Sabtu, 02 Desember 2017

Berhenti Berharap (The End)

Hasil gambar untuk happy
sumber gambar: project heal

Sang ibunda pun membelai rambutnya. “Sayang, ada yang perlu kamu tahu bahwa sebuah persahabatan yang sejati mengajari kalian untuk saling mengisi dan memaklumi satu sama lain. Menurunkan ego, meski terkadang salah satunya harus merasakan sakit.” Jelasnya.

“Maksudnya, Mah?” ia mulai tak paham dengan perkataan sang ibunda.
Mamahnya pun tersenyum. “Sayang, mamah sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi mamah yakin, anak mamah yang satu ini, masih punya hati untuk memberinya kepercayaan setidaknya izinkan Diana tuk memberi alasannya.”
Ia tercenga, bagaimana mungkin sang ibunda tahu dalam fikirnya. “Mamah.” Air matanya mulai menetes. “Maafin kakak.”
“Kamu tak perlu meminta maaf sama mamah. Yang perlu kamu lakuin sekarang adalah memperbaiki hubungan kalian.” Jelasnya yang kemudian memegang pipi anaknya.
“Jadi?”
Ibundanya mengangguk. “Tunggu apalagi?”
Ia pun menyunggingkan bibirnya. “Boleh, Mah?” tanyanya meminta kepastian.
Ibu Erita pun mengedipkan matanya.
“Makasih mamah.” Lalau memeluk erat tubuh sang Mamah dan menciumnya.
“Udah ah. Sana gih cepat-cepat beresin bajunya.” Jelas sang mamah.
Ia pun segera menuju kamarnya, mengambil beberapa potongan baju untuk ia bawa menyusul Diana ke Bandung.

***

Bandung.
          Setibanya di Bandung, ia mencari alamat yang dikasih oleh ibu kostnya Diana. Bertanya sana sini, dengan menggendong tas ranselnya. Seperti orang hilang, nyalinya hampir membuatnya putus asa mencari alamat tempat tinggal Diana.
          Namun kemudian, tekadnya masih kuat demi memperbaiki hubungannya dengan Diana yang akan mengembalikan lagi hubungan semua orang.
          Tiba-tiba saat ia berjalan, ia menemui sesorang yang seperti ia mengenalinya. Ia pun memanggilnya dan ternyata benar, ia adalah sahabatnya Diana.
          Diana pun menolehnya, antara percaya dan tak percaya. Sahabatnya menyusulnya ke Bandung.
          “Lusi!” jawab ia, yang kemudian berlari menemuinya lalu memeluknya hangat. Suasana haru terasa, tatkala Lusiana meneteskan air matanya.
          “Maafin aku yah, An. Aku mungkin terlalu egois, sampai aku gak peduli sama alasan apapun kamu.” Jelas ia dengan sesal.
          Sahabatnya pun menghapus binar air matanya. “Sudahlah Lus, kamu gak salah apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf, karna udah bikin kamu kecewa.”
          “Sudahlah, kita lupakan semuanya mulai sekarang, An. Kamu tak perlu menjelaskkan apa-apa, Mamah sama Rini sudah ngejelasin semuanya. Maafin aku yah.”
          Mereka pun saling memeluk satu sama lainnya, memberikannya kembali kepercayaan yang sempat rusak. Saling meminta maaf dan memperbaik hubungannya.
          Tak lupa pula, ia menjelaskan perjalanannya dari Jakarta-Bandung kepada Diana, dan meminta penjelasannya mengenai alasannya pulang kampung.
          Diana pun menjelaskannya. Kini kedua sahabat itu pun kembali seperti dulu, saling berbagi dan bercerita.

Epilog.

Jakarta, satu bulan kemudian.

          Dear diary,
          Waktu begitu cepat belalu, setelah terakhir ku menemui Diana di Bandung. Kini aku lebih sering menyendiri namun tak membuatku merasa seorang diri. Aku mungkin tak lagi menemukan dirimu pada sosok yang lain. Tapi percayalah Diana, persahabatan kita akan tetap terjalin, setidaknya  meski kita telah terpikat jarak. Bukan, bukan jarak yang memisahkan kita seperti beberapa kejadian lalu melainkan jarak antara kota Jakarta dan Bandung kotamu.
          Iyah, selepas kamu memutuskan untuk pindah kuliah di Bandung demi menjaga adik-adikmu dan amanah yang diberi ibumu selepasnya meninggal, semuanya memang berubah. Sikapku atau hal apapaun mengenai sikap kekanak-kanakanku. Terimakasih, karna kamu telah mengajarkanku tentang sebuah sikap yang dewasa dan kesejatian seorang sahabat.
          Oh ya Diana. Aku dengar, setelah menjadi lulusan terbaik dari kampus kita, Kak Handy kini melanjutkan study S2 nya di Ausie, namun begitu ia tetap membantu bisnis keluarga Rini. Sementara Rini, kabar terakhir yang aku dengar kini ia telah menikah muda. Ia menikah dengan lelaki bernama Ian, lelaki yang sempat membuatnya kecewa. Namun karena kesungguhannya melepas belenggu itu, dalam kepasrahannya lelaki itu datang dan langsung  meminangnya. Kini ia kembali ke Canada mengikuti suaminya, dan melanjutkan kuliahnya disana.
          Ah Diana, ada banyak hal yang telah terjadi dalam sebulan terakhir ini dan kau tak ada disini. Semunya menjadi berbeda tanpamu dan tanpa Rini. Tapi aku akan mencoba menjalaninya setahap demi setahap. Seperti kata Rini dulu: Jika sebuah pengharapan mengikis waktumu, maka biar ikhlas yang terus berjalan mengembalikan harapan itu menjadi lebih baik.
          Sebentar lagi libur semesteran tiba, tunggu aku kembali kesana ya Ana.
Love,
Lusi

          Lusiana pun menutup buku diarynya dan menaruhnya di bagian buku-buku kuliahnya. Sekilas tatapannya jatuh pada pigura besar berisi foto-foto orang terdekat di hatinya. Diana, Handy dan juga Rini. Dibelainya satu per satu wajah di dalam pigura itu. “Terimakasih karena telah mengajarkan aku untuk menurunkan egoku, yang telah mengajariku banyak hal untuk jauh lebih baik lagi. Love you all!”


Tamat.

2 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...