Sabtu, 02 Desember 2017

Berhenti Berharap (Part 13)

“Kalo kamu kangen, perbaiki hubungan kalian.” Jawab gadis itu yang tak lain adalah Rini.
Ia pun dengan terkejutnya hingga membuatnya menjadi salah tingkah. Bagaimana tidak ia ketahuan benar-benar merindukan sahabatnya, hatinya tak bisa dibohongi meski mungkin dengan sedikit kecewa.
“Rini?” tanya ia terkejut dan melongok ke sekitarnya.
Rini pun mengikuti dirinya, memalingkan kepalanya menengok ke ka kanan dan ke kiri lalu kemudian menatapnya.“Cari siapa?”
Ia menggelengkan kepalanya. “Ng … ng … nggak.” Bicaranya terbata-bata.“Sudah dari kapan kamu disini?”
“Belum lama.” Jawabnya singkat. “Tapi aku tahu kalo kangen sama Diana.” Lanjutnya.
“Nggak kok.” Ia mengelak.
Rini pun hanya senyum menyimpulkan, setidaknya gadis itu tidak benar-benar kecewa. Hanya mungkin  butuh waktu untuk memulihkan kepercayaannya kembali, sebab bagaimana juga segala sesuatu yang menyangkut hati, ia tak bisa disalahkan. “Lus … aku mau ngomong?”
Ia mengangguk, sebenarnya hatinya sedikit tercekal dan bergetar. Ia takut jika yang di bicarakannya nanti adalah tentang hubungan dirinya, Diana juga Handy. “Ngomong soal apa, Rin?”
“Ngomong-ngomong dimana Diana?” matanya melongok memandang sekitarannya pura-pura tak tahu.
“Em … Diana gak ikut.” Terdiam. “Iyah, di agak ikut ada urusan kampus katanya.” Jawabnya berbohong lalu kemudian menyeruput minumnya.
Matanya menyipit, “Kamu tidak sedang berbohong kan?” tanyanya menyudutkan.
“Em, enggak kok.”
“Sudahlah Lusi, kamu tak perlu berbohong denganku. Aku sudah tahu yang sebenernya.” Jelasnya.
Ia terdiam sejenak. “Maksud kamu apa, Rin?” ia kembali bertanya dengan nada pelan, berpura-pura tak mengerti.
“Aku tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang kamu, Diana juga abang Handy.” Jelasnya. “Tapi kamu perlu tahu, Diana tak seperti apa yang kamu fikirkan. Bahkan mungkin ia adalah kebalikan dari apa yang kamu fikirkan.”
Ia terperangah. “Bagaimana mungkin Rini bisa menilainya demikian sementara dia tak pernah tahu perasaanku sebenarnya.” Keluhnya kesal dalam hati.
          “Lus … percayalah, bahwa dia tak pernah bermaksud seperti ini. Dia memang sayang, namun untukmu. Dia rela mengorbankan perasaannya …”
          Sementara gadis itu menyelanya, “Sudah Rin, cukup. Aku gak mau denger tentang dia lagi.”
          “Setidaknya, aku tahu bahwa kamu nggak benar-benar percaya akan apa yang sudah terjadi. Sebab kamu tahu betul dia. Dan cuma satu pintaku, beri dia waktu untuk memberikan alasannya.” Ia pun berdiri lalu meninggalkan Lusiana seorang diri di tempat duduknya.
          Kini ia berlalu, sembari memainkan ponselnya yang ia pegang. “Aku harap dengan ini, bisa membantu semuanya lebih baik lagi. Maafin aku Diana, aku hanya bisa bantu dengan cara ini.” Ujarnya dalam hati. Kemudian, sesekali dalam langkahnya ia menengok ke arah belakang tempat dimana ia meninggalkan Lusiana seorang diri. “Semoga kamu bisa menimbang dan menyadari yang sebenarnya ya.”  Lanjutya berkata dalam hati.
          Lusiana pun tampak sedang menimbang-nimbang, sekaligus mengingat-ngigat kesalahannya. “Aku yang terlalu egois, atau memang ia seorang pengkhianat.” Ia bergumam dalam hatinya.
          Yang kemudian sesekali membuka ponselnya dan melihat kebersamaan keduanya yang terangkum dalam sebuah album bernama galeri foto.
          Sementara Rini pergi, ia juga mendapatkan kabar dari temannya di Canada. Betapa senangnya menerima kabar yang berkata. “Aku kan ke Indonesia dengan segara. Tunggu aku ya, Rin.” Tertulis dalam pesannya demikian. Ia pun menyunggingakan bibirnya, tanda senang.
***
          “Kakak mau pulang kapan ka? Ibu sakit.” Suara seoarang anak kecil di penghujung telefon.
          “Sabar ya, dek. Bentar lagi kakak pulang. Bilang sama ibu, harus tetap semangat ya, dek.” Jawabnya berusaha memberi ketahanan.
          Suara itu pun tak asing baginya. Gadis itu pun menutup ponselnya dengan sedikit kekhawatiran. Ia menyeka matanya dari tangisan yang hampir mematahkan semangat hidupnya.
          Ia berdiri dan bergegas cepat membereskan pakaiannya. Tak lupa ia mengambil ponselnya untuk meminta izin beberapa minggu ke depan.
          “Baik, saya izinkan.” Jawab pesan balasan salah sau dosen.
          Kini gadis itu, Diana. Segera pergi kesebuah terminal bus, untuk naik angkutan umum ke arah kampong halamannya di kota Bandung.

          Keesokan harinya, disebuah kelas kampus.
          Hari itu, suasana pagi begitu menyegarkan dengan udara ibu kota yang sedikit segar dari biasanya karna hujan baru saja membasahi tanah. Sementara sisa-sisa embunnya, masih menempel manja pada dedaunan juga kaca-kaca rumah. Bersama mimpinya ia terbangun, menyadarkannya bahwa ia harus pergi tuk kuliah.
          Setelah kemudian berbenah diri, Ia segera melajukan motornya ke arah jalan menuju kampus. Setelah beberapa menit dalam perjalanan, kini ia telah sampai dan segera masuk ruang kelasnya. Namun nampaknya, sesuatu ada yang berbeda. Tatkala ia menyadari, tak ada sapanya yang selalu menyambut harinya.
          Gadis itu pun melirik jam tangannya, yang ia selingi dengan melihat ke arah pintu. Ia seperti sedang menunggu sesuatu, namun enggan membicarakannya. Gadis itu menengok kiri-kanan dari tubuhnya. Hingga jam masuk pun tiba.
          Disisi lain, ada Rini yang tengah begitu senang, mendapatkan kabar dari Kak Ester, juga Kak Julia untuk kunjungannya ke Indonesia, dengan sesuatu yang special ucapnya.
          “Aku kan mengabarimu lagi, ketika nanti kita telah sampai di Bandara Jakarta.” Ucap Ester di ujung telefonnya.
          “Baiklah ka. Kabari aku, kalo sudah sampai. Hati-hati ya kak.” Jawabnya dengan riang. Kemudian ia pun menutup teleponnya.



*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...