Jumat, 22 Desember 2017

Alea : Could It Be Love (Part 2)

Hasil gambar untuk termangu
sumber gambar: artebia.com

Terbalutkan dingin, serta lirih yang menyepi. Rona pipinya semakin menawan terlihat bersama harapnya. Kala itu, mentari pagi berubah sendu, ia bersembunyi di antara dambanya nyanyian harmoni. Yang menariknya kembali dimanjakan percikan air yang terjatuh ke bumi. 

Ia pun menarik kembali selimutnya yang terjatuh, dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal tidur, senyumnya mengambang, sementara matanya yang sipit memilih tuk terpejam.

"Seperti orang tak waras." Gerutunya dalam hati dengan gemas. Namun, ia tetap menikmatinya dalam bayang semu.

Hatinya menjadi tak karuan, denyut nadinya berjalan lebih cepat dari biasanya. Lisannya tak henti membicarakan lelaki yang baru saja ia temui kemarin sore di stasiun. Lelaki itu selalu menarik untuk dibicarakannya, meski ia tahu hanya sebatas tahu.

Ia pun terbangun dan mengubah posisinya menjadi sila, dengan selimut yang masih berbalut di sekujur tubuhnya. Menyadari keanehan yang di rasanya. "Arrgghh ...," ia menyadari dengan kesal, "sial! Kenapa aku jadi kefikiran?" gerutunya semakin tak terkendali.

Ia mengericitkan keningnya, menyadari perasaannya yang membuncah. Di antara senang juga malu, dan di antara harap juga rindu. Namun di sisi lain dirinya, ia mengatakan, "kak Pisang memang santun, tutur katanya renyah, dia benar-benar cool apalagi saat dia buka kacamatanya. Matanya ..." ia mulai mendikte lelaki itu, "caranya bercanda ... Aku suka. Senyumnya ...." Ia pun terhenti, kembali menyadari keanehan dalam dirinya.

Sementara di sisi lainnya yang menolak, ia berujar: "ah, berhentilah berharap Alea. Lelaki macam Kak Pisang itu tidak pantas dengan dirimu. Kau pun tahu siapa dia, ayolah tepis perasaan aneh dan gilamu itu."

Beberapa saat kemudian, ia sadar lalu menepis keduanya. "Arrrrrgh, perasaan macam apa sih ini." Gerutunya dengan terus mencaci dirinya sendiri. Namun, ia pun harus mengakui, bahwa sesuatu telah terjadi.

"Flying in the sky." 
Suara ponselnya berbunyi, dengan sumringahnya ia mengambil ponsel yang terletak dekat dengan meja belajarnya. Ia mengetahui bahwa itu adalah pesan dari lelaki yang sedang dalam fikirnya, yang dengan sengaja ia setting nadanya.
"Pagi." Tulisnya di sebuah pesan dengan emoticon senyum.

Kini, dingin yang sedari tadi membalut tubuhnya berubah menjadi hangat. Hangat sekali, hanya karena sebuah pesan masuk dalam ponselnya. Ia pun berubah ekspresi, senyumnya mengambang. Degup jantungnya semakin tak terkendali. "Pagi juga." Jawabnya dengan emoticon senyum juga.

Tanpa di sadari keduanya, mereka pun saling melempar perhatian, bertukar canda juga tawa. Iya, dengan sesekali bercerita tentang pertemuannya.

***

Setelah ia menyadari dengan rasa nyaman yang di tawarkan, kini Alea mengakui bahwa sesuatu memang telah benar-benar terjadi, entah hanya sekedar perasaannya atau juga tentang perasaan dirinya.

Karena acap kali lelaki itu tinggalkan pesan, Alea selalu merindukannya meskipun hanya sekedar emoticon senyum. Tak hanya itu, hatinya semakin membuncah kala perhatian demi perhatian selalu terlontar dari bibirnya yang manis, tutur katanya, cara bercandanya. "Santai namun romantis, tetap terlihat cool." Bisiknya dalam hati.

"Iya, aku hanya ingin menikmati ini tanpa pernah terganggu oleh siapapun." Simpulnya dengan menggenggam ponselnya erat di dada. "Aku tak percaya jika ini benar-benar terjadi, senang berada di dekatnya. Juga rindu kala jarak mulai terbentang. Could it be love?"

Ia mendekap dadanya yang berdegup kencang, memberi reda agar ia bergerak dengan semestinya.


#TantanganFiksiODOPke-5
#CintaPertama

6 komentar:

  1. Balasan
    1. Namanya Peuchan kak..
      Cuma di Alea inibmanggionya Pisang, gtuh.. Kan pengucapan peuchan itu susah, critanya haha

      Hapus
  2. Saya kira pisang is "panggilan sayang" wkwkw, soale dlu pernah punya panggilan spesial dan gda yg tahu kecuali saya and the geng hahaha

    BalasHapus
  3. Hahaha
    Jangan" panggilannya juga pisang ka wkwk

    BalasHapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...