Senin, 11 Desember 2017

Jangan Biarkan Sesal

Disebuah sekolah pasti selalu ada waktu kapan diharuskannya olahraga dalam satu pekan. Jika waktunya telah tiba, semua para siswa diharuskannya mengikuti tanpa terkecuali. Apabila saat itu, guru olahraga memberikan praktik untuk lompat tinggi maka semua siswa pun harus mencobanya satu demi satu.


Suatu hari, tiga dari beberapa siswa tidak menyukai lompat tinggi dikarekan ia tak bisa melompat. Namun, saat itu mereka harus mengikutinya demi nilai ujian praktiknya. Apa yang akan dilakukannya?? Apakah mereka memilih untuk tetap melompat dengan resiko kakinya cedera? atau justru akan berdiam diri, menyerah sebelum mencoba? Atau malah menghindari keduanya dengan alasan izin tak masuk sekolah?



Dengan lantang siswa satu berteriak mengikuti latihan, meski ia tahu setelahnya kakinya beresiko cedera. Siswa kedua memilih untuk tidak mengikutinya, daripada mencobanya sehingga menyebabkan kakinya cedera. Sementara siswa ketiga, memilih tidak masuk sekolah tiap kali jam olahraga itu berlangsung.



Hal itu pun berlangsung hingga mendekati pekan ujian praktik. Ketiga siswa itu pun akhirnya mengikuti. Singkat cerita, siswa tiga itu pun dengan sangat terpaksa mengikuti ujian tanpa latihan sebelumnya. Ia melompat tanpa dasar awalan yang benar, sehingga menyebabkan kakinya benar-benar cedera. Disisi lain, siswa kedua mengikuti ujian praktik itu, dengan pengetahuan yang ia liat tanpa pernah mencoba latihan. Dan benar saja, ia cedera seperti apa yang menjadi ketakutannya.



Sementara siswa pertama itu, dengan keyakinan dan kepercayaan dalam dirinya ia 'pasti bisa' meski cedera setelah latihan selalu tak dapat terhindarkan. Ia pun bersiap lalu melompat seperti yang telah diajarkan gurunya. Beberapa saat kemudian " ... Prok, prok, prok ..." Suara tepuk tangan terdengar dari semua siswa termasuk gurunya. Ia tak percaya, bahwa ia melalukannya dengan sangat baik, pendaratan dan awalan yang baik, ia menoleh ke kakinya, hampir tak percaya kakinya tak menyentuh tongkat yang melintang tinggi didepannya, tanpa cedera dan ia menyadarinya ia bisa. 



Saat tiba hari kelulusan pun, ia tak dapat menyembunyikan betapa matanya berbinar haru menerima hasilnya yang memuaskan dan dinyatakan Lulus, sementara dua temannya yang lain harus mengikuti ujian berikutnya.



***



Kisah diatas merupakan sebuah analogi sederhana dalam kehidupan. Yang mana kehidupan adalah opsi, dimana memilih dan dipilih adalah sebuah keharusan dalam mata rantai kehidupan. Meski tak memilih pun adalah pilihan. Tapi? apa mungkin kita tak memilih? padahal telah jelas bahwa dengan demikian kita telah mendekatkan diri kepada kekalahan, dan ketidakbermanfaatan dalam hidup.



Mengapa demikian?

Karena ketika kita tak memilih, kita hanya hidup dalam keadaan yang monoton, yang tidak berproduktifitas lalu menjadikan diri tak bermanfaat seperti halnya siswa tiga tadi.


Dan ketahuilah, bahwa semua opsi adalah resiko. Namun percayalah, bahwa resiko apapun hanya tergantung pada diri kita sendiri. Berani mengambil resiko lalu merubahnya menjadi lebih baik, atau tidak mengambil sama sekali resiko hanya untuk menghindar dari satu masalah yang justru mendatangkan masalah baru sehingga membuat sesal.



Maka dari itu, jangan biarkan sesal menjadi sebuah pilihan hanya karena kita mengindari resiko. Karena pilihan apapun adalah resiko. Berani memilih, berarti berani menerima resiko. Maka tanamkan pada diri, bahwa proses tidak akan pernah menghianati hasil.



Semangatlah para pejoang. 😊

6 komentar:

  1. analogi yg cukup mengena, tp kalau di dunia pendidikan mungkin akan berbeda perlakuannya. sebagai perbandingan : http://www.locustaviridis.com/2017/10/ajaib-ternyata-ada-katak-yang-bisa.html?m=1

    Msh ada kata resiko, harusnya risiko..

    Overall, tulisannya oke (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. oke siap mas, terimakasih kirisannya.
      iya tadinya mau dibuat analoginya lebih luas lagi, tapi setelah beberapa kali pertimbangan, jadi saya coba menganalogikannya dalam hal paling sederhana dulu.

      Hapus
  2. Analoginya sangat bagus. Hebat@ Rene

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimaksih pak,
      iya masih belajar ini pak hihi

      Hapus
  3. Sip. Intinya jangan pernah merasa tak mampu kalau belum mencoba.

    BalasHapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...