Kamis, 28 Desember 2017

Catatan Pernikahan (Part 1)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/percikan iman online

‘Hu … hu … huuu’

Suara tangis terdengar dari arah ruang tamu dengan sendunya, Dita segara keluar dari kamarnya dengan terkejut mencari sumber tangis. Di dapati kakak perempuannya tengah menangis begitu purau.

“Kakak kenapa?” tanyanya heran lalu mendekat menghampirinya.
Kifa sang kakak pun langsung reflek memeluknya erat, tangisnya semakin tumpah. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi jatuh pun seakan terus mengalir deras tak bersisa. “I i ini, Dek.” Bicaranya terbata, tangannya mengulurkan ponsel yang dari tadi di genggamnya.

Dita pun mengambil alih ponselnya dan membaca pesan yang terbuka disana. Ia terkejut, nyalinya pun hampir runtuh. Ia memandang kakaknya dengan penuh haru, ingin teriak dan mencaci kenyataannya. Namun ia urungkan, sebab kakaknya kini butuh dukungan darinya. “Aku bisa ngerasain apa yang kakak rasain.” Bisiknya dalam hati bersama tangis yang terjaga. Ia kembali memeluk kakaknya yang mulai rapuh, sesekali matanya melirik ke arah kamar yang dibiarkan terbuka pintunya. Melihat bayi mungil nan lucunya, tengah tertidur pulas tanpa dosa. Iya, dia ponakannya yang tak lain adalah Wakhid, anak semata wayang Kifa beserta suami.

***

Pagi  menyambut dengan hangatnya, mentari dirasa sangat pas untuk memulai aktifitas. Dengan penuh semangat untuk menyambut hari yang baru. Namun, tidak dengan Kifa. Hari itu, ia merasa bahwa langit tak berpihak dengannya, teriknya seakan menertawakan jalan nasib hidupnya.

Matanya sembab dikarenakan tangisnya yang tak henti, suaranya semakin purau karena lelahnya menangis. Ia dengan tergesa-gesa pergi, membangun paksa bayinya yang teridur pulas dalam keranjang bayi. Megusap sisa air matanya yang masih saja turun. Bibirnya kelu, hatinya masih meringis pilu. Ditatapnya  mata bayi yang tak berdosa itu dalam-dalam, tangisnya kembali menyeruak. Mengingat bahwa bayi yang tengah dalam pangkuannya adalah bukti buah cintanya dengan Yoga, suaminya.

Ia pun berlalu, membawa bayinya juga adiknya pergi. Mencari angkot.

“Kita mau pergi kemana, Kak?” tanya Dita.
“Ke Pak Heru,” jawabnya singkat, “kamu kerja hari ini?” Kifa melanjutkan bicaranya.
“Kerja, Kak. Tapi aku berangkat siang.”
Kifa pun hanya mengangguk lemas. Di pandanganya bayi itu, ia merengek tangis sangat kencang. Tangannya masih berusaha mencoba menimang-nimang agar diam.
“Nak, sabar ya sayang. Kelak nanti jika kau sudah besar, jangan seperti ayahmu ya, Nak.” Dibelai kepala tak berambut itu dengan tulus dan lembutnya. “Seperti namamu, Wakhid. Kamu nomor satunya mamah.” Ia mencium kening anaknya.

Sementara Dita, ia menatap haru kakaknya. Disisi lain, ia ingin menangis. Namun, apa daya jika ia menangis, lalu siapa yang akan memberinya semangat.

Tanpa sadar keduanya, mereka pun telah sampai di depan gang rumah Pak Heru. Mereka pun segera turun, dan berlalu menyusuri jalanan kecil gang rumahnya.

Setibanya, tangis Kifa kembali buncah. Ia langsung memeluk ibu Wiwid, istri Pak Heru. Pak Heru pun menjadi termangu, ia bangun dari tempat duduknya meninggalkan secangkir kopi hangat yang sudah dibuatkan sang istri.

“Ada apa?” tanya Pak Heru heran, melirik Dita yang kembali ikut terdiam.
Di ambilnya bayi itu dari pangkuan sang ibu.
Kifa pun terus menangis dalam pangkuan pelukan ibu Wiwid, ibu mertuanya. Ia menghabiskan sisa-sisa emosi yang masih terpendam sesak didadanya.
“Ada apa? Datang-datang nangis, sepagi ini?” menatap heran, menyangga kepala Kifa yang hampir terjatuh.


*bersambung.


#OneDayOnePost
#TantanganFiksi6
#DomesticDrama

27 komentar:

  1. ternyata mas wakhid masa kecilnya spt itu ya, hmmm baru tahu sy

    BalasHapus
  2. ternyata bukne wiwid, sekarang pindah hati ke Pak Heru wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwk
      Kali ini, mas suden jadi cucunya πŸ˜ƒπŸ˜ƒ

      Hapus
  3. Jadi bayangin masa kecilnya kak suden deh kak, hihi keren bgt, semangat kakk πŸ˜‚πŸ’ͺπŸ’ͺ

    BalasHapus
    Balasan
    1. πŸ™ˆπŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ Yang punya nama, belom nongol dek wkwkwk

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. “Seperti namamu, Wakhid. Kamu nomor satunya mamah.” Ia mencium kening anaknya.

    Kok gak terasa ciumannya? Wkwkwk.

    BalasHapus
  6. Bhuahahaha ....
    Ketawa saya bacanya πŸ˜ƒ

    BalasHapus
    Balasan
    1. πŸ™ŠπŸ™ŠπŸ™ˆπŸ™ˆ Duuh, ada apa pak heru hehe
      Pada fokus ke mas wakhid kayanya hahaha

      Hapus
  7. Suaminya bernama pak Heru... hihihi

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. Makasih ka via😍
      Tunggu ya, one proggress heje

      Hapus
  9. Pasti namanya wakhid karena nama neneknya wiwid, #eh hihihi

    BalasHapus
  10. Kayak sudah jalani nikah saja hhh...ajiiib...Re

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duuuuh kan, jadi malu aku hahaha. Pdahal blom ya hahaha
      Doain aja pak bari hehe

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...