Rabu, 01 November 2017

Rindu yang Terhitung

Hasil gambar untuk pohon pinggir pantai
          sumber gambar: trivadvisor.co.id


Hai Rabu, mungkinkah kau temui Kamis di hari Jum'at. Atau mengajaknya pergi di hari Sabtu. Jangan biarkan Waktu menghitung Minggu di hari Senin, bahkan Selasa telah terhitung Bulan.

Masih ingatkah pada merpati yang menjadi saksi, kala senja mulai terbenam. Hingga sepoian angin pantai menjalar pada bulu kudukmu. Bukan merinding, tapi lirih dinginnya mulai merasuk pada nadi.

Diatas pohon tempatmu duduk, ada seekor burung hantu bersiul dengan nyaringnya hingga terdengar bak harmoni cinta yang didendangkan hati. Dan engkau dengan asyiknya mengayunkan kakimu.

Sementara aku, memilih menikmatinya dibibir pantai. Berbaring menatap langit malam, bersama rasi bintang yang ku coba menghitungnya dalam ejaan kataku. Sesekali bahkan ku tuliskan namamu di udara.

Adakah kau rasa, ketika alam mulai menghitung sebuah pertemuan. Ketika senja tak lagi jingga, ia gelap memaroon hingga menguning orange. Bulan tak lagi terlihat sempurna, bahkan ia memudar menjadi tsabit. Meski indah, namun sinarnya tak cukup memberimu cahayu. Sementara bintang, ia berkedip seorang diri seperti dirimu yang tak jengah tuk pergi.

Adakah kau lihat, ditempat yang sama. Kini menjadikanya abu, tak terlihat. Hanya tertinggal kenangnya, yang masih mengayun diatas pohon itu juga dengan burung hantu yang masih setia.

Mungkinkah kau kembali? Hanya waktu yang tau pasti, kapan kau kembali bahkan tidak sama sekali. Aku hanya menengadah kepada alam, menitah rasa tuk meraup kembali kenangan yang kini berubah tahun dan menjadikanmu sejarah. Tepat sebagai kisah klasik rindu yang terhitung.


3 komentar:

  1. Balasan
    1. Itu pas pargraf pertama digambarkan mas hihi
      Dari hari ke minggu trus ke bulan lalu ke tahun.. Dan tersadar bahwa itu hnya mjd kisah klasik hehee

      Hapus
    2. Maybe spt itu..
      Tapi... aku sendiri gk ngerti, karna ia hanya bertulis dalam sebuah kisah bernama Waktu 😄

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...