Sabtu, 02 Desember 2017

Berhenti Berharap (Part 14)

Hasil gambar untuk memeluk sahabat

        Sementara Diana, kini ia berada di sebuah rumah sakit besar di kota Bandung. Bukan, bukan ia yang sakit. Melainkan ibunya, yang dirawat akibat kanker paru-paru yang menyerangnya satu tahun lalu.  Ia pun kini menggantikan peran ibunya sementara, menjaga adik-adiknya. Sementara sang ayah, ia pergi bersama pilihannya sekitar delapan tahun lalu yang meninggalkan dirinya dan adiknya bersama sang ibu, Ia mengurus semua keperluan adik-adiknya hingga sampai dokter mengatakan bahwa ibunya sudah baik-baik saja untuk pulang. Beruntungnya, ia adalah salah satu mahasiswi yang pintar sehingga ia kuliah mendapat beasiswa full.

          Lusiana termangu sebentar, di liriknya tempat duduk sahabatnya tepat di kursi belakang tempatnya. Ia melirik diam, lalu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah luar kelas. “Diana, kemana yah. Kok tumben gak masuk.” Gumamnya dalam hati.
          Namun, meski begitu ia masih saja diam, seakan benar-benar tak peduli. Jam kelas pun telah usai, ia memilih langsung pulang ke rumahnya. Saat ia bejalan disebuah lorong kampus, ia melihat lelaki itu, iya lelaki yang sama yang ia lihat pertama kali di lorong. Iya, dia Handy. Lelaki itu tengah berdiskusi dengan salah satu dosen pembimbingnya.
Diliriknya lelaki itu, memerhatikannya kembali seperti pertama sesaat ia belum tahu nama lelaki itu. Namun, Handy pun menyadari jika ada seseorang yang tengah memerhatikannya. Ia pun meliriknya yang membuat Lusiana menjadi salah tingkah, ia pun kemudian menundukkan kepalanya. Namun kemudian, lelaki itu mengalihkannya kembali ke arah sang dosen, lalu memilih beranjak dari tempat itu meninggalkkan dirinya tanpa sapa.
Ia menyadari, bahwa kini lelaki itu menjadi bersikap sangat dingin terhadap dirinya. “Apakah dia membenciku?.” Ujarnya dalam hati yang tersalip bersama sesal.
Hari itu pun berlalu, dengan tak banyak cerita. Keesokan harinya, seperti  biasa ia memulai paginya dengan semangat baru. Namun, hal yang sama juga terjadi. Hari kedua dimana sahabatnya tak masuk kuliah lagi, ia kini mulai sedikit khawatir. Sebab sepanjang tiga semester lalu bersamanya, ia tak pernah absen kuliah tanpa alasan yang  jelas, ia mulai menanyakan kabarnya melalui teman-teman kelasnya yang lain. Hari itu pun ponselnya susah sekali tuk dihubungi, namun hasilnya juga sama tetap nihil.
Ia kembali mengingat-ngingat dan menimbang-nimbnag yang telah Rini beri tahu sebelumnya. “Apa aku salah yah? Kenapa dengan mudahnya menyimpulkan begitu aja Lusi. Sementara lu bersahabat dari semenjak masuk kuliah.” Ia memaki dirinya, kesal sendiri. Tanpa berfikir panjang lagi, akhirnya ia memilih untuk izin tidak mengikuti kampus sampai selesai, memilih untuk mencari tahu tentang sahabatnya.
“Gi, ijinin aku yah. Kurang enak badan nih.” Pamitnya ke Anggi, salah satu teman kelasnya.
“Siap Lus, cepet sehat lagi yah.” Jawabnya.
Ia pun segera mengambil tasnya, dan dikaitkan langsung ke bahunya lalu beranjak pergi menuju kost-an Diana.
Setibanya disana, ia mengetuk pintu kost-annya. Tak ada suara. Ia pun tak henti mengetuk dan memanggil namanya. Namun, masih saja diam. Tak lama berselang waktu, ibu kostnya menghampiri.
“Cari siapa neng?”
Ia pun menoleh ke arah suara. “Anu bu, orang yang ngekos di kostan nomor tujuh ini kemana ya bu?” tanya ia sembari menoleh ke pintu kostnya Diana.
“Oh, Diana yah?” ibu kostnya pun menyadari.
Ia mengangguk mengiyakan.
Ibu kost itu pun mendekat ke arahnya. “Sudah dua hari ini, Diana pulang kampung neng. Waktu itu terlihat buru-buru sekali.” Jelas ibu kost. “Ada yang bisa ibu bantu?”
Ia diam sejenak. “Pulang kampung?” tanyanya lagi. “Ke Bandung, maksud ibu?”
“Iya ke Bandung, Neng.”
Ia lama terdiam, sempat terbesit dalam hatinya sebuah pertanyaan. “Ada apa dengan Diana, yah? Apa aku yang udah keterlaluan, ngediemin dia?”. Hatinya pun seolah terus mengutuk akan kesalahan dirinya terhadap Diana. “Ibu tahu, alamatnya yang di Bandung?”. Tanya Lusiana yang kekhawatirannya semakin membara.
Ibu kostnya pun mulai mnegingat-ngingat. “Bentar ya neng ibu coba carikan di data penghuni kost.” Jelasnya yang kemudian berbalik arah mencari data penghuni kost.
Lusiana pun mengangguk dan bersabar menunggunya. Sesekali ia melirik jam tangannya, perasaannya semakin membuncah.
Kemudian sang ibu kost itu pun kembali dengan secarik kertas di tangannya, membawakan alamat tempat tinggal Diana di Bandung. Perasaan Lusiana pun sedikit lega dengan didapatkan alamat rumahnya. Ia pun sanngat berterimakasih lalu berpamit pergi dari tempat kost itu.
Setibanya di rumah, ia terkulai lemas. Lalu menemui sang ibunda.
“Mah …” Ia menghampirinya dengan suara yang purau.
“Loh, kakak kenapa?” tanya sang ibunda.
“Diana pulang ke Bandung.” Jelasnya.
“Terus?”
“Mamah, apa dia marah sama kakak yah? Gegara kakak diemin dia beberapa hari terakhir inih?”. Jelasnya sedikit merajuk.


*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...