Sabtu, 30 Desember 2017

Cita, Cinta dan Mimpi


Cita, cinta dan mimpi.

Tiga hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Menurutku, ketiganya selalu terikat tak terpisah. Cita-cita  memberi cinta, sebab cinta akan memintamu lebih untuk rela berkorban. Disini, ia berperan sebagai asa mewujudkan cita-cita.

Lalu kemudian, cinta memberi mimpi. Mimpi yang mungkin kau kan mengerti setelah cinta telah terpatri pada diri. Sebab ketika cinta, maka ada sebuah harapan baru yang tersimpan pada mimpi sehingga kembali menumbuhkan asa tuk menggapainya.

Lepas itu, cita dan mimpi. Terdengar sama, namun nyatanya berbeda. Sebuah kehendak dalam fikiran yang menginginkan kewujudan namun juga dapat dirasakan.

Tertulis hari ini, 30 Desember 2017. Hari sabtu.
Hanya sisakan hitungan jam tersisa di detik pergantian tahun baru menuju 2018. Jika Allah mengizinkan, semoga aku bisa menemui tahun itu. Tak berharap banyak, semoga Allah membangunkanku dari tidur malam ini. (Aamiin)

Mengingat tahun lalu ada beberapa resolusi juga impian-impian ku yang terpanjatkan selalu setiap doa, kini aku mengingatnya kembali sebagai catatan mimpi yang tertulis di hati lalu terlukis dalam catatan kecil blog ini.

Suka, duka, cita, tangis, tawa, perjuangan, harapan, kecewa, bahagia, putus asa, rancu. Ah sudahlah, aku rasa semua telah terjadi. Menyisakan tangis, namun juga tawa. Jika semua dapat tergambarkan hanya melalui pensil warna, mungkin warnanya hanya ada abstrak. Tak ada yang lebih dominan.

Resolusiku  saat itu, tak bermuluk-muluk. Aku hanya ingin menjadi bermanfaat untuk orang lain. Menebar semangat juga tawa, menjadi seorang aktifis.

Masih teringat jelas, dalam ingatan. Bulan pertama di tahun 2017, dokter memberi klaim mencabut masa vonis ku dari sakit yang menyerangku setahun belakangan. Itu sebabnya resolusiku hanya mengingankan menjadi bermanfaat untuk orang lain.

Bulan kedua, bulan Februari. Aku diberi kejutan, dengan tawaran pinangan. Namun, takdir ternyata berkata lain, ta`aruf pun aku  hentikan. Entah perasaan seperti apa yang harus aku ekspresikan.

Bulan ketiga, bulan kelahiranku. Setelah mendapat kabar baik untuk kesehatanku. Tetiba kecintaanku menulis, kembali menyeruak. Aku menginginkan dan mengharuskan diriku sendiri untuk mempunyai buku sendiri, tepat diusiaku yang genap 20 tahun.

Bulan keempat, entah perasaan yang seperti apa harus ku gambarkan. Menjadi korban penipuan orang, selang beberapa hari adik sepupu menikah, dan dua pekan setelahnya kakak sepupu kembali ke rahmatullah. Kejadian yang terasa amat pilu, berdekatan dalam bulan yang sama.

Bulan kelima, Allah memberiku jawaban dari istikharah yang aku lakukan setiap hari. Mungkinkan ini hadiah, dari ikhlas melepas hadirnya? Dan aku meyakini, bahwa itu iya. And happiness. Aku juga jadi relawan pengajar disebuah yayasan panti asuhan, sebuah mimpi sederhana yang sedari dulu aku inginkan.

Bulan Juni, ramadhan dan hari raya. Sesuatu yang selalu di nanti para anak rantau.
Bulan Juli, jika boleh berkata benci. Maka aku kan teriakan ini dibulan Juli. Namun, aku pun sadar. Semua terjadi atas kehendakNya. Orang yang paling aku sayang, lelaki yang paling aku cinta, dan cinta pertamaku, iya dia adalah Ayah. Ayah dipanggil Sang Khalik, saat rinduku masih menjamah lara dipecundangi dunia. Dihari yang sama pula, kembali menjadi korban penipuan. Uang ku, dia bawa kabur. Bermaksud membantu dengan tetap berkhusnuudzon, namun nyatanya salah. Aku menghiraukan, setelah mengurus proses pemakaman Ayah. Kembaliku selesaikan permsalahanku. Dan tak ada satu anggota keluarga pun yang tahu.

Bulan September, hatiku mulai bimbang. Jika Allah mengizinkan, maka sisa kesempatan untuk mendapatkan buku sendiri adalah enam bulan. Waktu yang masih lama, namun jua cukup dirasa cepat. Namun, Allah memberi kejuatan lain melalui salah satu member di grup hafalan Hafidz On The Street (HOTS) yang aku bina. Ia memberi info sebuah komunitas bimbingan menulis dengan nama One Day One Post (POST). Akhirnya tanpa berfikir panjang, aku pun segera mendaftar dan diterima dua pekan setelahnya.

Bulan oktober hingga sekarang, aku aktif di HOTS. Dan mulai merutinkan kegiatannya, pulang-pergi Cibinong-Bintaro setiap 2-3 kali dalam sebulan. Memang mungkin bisa dikatakan bukan seorang aktifis, namun dirasa padat. Karena setiap hari libur pun selalu ada rencana keluar untuk mengisi acara. Alhamdulillah, mendapatkan teman-teman yang shalih-shalihah, mendapat ilmu baru dari ukhuwah yang terjalin. (Semoga diriku pun menjadi bagian didalamnya. Aamiin)

Bulan lalu, email masuk dari sebuah penerbit. Alhamdulillah, dengan seizin Allah pula. Tulisan saya lolos seleksi, dari hampir 500 peserta yang mendaftar. Kini bukunya dalam proses penerbitan, jadwalnya di undur hingga bulan depan.

Aku merenungi diri, mimpiku terwujud. Buku itu keluar di usiaku yang ke-20 tahun. Seketika senyumku mengambang, meski hanya sebuah buku analogi. Meski bukan sebuah pencapain yang tinggi, hal itu justru menjadi motivasiku terus bertahan di komunitas ODOP ini. Terimaksih ODOP, memberi jembatan dan mengembalikan kepercayaan diriku yang hampir hilang.

Kejutan-kejutan indah, meski tak luput dari sedih yang masih membalut. Semoga dengan ini, jalan saya menebarkan kebaikan dapat lebih luas lagi. Semoga. 😊


#OneDayOnePost
#TantanganFiksiODOP7
#EvaluasiImpian

Me and Reading Challenge ODOP

Hasil gambar untuk buku jendela dunia


Membaca adalah membuka jendela dunia.


Saya rasa ungkapan itu memang benar adanya. Mengapa demikian? Karena membaca, tidak hanya memberikan kepada kita wawasan baru. Namun jua, pandangan yang baru. Fikiran kita menjadi terbuka  lebar. Mindset kita lebih terarah.

Saya sendiri memang suka membaca, diluar baca chatingan (hahaha) seperti Koran, misalnya. Saya  membiasakan diri saya untuk membaca, namun sensasi berbeda datang ketika saya mengikuti Reading Challenge ODOP (RCO).

Emm, apa itu yah??
RCO atau Reading Chalange ODOP adalah sebuah kegiatan membaca yang merupakan bagian daripada kegiatan One Day One Post (ODOP). Sesuai dengan namanya, yaitu: tantangan membaca.

Awalnya, saya ragu untuk mengikuti kegiatan ini. Mengingat waktu saya, yang mungkin bisa dibilang padat (Ceillah, so busy :D). Padahal bukan masalah sih. Meski saya membaca setiap hari, namun mengikuti kegiatan ini seperti benar-benar mengejar sekali waktu saya. Saya merasa kekurangan waktu dari 24 jam kesempatan yang sama yang diberikan Tuhan kepada hambaNya.

Dengan batas minimum halaman yang di tentukan para PJ membuat saya, lebih memaksakan diri kembali untuk lanjut membaca. Iya tentu, mengejar batas  minimum. Terkesan memaksa?? Memang. Namun, ketahuilah bahwa tidak melulu sebuah paksaan itu, kan berakhir dengan sadis (hahaha). Saya rasa tidak ada hasil akhir yang buruk dalam sebuah paksaan menuju kebaikan.

Yang perlu di lakukan adalah dengan terus menjaga, jika tak mampu mengubah banyak. Maka, menjaga yang sudah dijalani lebih baik daripada hanya berdiam diri menghabiskan waktu untuk ghibah yang memang unfaedah sekali.

Bukankah, ada empat cara yang diajarkan untuk menjaga keistiqamahan??
Nggak tau kan? Makanya baca! (hahaha :D)
1. Memaksakan diri.
Memulai sesuatu yang baru itu memang berat, ada aja alasan untuk menolak. Lepas itu, baru nyadar kalau hidupnya hanya berada di garis yang monoton. Oleh karena itu, kita perlu memaksakan diri. Setidaknya, dengan begitu ada keterbatasan yang tertembus batasannya dengan pengetahuan sehingga memberikan kepada kita asa untuk mencari tahu, mempelajari lalu menerapkannya. Well, ini berlaku untuk semua hal tanpa terkecuali.

2.  Menjadi kebiasaan.
Yupps, menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang seperti ini, bukankah mendatangkan manfaat?? Betul apa betul? (ala-ala Aa Gym). Mungkin awalnya,memang terkesan terpaksa, namun seiring berjalannya waktu tanpa kita sadari justru menumbuhkan sebuah kebiasaan yang baik. Kita menjadi terbiasa untuk membaca. Jadi bakalan gak jadi beban deh.

3. Menjadi kebutuhan.
Setelah proses yang mungkin memberatkan,  fase ketiga kita berada di fase subuah kebutuhan. Loh kok kebutuhan?? Iya, karena ketika kita sudah menjadikan diri kita terbiasa dengan membaca, maka kebutuhan tidak pernah terlepas dari kebiasaan. Sebab kebiasaan ini, menarik diri kita untuk haus akan membaca. Kiasnya, ketika kita belum membaca serasa ada hutang yang harur segera dibayar.

4. Sebuah kenikmatan.
Nah, proses terakhir adalah kenikmatan. Mengapa saya mengatakan kenikmatan? Karena di  proses inilah, kita akan tahu seberapa berpengaruhkah tulisan-tulisan yang kita jumpa pada diri kita. Dan saya  pastikan, Anda akan merasakan bedanya setelah di fase terakhir ini.

Et, tapi itu menurut saya. Dan itu berlaku untuk semua jenis kebaikan. Termasuk di dalamnya membaca Qur`an, mengkaji, dan menghafalnya.

Buku pertama yang saya baca di RCO ini, adalah buku karangan Muhammad Taufik Ali Yahya. Dan saya dapatkan buku ini langsung dari penulisnya. (Gretongan. Hahaha). Dengan judul: Dzikir Qur`ani.

Sekilas buku ini seperti Alqur`an terjemahan, namun ternyata bukan. Sesuai judulnya, isi daripada bukunya adalah sebuah ajaran-ajaran Dzikir dari ayat-ayat qur`an. Mungkin bisa dikatakan Al-matsurat versi lengkapnya. Disini saya mendapatkan ilmu baru, dimana penulis menuliskan sebuah sub judul; Sholat dan Do`a untuk kedua orangtua. Dengan segala pengetahuan saya yang minim, saya baru tahu bahwa ada sholat khusus untuk mendo`akan orangtua.

Adakah di antara pembaca mengalami hal yang sama??
Saya harap tidak. J

So, dengan membuat rutinitas sendiri untuk membaca. Saya menemukan me time saya bersama buku-buku yang akhirnya menumbuhkan benih-benih pertanyaan. Semakin sadar, bahwa saya tidak punya apa-apa untuk dibagikan. Hanya sekedar tulisan ajakan kepada teman-teman pembaca untuk lebih rajin lagi membaca. Ini pun menjadi self reminder, untuk diri saya pribadi.

So, jangan tanyakan lagi, apa manfaatnya membaca?? Karena saya, masih tetap memberikan jawaban yang sama, yaitu: Iqro! Iqro! Bacalah! Bacalah!

Apakah ini, sebuah pernyataan yang berlebihan??
What ever you say guys, cause hanya orang-orang yang berada diposisi yang sama, yang tahu pasti jawabannya.

Terimakasih RCO.


#OneDayOnePost
#ReadingChallengeODOP

Jumat, 29 Desember 2017

Catatan Pernikahan (Part 2)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/percikan iman online

Kifa pun mulai meredakan suara tangisnya. Sambil terbata, ia memulai cerita. “Mas Yoga, Bu …” bicaranya terhenti terisak sendu tangis dipipinya. “mas Yoga, ngehamilin Dyah.” Lanjutnya lirih.

Terdengar samar, namun mimik muka Pak Heru berubah, “apa-apa yang jelas ngomongnya, jangan sambil nangis?” bantahnya yang kemudian memindahkan Wakhid dari pangkuannya ke Dita.

Kifa pun tak kuasa mengulang pernyataannya kembali, di ulurkannya pesan di ponselnya itu kepada ibu mertua.

Dibacalah pesan itu olehnya, lalu memberikannya kepada suaminya untuk bergilir membaca. “Yakin kamu?” ujar Ibu Wiwid seakan tak percaya dengan perkataan Kifa, meskipun telah ada bukti pernyataanya. “Yoga, anak saya gak mungkin seperti itu. Bisa saja itu cuma becandaan.” Terangnya memberi pembelaan.

Baginya ini adalah sebuah kebetulan, karena dirinya memang tidak merestui Yoga menikah dengan Kifa.
“Ibu nih, gimana sih? Kalo becanda, ini udah kelewatan, Bu?” seru Pak Heru bersikap netral. “Ini hubungan pernikahan, bukan main-mainan rumah-rumahan anak SD.” Suaranya sedikit menyentak.
Ibu Wiwid terdiam. Kali ini, egonya terbantahkan. Ia pun penasaran dengan kenyataannya. “Ya sudah, yang sabar. Nanti, kita tanya langsung sama Yoga nya.”
“Sekarang, Yoga nya dimana?” tanya Pak Heru.
“Di rumah, Pak. Tadi baru pulang pas dini hari.” Jawabnya sembari mengusap tangis bersisa di pipinya.
“Ya sudah, nanti kita telepon suruh kesini.” Pak Heru pun berlalu, mengambil kopinya yang sudah dingin. Di taruhnya ponsel itu di meja. Si seruputnya kopi itu, namun matanya mendadak bergambarkan cerita, tentang tidak habis fikirnya.

Benaknya pun ikut lirih, ada kekhawatiran yang tak bisa dijelaskan. Meski disisi lainnya, naluri seorang bapak terhadap anaknya sangatlah kuat. “Ini benar-benar sudah keterlaluan. Bagaimana kalau ini benar-benar terjadi? Dasar anak satu ini, cuma bikin malu orangtua saja. Kalau pun itu hanya bercanda, apa maksudnya? Dia pikir pernikahan itu mainan.” Gerutunya dalam hati.

***

Detik waktu dirasanya cepat, namun jua terlambat. Suara ayam berkokok pun sudah tak lagi terdengar, yang terdengar hanya suara bising kendaraan berlalu lalang. Siang itu, mentari dengan teriknya yang berada tepat ditengah luasnya langit biru menjadi saksi bisu prahara rumah tangganya.

Rumah Pak Heru.

Lelaki yang sedari tadi menjadi bahan perbincangan pun telah sampai di rumah orangtuanya. Suara knalpot dari motornya membuyarkan lamunan Kifa yang bersembunyi di kamar adik iparnya, Sovia.

Hatinya kembali bergetar, rasa benci, tak percaya, juga cintanya mengaduk emosi yang menyisakan tangis. Tangannya masih membalut erat bayinya, seakan ia sudah tahu akhir ceritanya. Jika pun dirinya harus berpisah dengan suaminya, dia berharap agar anak lelakinya kuat dan tidak menjadi seperti Yoga, ayahnya.

“Mas Yoga datang.” Ucap pelan Sovia, adik perempuannya di ruang keluarga.
‘Ssssst’  Jawab Ilmi, kakak perempuannya yang lain mengisyaratkan.
Sovia pun mengangguk, menandakan Iya.

Sementara anggota keluarga yang lain, melanjutkan aktifitasnya. Pura-pura tidak tahu kejadian sebenernya. Ada juga yang menemani Kifa dikamar bersama bayinya.
“Widih, enak jam segini baru bangun tidur ya?” todong Pak Heru, memulai pembicaraan dengan basa-basi.
“Iya pak. Begadang.” Jawabnya singkat, dan langsung meminum kopi yang tertera di meja. “Ini kopi siapa? Yoga minum.” Lanjutnya yang langsung menyeruput kopinya yang tinggal setengah gelas.
"Bapak mau tanya?" sergah Pak Heru.
Yoga pun seperti sudah tau apa yang akan ditanyakannya, ia memilih tak peduli seakan-akan ia tak bersalah.

Diliriknya, ruang keluarga. Matanya mencari sosok sang istri yang diyakininya sudah menceritakan semuanya. Yang mana, ia kira bahwa istrinya sudah masuk dalam jebakan permainan yang telah dibuatnya.


*bersambung


#OneDayOnePost
#TantanganFiksi6
#DomesticDrama

Kamis, 28 Desember 2017

Catatan Pernikahan (Part 1)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/percikan iman online

‘Hu … hu … huuu’

Suara tangis terdengar dari arah ruang tamu dengan sendunya, Dita segara keluar dari kamarnya dengan terkejut mencari sumber tangis. Di dapati kakak perempuannya tengah menangis begitu purau.

“Kakak kenapa?” tanyanya heran lalu mendekat menghampirinya.
Kifa sang kakak pun langsung reflek memeluknya erat, tangisnya semakin tumpah. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi jatuh pun seakan terus mengalir deras tak bersisa. “I i ini, Dek.” Bicaranya terbata, tangannya mengulurkan ponsel yang dari tadi di genggamnya.

Dita pun mengambil alih ponselnya dan membaca pesan yang terbuka disana. Ia terkejut, nyalinya pun hampir runtuh. Ia memandang kakaknya dengan penuh haru, ingin teriak dan mencaci kenyataannya. Namun ia urungkan, sebab kakaknya kini butuh dukungan darinya. “Aku bisa ngerasain apa yang kakak rasain.” Bisiknya dalam hati bersama tangis yang terjaga. Ia kembali memeluk kakaknya yang mulai rapuh, sesekali matanya melirik ke arah kamar yang dibiarkan terbuka pintunya. Melihat bayi mungil nan lucunya, tengah tertidur pulas tanpa dosa. Iya, dia ponakannya yang tak lain adalah Wakhid, anak semata wayang Kifa beserta suami.

***

Pagi  menyambut dengan hangatnya, mentari dirasa sangat pas untuk memulai aktifitas. Dengan penuh semangat untuk menyambut hari yang baru. Namun, tidak dengan Kifa. Hari itu, ia merasa bahwa langit tak berpihak dengannya, teriknya seakan menertawakan jalan nasib hidupnya.

Matanya sembab dikarenakan tangisnya yang tak henti, suaranya semakin purau karena lelahnya menangis. Ia dengan tergesa-gesa pergi, membangun paksa bayinya yang teridur pulas dalam keranjang bayi. Megusap sisa air matanya yang masih saja turun. Bibirnya kelu, hatinya masih meringis pilu. Ditatapnya  mata bayi yang tak berdosa itu dalam-dalam, tangisnya kembali menyeruak. Mengingat bahwa bayi yang tengah dalam pangkuannya adalah bukti buah cintanya dengan Yoga, suaminya.

Ia pun berlalu, membawa bayinya juga adiknya pergi. Mencari angkot.

“Kita mau pergi kemana, Kak?” tanya Dita.
“Ke Pak Heru,” jawabnya singkat, “kamu kerja hari ini?” Kifa melanjutkan bicaranya.
“Kerja, Kak. Tapi aku berangkat siang.”
Kifa pun hanya mengangguk lemas. Di pandanganya bayi itu, ia merengek tangis sangat kencang. Tangannya masih berusaha mencoba menimang-nimang agar diam.
“Nak, sabar ya sayang. Kelak nanti jika kau sudah besar, jangan seperti ayahmu ya, Nak.” Dibelai kepala tak berambut itu dengan tulus dan lembutnya. “Seperti namamu, Wakhid. Kamu nomor satunya mamah.” Ia mencium kening anaknya.

Sementara Dita, ia menatap haru kakaknya. Disisi lain, ia ingin menangis. Namun, apa daya jika ia menangis, lalu siapa yang akan memberinya semangat.

Tanpa sadar keduanya, mereka pun telah sampai di depan gang rumah Pak Heru. Mereka pun segera turun, dan berlalu menyusuri jalanan kecil gang rumahnya.

Setibanya, tangis Kifa kembali buncah. Ia langsung memeluk ibu Wiwid, istri Pak Heru. Pak Heru pun menjadi termangu, ia bangun dari tempat duduknya meninggalkan secangkir kopi hangat yang sudah dibuatkan sang istri.

“Ada apa?” tanya Pak Heru heran, melirik Dita yang kembali ikut terdiam.
Di ambilnya bayi itu dari pangkuan sang ibu.
Kifa pun terus menangis dalam pangkuan pelukan ibu Wiwid, ibu mertuanya. Ia menghabiskan sisa-sisa emosi yang masih terpendam sesak didadanya.
“Ada apa? Datang-datang nangis, sepagi ini?” menatap heran, menyangga kepala Kifa yang hampir terjatuh.


*bersambung.


#OneDayOnePost
#TantanganFiksi6
#DomesticDrama

Rabu, 27 Desember 2017

Alea : Terdera Rasa (Part 3)

Hasil gambar untuk sembilu hati
Sumber Gambar: diaryrose.wordpress.com

Hari demi hari berlalu, tinggalkan sebuah kisah penuh tanya yang tersimpan di dada.  Alea semakin menyadari, bahwa dirinya telah benar-benar jatuh hati meski harapan untuk memilikinya adalah kesekian dari inginnya.


          Sesekali Alea ingin melepas perasaannya yang semakin tak terkendali dengan dalih, hanya sebatas teman. Sebuah pernyataan yang ia sendiri tak ingin mendengarnya, namun hanya itu alasan satu-satunya untuk tetap berkomunikasi dengan Peuchan.

          Suatu ketika, sebuah cerita memberi kenyataan baru tentangnya, yang hampir membuat Alea tersungkur. Namun sekali lagi, ia menegaskan dirinya jika itu adalah pilihannya dari cinta dalam diam terhadap Peuchan. Ia menguatkan dirinya, memberanikan diri tuk bertanya langsung, sebelum akhirnya ia lontarkan pertanyaan yang sebenarnya sebuah interogasi.

          “Cie … Siapa itu Kak?” ia memulai pesannya dengan mengusili Peuchan.
          “Yang mana? Aku gak ngerti.” Balasnya seolah tak tahu.
          “Itu tuh, yang tadi aku bilang.”
          “Kamu tahu dari mana?”
          “Tau ajalah.” Balasnya dengan emoticon senyum.
          Sementara Peuchan hanya membalas dengan emoticon kaget.

***

          Sebuah pesan singkat setiap harinya, mampu meredam sedikit rindu yang semakin sesak di dadanya. Namun kali ini, sesuatu terasa berdesir dalam hatinya, sesuatu yang tak bisa di gambarkan pedihnya. Sempat ingin teriak mengatakan, “dasar gak peka!” namun ia mengurungnya, menyadarinya bahwa itu adalah kesalahan yang bisa mengakhiri hubungan dekat keduanya.

          Pedih, juga sedikit kecewa seharusnya tidak pernah tercipta, sebab tidak pernah ada sesuatu yang istimewa tercipta antara keduanya. Namun, hati Alea meyakininya dengan sangat yakin, bahwa Peuchan pun merasakan seperti apa yang ia rasakan.

Waktu semakin hari semakin memberinya harap, sebuah pertemuan sederhana waktu itu memberinya kesan yang tak mampu Alea lupakan begitu saja. Sorot matanya yang tajam, justru terlihat sangat menenangkan. Bicaranya yang renyah, seakan memberi sinyal bahwa ia lelaki yang sangat penyayang. Namun lagi dan lagi, Alea pun tidak berharap banyak akan hal itu, meski hatinya dengan penuh yakin akan perasaannya yang sama pula.

“Dengan seperti ini, aku bisa terus tahu bagaimana kabar dia. Meskipun, mungkin aku kan terluka suatu saat nanti atau justru sebaliknya. Tapi ah sudahlah, aku tak ingin mengharapkannya lebih dari ini.” Hatinya mulai kelu, mencoba menata hati tentu agar komunikasinya terjaga. Sesekali ia melihat foto keduanya, yang sempat terekam saat bertemu sebelumnya.


#OneDayOnePost

Selasa, 26 Desember 2017

Cinta Tak diRestui

Hasil gambar untuk cinta tak di restui


Sebuah kegelisahan yang menghantui diri, dari seribu harap yang hampir kembali. Seutuhnya yang telah terpatri, bagai tonggak lilin menyangga gelap.

Dalam kedamaian seorang diri, ibarat naluri menjuarai hati. Sekeping harap berbunga dan berkembang, lalu luluh lantak bak ironi sebuah negeri. Hancur berkeping tak bersisa.

Ingin ku teriakan, pada diri atas sihir yang mengahalau pribadi. Namun entah bagaimana, nyali menjadi mati hampir menyakiti diri hingga sisakan emosi.

Dengarlah ... Nyanyian bunga yang mengagambarkan ironi-ironi harap sebuah janji. Yang tinggalkan sepasang insan, pada ketentuan berlakunya keadilan.

Mungkin jua yakini, tentang penantian dalam kebersamaan. Namun, kan sirna diterpa tak berestuan. Simfoni-simfoni alam memeluk hangat, menarik jemari menggenggam erat, menyimpan memori tinggalkan sajak. Sajak kenangan yang mungkin tak terganti.

Ku memang pecundang sejati, melepas kepasrahan dalam diri yang berbalut ingin, bermuara pada harap, lalu memilih pergi tinggalkan cerita bersama restu yang tak lagi didapat.

Hening tak bersuara, pengap tak bersenyawa. Keputusan singkat tinggalkan cerita, tanpa pamit permisi. Kan ku bawa, meski luka bertahta, sementara harapnya sirna tak terkata.

Kebersamaan di ujung tombak derita, ciptakan kisah yang tak lagi di dera gejolak rasa. Tinggalkan tanya yang tak lagi punya jawaban. Jera nan lirih membalut hati, mengiris pilu menuai tangis.

Akhir yang tak pernah terfikir, karna secuil salah yang tiada maaf. Tak lagi peduli, pada pengertian diri menggambarkan hati. Merah jambu menjadi sembilu, jua berlabirin. Buntu tak temu cara lain, hanya kepergian peralih nominasi pilihan.

Mohon, sadarkan harapku dari tarik ulur jiwa yang bergelut pada ingin. Hentikan cerita, pada seutuhnya kisah yang sempat sempurna. Biarkan ku tulis takdir seorang diri, sebagai pecundang sejati yang ditentang. Ku telah menyerah.


#OneDayOnePost
#TemaInspirasiLagu


Minggu, 24 Desember 2017

Tertinggalnya Sholat Berjama'ah

Beberapa pekan lalu, dalam sebuah acara Preview Hafidz On The Street di sebuah Masjid yang berada di komplek perumahan angkatan laut di daerah Jakarta selatan. Seorang teman bercerita tentang hijrah, hingga berlanjut kepada sholat berjamaah. Yang mana hal itu memberikan sebuah pertanyaan dalam diri pribadi saya.


Dan Maha baikNya Allah, saya di dekatkan dengan orang-orang baik, Ustad Abul Fata Miftah, Lc. Seorang ustad yang akhirnya menjawab pertanyaan saya. Saya ringkas dalam beberapa catatan kecil.



*** 



Para ulama salaf (terdahulu) begitu antusias dalam menjalankan serta menjaga shalat berjamaah. Dan mereka akan bersedih ketika dirinya tertinggal shalat berjamaah.



Dikisahkan oleh syaikh Asy-Sya’roni Asy-Syafii rahimahullah, dahulu orang-orang salaf menganggap bahwa meninggalkan shalat berjamaah sebagai musibah.



Dikisahkan pula, dahulu ada seseorang yang sedang sibuk mengurus kebun kurmanya. Kemudian dia pulang ke rumahnya (karena waktu shalat telah tiba). Dan ternyata dia menjumpai orang-orang sudah melaksanakan shalat ashar berjamaah. Berkatalah dia, "Saya tertinggal dari shalat berjamaah. Saksikanlah sesungguhnya kebun kurmaku akan aku sedekahkan untuk orang-orang miskin."



Ubaidillah bin Umar Al-Qowariri rahimahullah pernah tertinggal dari shalat berjamaah karena sibuk menemui tamu. Waktu itu (ketika selesai menemui tamu), beliau keluar rumah untuk shalat berjamaah di masjid. Ternyata di semua masjid sudah dilakukan shalat berjamaah bahkan pintunya sudah ditutup. Akhirnya beliau pulang dan berkata, "Aku tahu ada hadis yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah pahalanya 27 derajat dibandingkan shalat sendiri."



Akhirnya beliau shalat isya sendirian 27 kali. Kemudian beliau tidur dan ternyata bermimpi sedang menunggangi kuda dan di depannya ada rombongan kaum yang juga menunggangi kuda. Dalam perjalanannya beliau tidak bisa mendahului rombongan tersebut. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menengok dan berkata, “Kudamu kelelahan, tidak bisa mengejar kami.” Beliau menjawab, “Tidak wahai saudaraku”. Orang tadi berkata lagi, “Karena kami shalat berjamaah sedangkan kamu shalat sendirian”. Akhirnya beliau terbangun dari tidurnya dalam keadaan sangat bersedih. (Diringkas Dari Kitab I’anatuth Thalibin)



***



Sebuah catatan kecil, yang semoga menjadi manfaat untuk saya pribadi maupun orang lain. Semoga tidak pernah puas dengan sebuah jawaban, karena ketika kita puas menandakan bahwa hati telah berhasad, telah sombong. Sebab rasa puas menjadikanmu berhenti untuk belajar.



Barakallahu fii umrik Ustad.

Jumat, 22 Desember 2017

Alea : Could It Be Love (Part 2)

Hasil gambar untuk termangu
sumber gambar: artebia.com

Terbalutkan dingin, serta lirih yang menyepi. Rona pipinya semakin menawan terlihat bersama harapnya. Kala itu, mentari pagi berubah sendu, ia bersembunyi di antara dambanya nyanyian harmoni. Yang menariknya kembali dimanjakan percikan air yang terjatuh ke bumi. 

Ia pun menarik kembali selimutnya yang terjatuh, dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal tidur, senyumnya mengambang, sementara matanya yang sipit memilih tuk terpejam.

"Seperti orang tak waras." Gerutunya dalam hati dengan gemas. Namun, ia tetap menikmatinya dalam bayang semu.

Hatinya menjadi tak karuan, denyut nadinya berjalan lebih cepat dari biasanya. Lisannya tak henti membicarakan lelaki yang baru saja ia temui kemarin sore di stasiun. Lelaki itu selalu menarik untuk dibicarakannya, meski ia tahu hanya sebatas tahu.

Ia pun terbangun dan mengubah posisinya menjadi sila, dengan selimut yang masih berbalut di sekujur tubuhnya. Menyadari keanehan yang di rasanya. "Arrgghh ...," ia menyadari dengan kesal, "sial! Kenapa aku jadi kefikiran?" gerutunya semakin tak terkendali.

Ia mengericitkan keningnya, menyadari perasaannya yang membuncah. Di antara senang juga malu, dan di antara harap juga rindu. Namun di sisi lain dirinya, ia mengatakan, "kak Pisang memang santun, tutur katanya renyah, dia benar-benar cool apalagi saat dia buka kacamatanya. Matanya ..." ia mulai mendikte lelaki itu, "caranya bercanda ... Aku suka. Senyumnya ...." Ia pun terhenti, kembali menyadari keanehan dalam dirinya.

Sementara di sisi lainnya yang menolak, ia berujar: "ah, berhentilah berharap Alea. Lelaki macam Kak Pisang itu tidak pantas dengan dirimu. Kau pun tahu siapa dia, ayolah tepis perasaan aneh dan gilamu itu."

Beberapa saat kemudian, ia sadar lalu menepis keduanya. "Arrrrrgh, perasaan macam apa sih ini." Gerutunya dengan terus mencaci dirinya sendiri. Namun, ia pun harus mengakui, bahwa sesuatu telah terjadi.

"Flying in the sky." 
Suara ponselnya berbunyi, dengan sumringahnya ia mengambil ponsel yang terletak dekat dengan meja belajarnya. Ia mengetahui bahwa itu adalah pesan dari lelaki yang sedang dalam fikirnya, yang dengan sengaja ia setting nadanya.
"Pagi." Tulisnya di sebuah pesan dengan emoticon senyum.

Kini, dingin yang sedari tadi membalut tubuhnya berubah menjadi hangat. Hangat sekali, hanya karena sebuah pesan masuk dalam ponselnya. Ia pun berubah ekspresi, senyumnya mengambang. Degup jantungnya semakin tak terkendali. "Pagi juga." Jawabnya dengan emoticon senyum juga.

Tanpa di sadari keduanya, mereka pun saling melempar perhatian, bertukar canda juga tawa. Iya, dengan sesekali bercerita tentang pertemuannya.

***

Setelah ia menyadari dengan rasa nyaman yang di tawarkan, kini Alea mengakui bahwa sesuatu memang telah benar-benar terjadi, entah hanya sekedar perasaannya atau juga tentang perasaan dirinya.

Karena acap kali lelaki itu tinggalkan pesan, Alea selalu merindukannya meskipun hanya sekedar emoticon senyum. Tak hanya itu, hatinya semakin membuncah kala perhatian demi perhatian selalu terlontar dari bibirnya yang manis, tutur katanya, cara bercandanya. "Santai namun romantis, tetap terlihat cool." Bisiknya dalam hati.

"Iya, aku hanya ingin menikmati ini tanpa pernah terganggu oleh siapapun." Simpulnya dengan menggenggam ponselnya erat di dada. "Aku tak percaya jika ini benar-benar terjadi, senang berada di dekatnya. Juga rindu kala jarak mulai terbentang. Could it be love?"

Ia mendekap dadanya yang berdegup kencang, memberi reda agar ia bergerak dengan semestinya.


#TantanganFiksiODOPke-5
#CintaPertama

Rabu, 20 Desember 2017

Review Novel Sandiwara Langit

Hasil gambar untuk buku sandiwara langit karya abu umar  basyier


“Saya sadar, saya masih terlalu hijau untuk menikah. Tapi saya lebih sadar, bahwa tanpa menikah, saat ini saya merasa tak kuat menahan godaan syahwat.” (Hal.3)

“Ia mengenal masjid, saat remaja-remaja lain lebih akrab dengan bioskop, mall atau malah diskotik dan Night Club.” (Hal.19)

Sepenggal kalimat di atas merupakan cara Abu Umar Basyier menuliskan kegalauan lelaki muda yang tak bisa menahan nafsu syahwatnya. Beliau merupakan penulis buku best seller “Sutra Ungu” yang mana buku-bukunya di jadikan sebuah rujukan perkara mengenai pernikahan maupun pra menikah.

Beliau merangkumnya dalam sebuah cerita perjalanan hidup yang sungguh mengharukan, namun juga membanggakan. Sebuah cerita kisah nyata atau dapat di sebut dengan berbased true story.

Buku karya Abu Umar Basyier ini merupakan sebuah novel fiksi yang di ambil dari kisah nyata seorang lelaki muda di sebuah pelosok negeri Jawa yang meginginkan pernikahannya di usia muda dengan segala keterbatasannya. Dalam novel ini menceritakan perjalanan juga perjuangan lelaki yang beliau tulis sebagai Rizqaan juga Halimah.

Bagian menarik dalam buku ini di setiap  babnya adalah bentuk petuah yang di ajarkan melalui sikap Rizqaan yang mampu mengambil dan menerima risiko atas keputusannya menikahi wanita shalihah nan kaya. Keputusannya menikah dengan sebuah perjanjian menceraikannya setelah hidup selama sepuluhtahun jika tanpa perubahan secara ekonomi bersama sang mertua.

Di sisi lain, penulis sangat cekatan membangun karakter Rizqaan yang seakan-akan hidup dalam tulisannya. Tentang keinginanya menikah di usia muda dengan wanita shalihah yang kaya, hingga sebuah perjanjian atas keputusannya menikah, sampai perjuangan bergolakan hatinya harus berpisah dengan Halimah saat perjanjian sepuluhtahun itu berakhir, yang mana bersamaan dengan usaha rintisannya yang hangus termakan si jago merah tepat di usia pernikahannya yang ke sepuluhtahun.

“Sedikit sekali menyadari bahwa godaan dunia dengan segala kegerlapannya itu jauh lebih berat, bahkan dari siksaan kemiskinan yang paling mencekik leher sekalipun.” (Hal.62)

Novel ini juga menggambarkan bagaimana sebuah perjuangan pertahanan hidup sebuah keluarga yang jatuh bangun namun tetap mengedepankan Agama serta Iman dalam hatinya. Dengan tetap akan kesadaran diri, kerendahan hati bahwasanya ada keterbatasan yang tak bisa dilampui manusia. Maka dari itu novel yang di tuliskan Abu Umar Basyier ini menjadi salah satu bahan rujukan pranikah.

Bagaimana penulis menggambarkan kegalauan Rizqaan yang menginginkan pernikahan di usianya yang delapanbelas tahun sampai berhasil mempersunting wanita berjilbab yang kaya dengan sebuah kesepakatan yang ia anggap seperti sebuah perjudian, hingga ia memiliki anak dan berhasil menaikan taraf ekonomi keluarga kecilnya hingga tepat di hari ke sepuluhtahun, semua menjadi lenyap seketika dengan masalah yang bertubi-tubi hingga menjadikan keduanya harus benar-benar berpisah dengan segala cintaNya yang mengikat atas izin Allah. Namun, tetap dengan mengedapankan Iman serta Taqwanya kepada Rabbi.

Semua pertanyaan yang mungkin menjadi momok ketakutan bagi  kita yang menginginkan pernikahan, akan terjawab jika kita membaca buku karya Abu Umar Basyier, yang mana salah satunya berjudul “Sandiwara langit” ini. Yang mana perjalanan hidup dan sikapnya menjadi salah satu bentuk petuah tak berguru yang penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nasihat lain dari penulis sendiri adalah bahwa “orang yang beriman adalah orang yang tidak akan bisa terpuruk karena rasa sedih dan ketakutan.”

Judul Buku : Sandiwara Langit (Sebuah kisah nyata, bertabur hikmah penyubur iman)
Penulis       : Abu Umar Basyier
Penerbit     : Shafa Publika, Sukoharjo
Halaman    : 212 halaman
Cetakan Keempatbelas April 2013.


#Tantangan4Fiksi ODOP
#ReviewBuku

Senin, 18 Desember 2017

Alea : Sebuah Pertemuan (Part 1)

"Apakah dia benar-benar mengajakku tuk bertemu?" tanya gadis bermata sipit dalam cerminnya.
Nampaknya gadis itu masih tak percaya dengan sebuah pesan diponselnya.
"Hi, Alea. Bagaimana tawaranku? Bisakah kita bertemu?" pesannya kembali masuk diponselnya.
Kini ia pun menyunggingkan garis dibibirnya, "Mmm ... Boleh." Jawabnya singkat, dengan sedikit ragu.
"Baiklah, kabari aku jika kamu kesini. Nanti aku jemput di stasiun terakhir yah." Balasnya cepat.
Sementara Alea, hanya membalasnya dengan emoticon senyum.

***

Alea, gadis manis bermata sipit yang selalu membiarkan rambutnya terurai. Saat kesendirian mempertemukannya dengan lelaki asing, bernama Peuche Chan. "Ah nama yang sulit untuk dilafalkan." Gerutunya saat pertama berkenalan. Iya, seorang lelaki yang ia sendiri tak pernah tahu seperti apa wujudnya. "Hahaha, jahat sekali aku." Tawanya dalam hati, saat melihat fotonya yang tersimpan diponsel.

Namun, entah mengapa. Lelaki itu, selalu menjadi bahan obrolan yang sangat asyik. Lelaki yang ia kenali hanya melalui fitur media sosial. Ia merasa ada yang lain dengan lelaki itu, seakan-akan memang sudah pernah bertemu dan mengenalinya persis. Iya, hanya karena komunikasi yang intens setiap harinya. Meskipun sesekali dalam kesibukannya.

Kak Pingsan, sebutnya. "Ah untuk sebutan orang yang baru dikenal, rasanya ini tidak sopan." Gerutunya.

Namun meskipun begitu, ia tetap saja memanggil dengan sebutan yang sama setiap harinya, kadang dengan nama Peci, bahkan Pisang. "Ah, selama ini dia tak pernah memarahiku meskipun dengan panggilan aneh."

Beberapa waktu terakhir hubungan keduanya nampak begitu dekat, saling melempar tawa, juga canda. Meskipun hanya dilakukan via media sosial saja. Wajah yang tak saling mengenali, hanya percaya pada sebuah foto. Namun, entah bagaimana keduanya pun berubah menjadi sangat akrab.

Alea merasa sangat nyaman, dirasanya pula dengan lelaki itu. Seiring berjalannya waktu, ada rasa temu yang menggebu, ada setitik rindu yang mulai menyayat hati. Sebuah rasa yang tidak seharusnya ada, apalagi untuk urusan keduanya yang tak saling tahu seutuhnya.

"Hi, sipit. Jadi kan kita ketemu?" goda Peuche Chan mengingatkan.
Ia hanya tersenyum, betapa dirasa lelaki itu sangat unik. Meski tak pernah tahu, keunikan sebenernya dimana. "Cie, yang mau ketemu." Jawab Alea kembali menggoda.
"Akhirnya aku bakal ketemu sama mata sipitnya kamu." Kembali ia mengusilinya.
Dan lagi, Alea hanya menyunggingkan bibirnya.

***

Pagi yang berselimut awan, nampaknya mentari pun sedang bermain dengan manjanya. Menyembunyikan sinarnya, lalu kembali terang dan bersembunyi kembali.

Hari pertemuan itu pun tiba. Siang itu, Alea mulai bergegas bersiap-siap ke stasiun. Bersamanya disambut hujan, ia menengadah berharap hujan tak turun lebih deras. "Cukup gerimis romantis saja untuk sebuah pertemuan," ujarnya dalam hati yang mulai bergemuruh tak karuan, lalu ia pun tersenyum menyadarinya.

"Jadi hari ini pergi?" pesan Peuche lebih awal.
"Jadi. Kak Pisang dimana?" balasnya.
"Aku sudah di stasiun akhir."
"Baiklah Kak Pisang."

Tigapuluh menit berlalu, tibalah gadis itu di stasiun akhir.
"Kak Pingsan dimana?" tanyanya melalui pesan.
"Aku masih di stasiun."
Keduanya pun saling mencari, matanya membelalak ke kanan dan ke kiri. Alea dengan modal foto yang tersimpan diponselnya, sementara lelaki itu hanya bermodalkan pesan chat diponselnya.

Namun, ketidaksengajaan meliriknya. Mempertemukan mereka pada pandangan pertama. Perasaan Alea pun membuncah mengenalinya. Ia mengahampiri dengan pelan, menyapanya terlebih dahulu.

"Kak Peuchan?" sapanya, yang kali ini dengan sebutan yang benar.
Lelaki itu pun menengok ke arah suara, membuka kacamatanya. "Alea yah?" jawabnya.
Ia hanya mengangguk. Tetiba bibirnya terkatup, perasaannya membuncah, nyalinya tak terkendali. Pertemuan yang direncanakan setiap hari itu pun, telah tiba. Sadarnya. 


#Tantangan3FiksiODOP
#Swasunting

Sabtu, 16 Desember 2017

Puisi seorang Hamba

Gambar terkait
sumber gambar: ceelbarafonline.blogspot.com

Kami hanya pendosa yang mengharap ampun
Akan khilaf serta salah
Maka tuntunlah hati kami Ya Rabbi
Tuntun kami pada kebenaran nikmat akan jalan-Mu
Sertakan kami untuk bersama orang-orang mukmin
Orang-orang yang shalih nan shalihah
Orang-orang yang selalu rindu dengan-Mu

Ya Illahi ...
Lindungilah kami,
Lindungilah kami ....
Dari orang-orang dzalim
Dari orang-orang munafiqiin
Tuntun hati kami Ya Rabbi
Kuatkan iman serta taqwa dalam hati kami

Ya Habibi ...
Tegur-Mu menyapa kami,
Engkau hidupkan gunung agung hingga menyemburat isinya,
Engkau hidupkan sungai kami, hingga ia memarah,
Engkau hidupkan tanah kami akan kesombongan kami,
Engkau ciptakan Israel sebagai bentuk jalan jihad kami.

Dan kini Ya Rabbi,
Engkau bangunkan kami saat tengah pulas dipecundangi dunia,
Bergetar ....
Bergoyang ....
Riak suara bergemuruh menjadi satu
Teriak setiap insan menyebut TAKBIR
Allahu Akbar Allahu Akbar
Kami berlari,
Terlontang lantung mencari perlindungan
Kami meringis akan kuasa-Mu Ya Rabbi

Ya Rahmaan,
Ya Rahiim ...
Tegur-Mu menyapa kami,
Tapi kami masih sombong ..
Enggan tuk bertaubat

Ya Aziz ...
Tetapkan sejumput hidayah kepada kami,
Lindungilah kami,
Ampunkan kami Ya Rabbi ...
Ya Ghofuur ...
Dari segala nikmat serta amanah yang Engkau titipkan,
Sempatkanlah kami bertaubat sebelum ajal memikat

Ya Hanana ...
Terimahlah seru shalawat serta salaam kami,
Assalamu'alaika Yaa Rasulullah
Assalamu'alaika Yaa Habibi, Ya Nabi Allah



Tangerang, Sabtu 16.12.2017


*Maka sempatkan lah berdoa, semoga Allah melindungi kita dimana pun kita berada.

بسم الله الرحمن الرحيم

اَللَّهُمّ إِنّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَخَيْرَ مَا أَرْسَلْتَ بِهِ؛ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّمَافِيْهَا وَشَرِّمَا أَرْسَلْتَ بِهِ

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kehadirat-Mu kebaikan atas apa yang terjadi, dan kebaikan  apa yang didalamnya, dan kebaikan atas apa yang Engkau kirimkan dengan kejadian ini. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan atas apa yang terjadi, dan keburukan atas apa yang terjadi didalamnya, dan aku juga memohon perlindungan kepada-Mu atas apa-apa yang Engkau kirimkan. Aamiin

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...