajah lelaki itu.


*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...