Kamis, 14 Desember 2017

Tentang Dea

Gambar terkait
sumber gambar: weheartit.com

“Aaaaa ....” teriaknya begitu kencang dengan ketakutan. “Bibi … bibi ….” Ia terus memanggil bibinya dengan suara yang amat keras. Badannya lemas, wajahnya memucat, keringat di tubuhnya kini mulai bercucuran. Sementara kakinya bergetar termakan ketakutan, suaranya risau dengan bersama isak tangisnya.

Bibi pun menghampiri dengan wajah pasi sebuah kekhawatiran, “Ada apa? Kamu kenapa?” tanyanya seperti wartawan sembari menyeka tubuh mungil gadis itu yang hendak kan pingsan.

“Jauhkan itu dari hadapanku bi.” Matanya terpejam tak mampu memandang. Ia hanya menunjuk telunjuknya ke arah tumpukan majalah lama yang tersimpan rapih di sebuah kardus yang telah lusuh.

Tanpa aba-aba lagi, bibinya pun segera menoleh ke arah kanan dan ke arah kiri,  mencari sesuatu yang panjang untuk mengusirnya secara paksa. “Hus, hus … pergilah kau!” Usirnya dengan sapu. Lalu kemudian, ia menolehkan pandangannya kembali pada gadis mungil itu. Dan menatapnya dengan begitu dalam. “Kamu? Katanya dokter hewan. Cuma sama tikus seekor saja, tanganmu sudah panas dingin seperti ini, bagaimana dengan hewan yang lain?” gurau sang bibi.

Ia hanya tersenyum, dan  mengakuinya mesti tak secara nyata. Tubuhnya kini benar-benar kehilangan hidrasi, matanya sayu, suaranya terengah seperti berlari. “Kayanya, aku gagal jadi dokter hewan. Apa yang dikatakan bibi barusan memang benar.” Fikirnya kembali meronta.

Gadis mungil itu bernama Dea. Ia menyadari bahwa ketakutannya, mungkin tak wajar. Namun, entah bagaimana ia  tak mampu mengelak. Sepertinya, kisah lama itu meninggalkan traumatisnya hingga kini.

“Hei!” sapa bibi memecah lamun. “Sudah jangan banyak melamun, kamu pasti bisa. Pelan-pelan saja.” Terangnya memberi harap baru, dengan sembari mengelus punggung tangannya Dea.

Gadis itu pun tersenyum. Saat ia kembali memupuk harapnya, ia menyadari bahwa mimpinya sekaligus melepas belenggu traumatis dalam dirinya sendiri. Kemudian agak lama, indra penciumannya begitu pekat akan bau yang tak lagi asing untuknya. “Huuuum ….” Katanya setengah berbisik. Matanya terpejam menikmati, sementara hidungnya mencoba mengendus-ngendus aromanya.

Bibinya pun, mulai ikut mengendus  baunya. “Duh … wanginya.”

“Kuwah itek?” tebak keduanya saling memandang. Mata Dea pun membelalak senang, dan seakan memberi tanya benarkah?. Sebab ia tahu betul bahwa itu adalah kuwah itek, makanan kesukaannya. “Bibi buat kuwah itek?” lanjutnya bertanya.

Namun ternyata, pertanyaanya menyadarkan bibinya. “Astaga,  bibi lupa.” Matanya membelalak. “Bibi masih masak,” ia segera melepas tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Dea. “duh bisa-bisa bebekku kering.” Teriaknya sembari berlari menuju arah dapur.

Dea pun hanya tertawa melihat tingkah bibinya. Ia pun dengan segera mengikuti bibinya ke arah dapur. Meninggalkan sesuatu di tempat sana, tanpa ia sadari.

Setelah beberapa waktu ia  membantu bibinya, kini ia tinggal menyantap kuwah iteknya. Meski rasanya sedikit berbeda, namun  tak mengubah mood makannya. Sore itu, ia memilih menyatapnya di bawah pohon mangga yang berada di pekarangan rumah bibi.

Ia makan dengan begitu lahap, kuwah itek –jenis makanan khas Bireun-Aceh yang artinya gulai bebek- adalah makanan kenangan dirinya selapas orangtuanya meninggal. Kuwah itek juga bentuk kerinduan bagi dirinya.

“Aku rindu Pak, Bu.” Hatinya berbisik, sementara tubuhnya ia sandarkan pada batang pohon itu. Hatinya bergolak, meminta temu. Namun menyadari, bahwa itu sebuah ketidakmungkinan.

Matanya kembali terpejam, bayangannya jelas menari dipelupuk mata. Semilir angin di sore itu memberi sunyi juga tenang. Nuansa nan syahdu, ketika ia membuka matanya, pelangi di ujung senja memberi suratan dan goresan senyum dibibirnya yang tipis. “Kata orang, jika ada pelangi saat kau merindu. Maka, orang yang kau rindui juga tengah hadir melihatmu merindu. Benarkah demikian Pak, Bu?” ujarnya dalam hati yang kemudian tersimpulkan oleh senyum.

Kini ia menyadari, senja semakin jingga. Waktunya ia masuk kedalam rumah. “Dimana sandal jepitku?” ia bertanya. Mengingat kembali memory dalam otaknya. “Bukannya aku tadi dibelakang mencari sandal jepitku yah?” ia kembali bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mengingat-ngingatnya kembali. “Ah, ku  rasa tadi aku kesini pakai sandalnya.” Ia mengelak.

Ekspresi di wajahnya tak dapat dipungkiri, bahwa ia tengah berfikir keras mengingat-ngingat memory dalam otaknya. “Atau … aku lupa naruh yah?” ujarnya mencoba menerka. “Ah, biarlah.” Ia pun pasrah melupakannya.

Terkadang ia menjadi  pelupa, acap kali trauma itu dirasa. Kini, ia melangkahkan kakinya, menuntunnya turun dari kursi yang di sandarkan di bawah pohon itu. Tetiba, seekor tikus melintas. ‘Pyaaaaaaaaar’ “Bibiiiiiiiiiiiiiiiii ….” Teriaknya bersamaan mangkuk yang jatuh dan pecah.

Selesai.


#TantanganFiksiODOP
#LimaKataKunci

10 komentar:

  1. wow, keren euy tulisannya. mau dong kuwah iteknya..!

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah kmarin malam, saya makan kuwah itek hahaha

      Udah menggantung gak yah, endingnya mas?? hihihi

      Hapus
  2. Kuwah iteknya menggoda..
    tapi aku bacanya kue tadi wkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha soal makanan mah nyambungnya kemana aja ya mas wkwk

      Hapus
  3. Mantap dah! Cuma ada sedikit koreksi.
    Jauhkan itu dari hadapanku bi. Harusnya: Jauhkan itu dari hadapanku, Bi.
    Sama kata 'fikir' yang benar 'pikir'.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oya iya mas, terimakasih sudah mengingatkan..
      Lain kali nanti, aku kebih perhatiin lagi 😁

      Hapus
  4. Hmm...ceritanya sederhana, sesederhana kalau bertemu seeekor tikus...lariiii....😂...Sukses ya...

    BalasHapus
  5. Bagus mbak...berhasil bikin penasaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, tp ndak tahu klo versi cerpennya 😭

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...