sumber foto: japanesestation.com
Namun
ia menyadari, lelaki itu tak kunjung menemuinya
bahkan untuk sekedar bertanya Hi,
apa kabar. Bagaimana tidak, janjinya kini tak ditepati, bahkan untuk beberapa
bulan terakhir sudah lost contac.
Mungkin kini ia hanya menyimpan nomornya sebagai koleksi kontak diponselnya.
Ia
selalu menepis segala prasangkanya, dan menganggap bahwa hanya ia yang
bersalah. Iyah, ia bersalah karena telah menaruh dan mempercayakan hati
kepadanya sementara ia bahkan acuh tak peduli dengan segala perhatiannya.
Ia
selalu mengutuk dirinya dengan demikian, sementara lelaki itu bahkan mungkin
tak lagi memikirkan tentangnya apalagi tentang janjinya. Kekesalan yang
bergumam pada harapan yang menjadi tanda tanya akan sebuah kejelasan.
“Ah
sudahlah, ini hanya aku saja terlalu terbawa perasaan” ujar dalam hatinya yang
berusaha tuk meyakinkan diri.
Malam
itu menjadi salam perpisahan jua salam kerinduan yang mungkin kan bertanggal,
meninggalkan Canada adalah kemungkinan yang memang bisa saja terjadi, dan
kembali ke tanah air karena alasan kecewa adalah pilihan sekaligus pelarian
yang tak pernah ia inginkan terjadi.
Canada
dengan waktu singkat yang penuh cerita, kan terangkum dalam sebuah kisah yang
mungkin klasik untuk dibagi dan diceritakan terutama mengenai lelaki itu.
Sementara, cintanya kan ia biarkan membeku hingga tak ada yang tahu bahwa ia
memilih tuk diam dalam mencintainya. Hingga membiarkan takdir yang menggariskan
untuk keduanya.
Ia
menarik nafasnya pelan, memejamkan matanya, menghirup wangi aroma sakura cherry
blossom yang ada di taman itu, menikmatinya seolah-olah baru menemukan
keindahan. Sesekali ia sekaligus mengambil belenggunya, yang mengikat dan
terpatri beku dalam hati jua dirinya dan membawanya pergi saat ia hembuskan
nafasnya. Ia selalu melakukan itu, baginya itu adalah cara pertama merelaksasikan
tubuhnya dari masalah.
Selalu
ada perasaan ‘plong’ sesaat setelah
menghembuskan nafas, iya perasaan semacam ‘lega’
yang tak ia miliki saat sebelum menarik nafasnya. Hati dan jiwanya kini lebih
tenang, ia percaya jika pun takdir tak mengizinkannya bertemu kembali di Canada
maka ia hadir dilain tempat dengan cara yang lain juga dengan takdir yang
berbeda. Namun, tak merubah dirinya tuk kembali ke Canada dengan ataupun tanpa
dirinya.
Saat
ia kembali membuka matanya, ia menoleh sisi kanan juga sisi kirinya. Iyah, ia
masih bersama Ester juga Julia yang masih saja dengan khusu`-nya menikmati aroma malam di High Park. Sudut bibirnya pun
mulai menyungging tanda sebuah senyuman. “Aku sayang kalian” ucapnya merangkul
Ester juga Julia di kedua sisi tangannya.
“Kita
juga sayang kamu Rini” jawab keduanya. “Janji padaku kau akan kembali, dan menjaga
dirimu dengan baik-baik.” Lanjut Julia
Ia hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya.
“Rini
… apakah kau akan melupakan aku dengan teman baru mu?” tanya Ester dengan
sedikit khawatir.
“Kak,
kalian jangan khawatir. Setelah selesai kuliahku disana. Aku akan kembali
kesini, dan saat musim dingin aku berada disini bersama kalian. Setidaknya cintaku
tak pernah mati untuk kota ini.” Jelasnya terang
Ester
pun tersenyum dan kembali memeluk Rini.
Rini
menengok jam tanganya, “Sudah dini hari, waktunya pulang.” Ajaknya.
Kedua
temannya pun mengangguk pertanda setuju.
Akhirnya
mereka bangkit dari tempat duduknya, tangannya menggeliat tanda lelah lalu
membentangkan dan membiarkannya saling berpegangan satu dengan yang lainnya. Menarik
nafasnya dan kembali memejamkan matanya, sembari berdoa untuk tetap bisa
bersama seperti itu lalu kemudian menghembuskannya.
Setelah
usai, perlahan mereka melangkahkan kaki menuju arah jalan pulang. Saling melontarkan
senyum juga tawa, sebuah persahabatan yang sangat manis.
“Besok
pulang jam berapa Rin?” tanya Ester
“Jadwal
pesawat jam satu sih”
“Sudah
prepare?”
“Belum.”
Jawab Rini singkat yang dibarengi senyum.
“Mau
aku bantu?” Julia menawarkan diri.
Dengan
senyumnya ia berkata, “With a pleasure.”
“Baiklah
besok pagi aku kan ke rumahmu” jawabnya dengan senyum jua.
Mereka
melanjutkan jalannya menyusuri kota, tak terlalu sepi sebab taman sendiri buka
dua puluh empat jam, dan suasana juga tak terlalu sepi sebab berada di pusat
kota Ontario.
Dengan
asyiknya mereka berjalan, memerhatikan setiap sudut kota. Cuaca semakin dirasa
dingin, dinginya kini membalut dan semakin menjalar meski telah menggunakan
jaket tebal.
Hingga
tanpa sadar, mereka telah sampai pada tempat penginapan Rini. Sementara kedua
temannya, membelok ke arah kiri tempat penginapannya.
***
Keesokkan harinya.
“Rin, ini perlu dibawa?” tanya Julia
yang memegang kotak music.
Ia hanya mengisyaratkannya dengan
menunduk.
“Yang ini pasti bawa kan?” Tanya Ester
yang memegang album foto tentang mereka bertiga.
“So pasti kak.” Jawabnya dengan
senyum.
Lalu melanjutkan kembali mengepak
barang-barangnya pada beberapa dus juga tas koper miliknya. Sesekali matanya
melirik ponsel yang ia letakkan di atas ranjangnya berharap seseorang yang ia
tunggu mengabarinya atau berusaha
mencegahnya untuk tidak pergi.
‘Treng,
treng, treng …’ ponsel nya berbunyi,
dengan segera ia mengambil ponselnya yang dibiarkan tergelatak tadi dan
membukanya dengan harapan bahwa itu dari Ian. “Sayang, kamu jadi pulang? Berangkat jam berapa?” tulis dalam pesannya yang tak lain dari sang
Ibunda. Ia menarik panjang nafasnya, menerima kenyataan bahwa bukan pesan dari
lelaki yang sedang ditunggunya.
*Bersambung
*Bersambung
Hmmm...harapan terkadang menghempaskan hati ke jurang yang paling dalam
BalasHapusHanya bagaimana kitavmbyikapinya aja mba hehehe
HapusEntah terhempas ataupun karna dihempas