Minggu, 26 November 2017

Berhenti Berharap (Part 10)


Gambar terkait
sumber foto: felingss.blogspot.com

“Hei, boleh aku duduk?” lelaki itu menghampirinya.

Ia pun menolehnya kaget. Lalu kemudian mengedipkan matanya pertanda iya dan menggeser duduknya untuk berbagi tempat duduk dengan lelaki itu.
Seketika suasananya berubah hening, hingga terasa mulai digigiti nyamuk.
“Banyak nyamuk yah?” Handy memulai pembicaraan.
Gadis itu pun menoleh, kemudian menundukkan pandangannya. “Iya.” Jawabnya.
“Tadi acting kamu bagus,” ia memuji.
“Kak Handy juga.” Jawabnya yang terihat tersipu, tak hanya menahan malu terhadap lelaki itu, namun juga menata gemuruh senang dalam hatinya.
Mereka pun terlibat pembicaraan yang lama, hingga sahabatnya menghampiri dengan mencari perhatian pada lelaki itu.
“Hai, Diana” sapanya. “Loh, ada kak Handy?” tanyanya pura-pura tak tahu.
Handy pun hanya tersenyum.
“Masih ingat sama aku?”
“Em … mukanya gak asing yah.” Jawabnya sembari menerka-nerka ingatannya.
Diana pun menoleh ke arah Handy, “Iya dia temanku, Lusiana namanya.” Ia
 memperkenalkan temannya. “Dia juga, yang waktu ospek Kakak hukum suruh jalan jongkok.” Jelasnya melanjutkan.
“Oh itu kamu!” jawabnya mulai mengingat. “Kalian satu angkatan?” tanyanya menoleh kepada dua gadis itu.
“Iya.” Jawab keduanya kompak.
Handy pun menoleh ke arah keduanya.
“Iya kita satu angkatan, satu kelas juga.” Jawab Lusi yang lebih banyak bicara daripada Diana.
Handy hanya mengangguk, mengiyakan yang kemudian izin meninggalkan keduanya.
“Kalo gitu kalian silakan lanjutkan kalo mau ngobrol, saya juga mau lanjut gabung dengan yang lain.” Pintanya yang di barengi senyum yang ditujukan untuk Diana, namun yang menanggapi justru sahabatnya. Lalu ia pergi.
“Kak Handy, asyik banget sih jadi orang. Manis juga senyumnya.” Jelasnya bersandar pada bahu sahabatnya. “Coba bisa tiap hari deket dia.” Ucapnya lirih.
“Apa Lus?” jawabnya kaget. “Maksud kamu?” membangunkan kepala Lusi dari sandarannya.
Ia pun menatap Diana dalam-dalam, dengan terus tersenyum. Sementara Diana  masih terheran-heran dengan sikap sahabatnya.
                “Diana, kamu tahu?” menatap mata sahabatnya dengan  menaruh tangannya di atas bahu Diana. “Orang yang selalu aku ceritain itu?” lanjutnya menjelaskan dengan pelan.
          ‘Deg.’ Jantung Diana tiba-tiba berdegup kencang, sementara otaknya masih  menyemilir tertahan di pembuluh darah. Seperti sudah tahu tahu akan jawabannya, semua tertahan didadanya. Ia sedikit menegang, namun demikian ia masih bisa mengontrol dirinya. Ia pun mengangguk.
          “Iya, dia Kak Handy.” Jelasnya dengan terus tersenyum.
          ‘Byaaaaaar’. Perasaannya membuncah bak sebuah bendungan yang meluap hingga sebabkan banjir. Ia menurunkan ketegangan dalam dirinya, akan kenyataan yang baru saja ia dengar. “Jadi selama ini, yang dimaksud itu Kak Handy.” Benaknya bergumam seolah-olah tak percaya. Ia hanya tersenyum pasi, mencoba mengontrol dirinya. “Kamu, emang gak salah buat mencintai seseorang.” Jawabnya dengan hati yang bergetar. Sementara dirinya menahan tangis didadanya, bagaimana tidak? Dua orang yang saling bersahabat mencintai seorang lelaki yang sama.
          Lusi pun memeluk dirinya erat, seakan memberi tahu bahwa kini ia tak lagi harus menyimpan kagumnya seorang diri. Sedangkan Diana dalam peluknya, ia melihat lelaki itu dari kejauhan dengan binar dimatanya.
          “Perjuangin kalo dia memang pantas diperjuangin.” Ucapnya dengan sedikit lirih.
          Lalu Lusi pun menarik tubuh Diana dari peluknya dan tersenyum. “Untuk itu, kamu mau kan bantu aku?” tanyanya.
          Ia pun menoleh lalu memalingkan kembali wajahnya. “Bantu apa Lus?” jawabnya kemudian.
          “Bantu aku terus deket sama dia yah?” pintanya.
          Diana pun semakin tercekat akan maunya, ia sebenernya ingin menolak pintanya. Namun, apa boleh buat. Ia pun mengiyakan berjanji untuk membantunya terus dekat dengan Handy.
          Seketika suasana menjadi hening, dan mereka memilih melanjutkan mengikuti acara. Tetapi tidak dengan Diana, gadis itu memilih beralih kedalam tenda dengan alasan sudah mengantuk yang kemudian ia menimbang-nimbang permohonan  sahabatnya, ia mengerti bahwa ia harus terluka namun disisi lain ia pun juga sama mencintainya. Meski sahabatnya tak pernah tahu perasaannya yang sesungguhnya. Hingga ia terlelap pada tidurnya.

***
          Roda waktu semakin bergerak jalan maju, persahabatan mereka tetap terjaga. Dua orang sahabat itu pun masih bersama, dan sama-sama saling dekat dengan lelaki itu. Satu semester berlalu, kini lelaki itu sedang mempersiapkan skripsinya sementara dua orang yang saling bersahabat itu menginjak semester empat, sama seperti adik sepupunya.
          Suatu hari di weekend, Handy pun mengajak adik sepupunya untuk lari pagi tak lupa pula ia mengajak Diana. Sekaligus memperkenalkan keduanya. Mereka bertemu di sebuah Car free day. Namun tanpa sepengetahuan Handy, ternyata gadis itu pun mengajak sahabatnya.
          Disisi lain, seperti biasanya, Lusiana terbangun adri lelapnya tidur. Matanya yang masih suntuk terlihat jelas oleh lingkaran hitam area matanya, tak lupa Ia menyegerakan satu dari lima waktu yang wajib.
          Tangannya mengepal, menggeliat dengan manjanya. “Hari ini aku harus pergi.” Katanya berujar.
          Lalu ia mempersiapkan dirinya, membersihkan diri, dan tetap menjaga sarapannya walaupun hanya segelas susu. Ia pergi ke sebuah stasiun, dengan terengah-engah. Mengejar waktu, sebab keterlambatan adalah sebeuah kutukan baginya.
          Iya, akhirnya duduk dengan tenang di bagian ujung gerbong commuter line, tepat pada gerbong yang dikhususkan untuk wanita. Lalu membuka ponselnya, sekedar membalas pesan dan menutupnya kembali setelah usai.
          Ia kini menikmati alunan bunyi keretanya, kala embun masih membasahi kaca kereta dengan tebalnya. Sementara bersamanya, ia memandang satu demi satu orang yang berada disekelilingnya sekaligus rumah-rumah yang ia lewati diluar kaca kereta. Sesekali ia memejamkan matanya.


*bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...