Minggu, 19 November 2017

Berhenti Berharap (Part 4)

Hasil gambar untuk salju
sumber foto: japanesestation.com

Namun ia menyadari, lelaki itu tak kunjung menemuinya  bahkan untuk sekedar bertanya Hi, apa kabar. Bagaimana tidak, janjinya kini tak ditepati, bahkan untuk beberapa bulan terakhir sudah lost contac. Mungkin kini ia hanya menyimpan nomornya sebagai koleksi kontak diponselnya.

Ia selalu menepis segala prasangkanya, dan menganggap bahwa hanya ia yang bersalah. Iyah, ia bersalah karena telah menaruh dan mempercayakan hati kepadanya sementara ia bahkan acuh tak peduli dengan segala perhatiannya.
Ia selalu mengutuk dirinya dengan demikian, sementara lelaki itu bahkan mungkin tak lagi memikirkan tentangnya apalagi tentang janjinya. Kekesalan yang bergumam pada harapan yang menjadi tanda tanya akan sebuah kejelasan.
“Ah sudahlah, ini hanya aku saja terlalu terbawa perasaan” ujar dalam hatinya yang berusaha tuk meyakinkan diri.
Malam itu menjadi salam perpisahan jua salam kerinduan yang mungkin kan bertanggal, meninggalkan Canada adalah kemungkinan yang memang bisa saja terjadi, dan kembali ke tanah air karena alasan kecewa adalah pilihan sekaligus pelarian yang tak pernah ia inginkan terjadi.
Canada dengan waktu singkat yang penuh cerita, kan terangkum dalam sebuah kisah yang mungkin klasik untuk dibagi dan diceritakan terutama mengenai lelaki itu. Sementara, cintanya kan ia biarkan membeku hingga tak ada yang tahu bahwa ia memilih tuk diam dalam mencintainya. Hingga membiarkan takdir yang menggariskan untuk keduanya.
Ia menarik nafasnya pelan, memejamkan matanya, menghirup wangi aroma sakura cherry blossom yang ada di taman itu, menikmatinya seolah-olah baru menemukan keindahan. Sesekali ia sekaligus mengambil belenggunya, yang mengikat dan terpatri beku dalam hati jua dirinya dan membawanya pergi saat ia hembuskan nafasnya. Ia selalu melakukan itu, baginya itu adalah cara pertama merelaksasikan tubuhnya dari masalah.
Selalu ada perasaan ‘plong’ sesaat setelah menghembuskan nafas, iya perasaan semacam ‘lega’ yang tak ia miliki saat sebelum menarik nafasnya. Hati dan jiwanya kini lebih tenang, ia percaya jika pun takdir tak mengizinkannya bertemu kembali di Canada maka ia hadir dilain tempat dengan cara yang lain juga dengan takdir yang berbeda. Namun, tak merubah dirinya tuk kembali ke Canada dengan ataupun tanpa dirinya.
Saat ia kembali membuka matanya, ia menoleh sisi kanan juga sisi kirinya. Iyah, ia masih bersama Ester juga Julia yang masih saja dengan khusu`-nya menikmati aroma malam di High Park. Sudut bibirnya pun mulai menyungging tanda sebuah senyuman. “Aku sayang kalian” ucapnya merangkul Ester juga Julia di kedua sisi tangannya.
“Kita juga sayang kamu Rini” jawab keduanya. “Janji padaku kau akan kembali, dan menjaga dirimu dengan baik-baik.” Lanjut Julia
Ia  hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya.
“Rini … apakah kau akan melupakan aku dengan teman baru mu?” tanya Ester dengan sedikit khawatir.
“Kak, kalian jangan khawatir. Setelah selesai kuliahku disana. Aku akan kembali kesini, dan saat musim dingin aku berada disini bersama kalian. Setidaknya cintaku tak pernah mati untuk kota ini.” Jelasnya terang
Ester pun tersenyum dan kembali memeluk Rini.
Rini menengok jam tanganya, “Sudah dini hari, waktunya pulang.” Ajaknya.
Kedua temannya pun mengangguk pertanda setuju.
Akhirnya mereka bangkit dari tempat duduknya, tangannya menggeliat tanda lelah lalu membentangkan dan membiarkannya saling berpegangan satu dengan yang lainnya. Menarik nafasnya dan kembali memejamkan matanya, sembari berdoa untuk tetap bisa bersama seperti itu lalu kemudian menghembuskannya.
Setelah usai, perlahan mereka melangkahkan kaki menuju arah jalan pulang. Saling melontarkan senyum juga tawa, sebuah persahabatan yang sangat manis.
“Besok pulang jam berapa Rin?” tanya Ester
“Jadwal pesawat jam satu sih”
“Sudah prepare?”
“Belum.” Jawab Rini singkat yang dibarengi senyum.
“Mau aku bantu?” Julia menawarkan diri.
Dengan senyumnya ia berkata, “With a pleasure.”
“Baiklah besok pagi aku kan ke rumahmu” jawabnya dengan senyum jua.
Mereka melanjutkan jalannya menyusuri kota, tak terlalu sepi sebab taman sendiri buka dua puluh empat jam, dan suasana juga tak terlalu sepi sebab berada di pusat kota Ontario.
Dengan asyiknya mereka berjalan, memerhatikan setiap sudut kota. Cuaca semakin dirasa dingin, dinginya kini membalut dan semakin menjalar meski telah menggunakan jaket tebal.
Hingga tanpa sadar, mereka telah sampai pada tempat penginapan Rini. Sementara kedua temannya, membelok ke arah kiri tempat penginapannya.

***

          Keesokkan harinya.
          “Rin, ini perlu dibawa?” tanya Julia yang memegang kotak music.
          Ia hanya mengisyaratkannya dengan menunduk.
          “Yang ini pasti bawa kan?” Tanya Ester yang memegang album foto tentang mereka bertiga.
          “So pasti kak.” Jawabnya dengan senyum.
          Lalu melanjutkan kembali mengepak barang-barangnya pada beberapa dus juga tas koper miliknya. Sesekali matanya melirik ponsel yang ia letakkan di atas ranjangnya berharap seseorang yang ia tunggu mengabarinya atau  berusaha mencegahnya untuk tidak pergi.
          ‘Treng, treng, treng …’  ponsel nya berbunyi, dengan segera ia mengambil ponselnya yang dibiarkan tergelatak tadi dan membukanya dengan harapan bahwa itu dari Ian. “Sayang, kamu jadi pulang? Berangkat jam berapa?”  tulis dalam pesannya yang tak lain dari sang Ibunda. Ia menarik panjang nafasnya, menerima kenyataan bahwa bukan pesan dari lelaki yang sedang ditunggunya.


*Bersambung

2 komentar:

  1. Hmmm...harapan terkadang menghempaskan hati ke jurang yang paling dalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanya bagaimana kitavmbyikapinya aja mba hehehe
      Entah terhempas ataupun karna dihempas

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...