Jumat, 24 November 2017

Berhenti Berharap (Part 8)

Saat malam tiba, semua tim dikumpulkan kembali di sebuah lapangan dengan pusat persiapan bahan api unggun. Mereka tetap bersama timnya masing-masing untuk mempersiapkan pula persembahan yang akan di tampilkan sepanjang menanti waktu yang tepat untuk menyalakan api unggunnya.
Saling bertukar fikiran untuk mengisi persembahan, nampaknya tim Diana selalu terlihat santai dengan penuh tawa. Sedangkan tim Lusiana, selalu diributkan oleh perbedaan pendapat. Ia menatap sahabatnya agak sinis, nampaknya ia mulai cemburu terhadap kekompakan timnya, tak hanya itu terlebih kepada kedekatannya terhadap lelaki itu.
Ia menoleh ke arah sahabatnya yang kemudian mengodenya dengan sekali gelengan kepala menandakan, “Yuk ke belakang” yang kemudian sahabatnya mengerti dan segera ia izin untuk segera pergi ke belakang arah tempat tenda wanita. Sementara Handy pun ikut menoleh, melihatnya pergi, matanya melirik langkah pendek gadis itu.
“Ada apa?” ujar Diana dengan suara yang pelan, sementara matanya sibuk memata-matai sekitarannya.
“Kok kamu, aku perhatiin deket banget sama Kak Handy?” tanyanya to the point.
Mata gadis itu pun mulai menatap mata sahabatnya, dalam benaknya ia mulai kebingungan atas pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya. “Kan memang dia ketua tim aku, Lus.” Jawabnya memberi alasan.
“Iya, aku tahu. Tapi gak sedeket itu kan?” tanyanya semakin menyudutkan.
“Lho, lho … ini maksud kamu apa ya?” jawab Diana heran. “Kok kamu ngelarang-larang gitu?” tanyanya semakin heran.
“Bukan ngelarang sih An. Tapi …”
Kemudian Diana memotong bicaranya Lusi, “Tapi apa?” jawabnya agak sinis.
“Tapi masalahnya,” ia menghentikan suaranya, menutup bibirnya dengan jari-jari tangannya sebab hampir saja ia mau berkata bahwa lelaki yang dimaksudnya selama ini adalah Handy. “Mmmm, nggak jadi.” Lanjutnya.
Mata Diana pun melirik mata sahabatnya dalam-dalam, ia melihat bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan dari dirinya mengenai lelaki itu. Yang kemudian melihat ke arah timnya untuk menengok Handy. Fikirnya, “Seperti tidak terjadi apa-apa”. Begitupun dengan Lusiana, ia pun menoleh ke arah lelaki itu.
“Gak jelas kamu Lus,” ujarnya. “Udah ah, kita balik lagi ke depan, nanti ketahuan panitia, habislah kita.”
Lusi pun hanya berdiam diri.
“Eh, malah melamun. Ayo lus ….” Ajaknya.
Ia pun akhirnya mengiyakan dan segera kembali pada timnya masing-masing.
“Habis apa, kok lama?” Tanya Handy saat Diana kembali. Lalu menoleh ke arah belakang melihat Lusi.
Gadis itu pun ikut memandang Lusi. “Biasa, urusan cewe. Maaf agak lama.” Jawabnya yang kemudian mengalihkan kembali matanya terhadap lelaki itu.
Lelaki itu pun kembali mengalihkan pandangannya ke arah timnya. “Baiklah, tak apa.” jawabnya santun. “Mari kita lanjutkan.” Lanjutnya mengajak timnya berdiskusi.
Sementara Lusiana, ia hanya mampu memandang lelaki itu dari kejauhan serta melihatnya memberi perhatian lebih terhadap sahabatnya, yang mulai menimbulkan benih-benih kecemburuan.
Persembahan masing-masing tim pun segera di mulai menjelang waktu-waktu penyalaan api unggun. Dengan nomor urut yang sengaja dikocok.
Suasana semakin seru, tatkala salah satu tim mempersembahkan stand up comedy.
“Sayang, kamu tahu ibu kita kartini?” ujar salah satu anggota dari tim lain saat mempersembahkan persembahan timnya.
“Tahu, itu tuh yang perayaanya setiap bulan april itu kan ya?” jawabnya.
“Iya, kamu bener. Sekarang, biarlah dulu ibu kita kartini. Kalau besok …?”
“Besok apa, Yang?”
“Kalo besok ibu kita besanan. Eaaaaa.” Jawabnya yang kemudian disambut riang para anggota dan tim lain. Hingga suara teriakan “Witwiw” dan “Eaaaa” terdengar dari setiap sisi-sisi anggota yang melingkar, melingkari api unggun.
          Sementara Handy dan Diana, ia saling menatap dan melempar senyum. “Setelah ini, bagian tim kita. Kamu siap kan?” Tanya Handy.
          Ia hanya menganggukan kepalanya sembari tersenyum.
          Panitia pun membunyikan pluitnya, tanda waktu untuk persembahan masing-masing tim telah habis. “Beri applause untuk tim sembilan.” Yang kemudian dengan segera diganti oleh persembahan tim yang lain.
          “Kali ini, dari Tim Handy.” Teriak salah satu panitia. “Handy and team, sudah siap?” Tanya panitia.
          Timnya pun kompak menjawab. “Iya, siap.” Sembari mengacungkan jempol tangannya.
          “Beri tepuk tangan untuk tim lima”. Semua orang pun bertepuk tangan.
          Tim lima pun maju, dan mulai memperkenalkan diri. Bercerita tentang sebuah cerita romantic. Ada yang menjadi nawacerita, ada yang pura-pura menjadi salah satu orang tuanya, ada juga yang menjadi pohon-pohonan. Sementara Handy dengan Diana, mereka adalah tokoh utamanya.


*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...