sumber foto: Google.co.id/veronicamagani
PROLOG
CANADA.
Secarik
kertas dan pena berada di atas meja, sementara dia masih berkalut dan
berselimut di atas ranjangnya dengan untaian tisu yag tersebar hampir memenuhi
tempat sampahnya. Ia terus berada disana dengan sedikiit ketakutan yang mungkin
adalah kekhawatiran, sementara dua yang lain hanya sedang berusaha menutupinya,
lalu kemudian Ia mengambil secarik kertas itu, dan didekatkan dengan tangannya
yang kemudian ia melemparkannya ke tempat sampah.
Dear diary,
Entah harus ku tulis apa untuk
menuliskan tentangnya, warnanya memudar seiring berjalannya waktu. Iyah, warna
kepercayaanku padamu. kau yang ku temui waktu itu, memberi kesan yang tak mampu
ku ubah begitu saja. Kau bahkan memberiku asa mengharapnya penuh rasa. Lalu
entah bagaimana dengan kedua temanku.
Seseorang yang tak sengaja ku temui,
dibalik layar bernama handphope. Sebuah ponsel dengan nomor yang bertuliskan
namamu. Entah sedang ditunjukkan Ilahi atau pun memang keisengan yang tak
sengaja.
Berbunga hati, bertamankan riang.
Mengenalnya seperti menemukan permainan baru di antara ribuan jebakan. Bak
labirin di taman kota. Entah harusku tuliskan apalagi, sebab menggambarkanmu
tak mampu ku sebut waktu, tak mampu ku lukis indah parasmu.
Iya kamu, lelaki itu yang ku ceritakan
pada tiap pena-pena yang ku tinggalkan di dalam diary. Jika denganmu tinggalkan
luka maka ku percaya meninggalkan mu pula takkan menghapus luka itu. Luka yang
entah dengan sengaja kau beri, atau memang benar hanya singgah tanpa permisi.
Jika harus ku pilih untuk menyudahi ini,
maka biarkan aku pergi dan berlari semampuku. Mengejar asa pada yang lain,
sebab sebuah kecewa tak dapat sembuh hanya dengan kata maaf.
*Rini
Lalu ia
menggumpalkan kertas itu dan melemparkannya ke tempat sampah. “Mungkin, ini
saatnya aku harus kembali ke Indonesia” gumamnya.
Di
luar matahari bersinar sangat cerah, seakan tak sanggup menebarkan kehangatan
ke setiap penjuru bumi. Karena ribuan kilometer dari situ, di sebuah tempat
dengan kehidupan yang jauh berbeda, di
sebuah tempat kecil di pelosok Bandung, terduduk seorang perempuan berkulit
cerah di sebuah tempat yang rindang.
Ia
memandang hamparan luas dengan altar sunyi, sesekali bernyanyi hingga suaranya
mengecil terdengar purau dan mendayu. Terkadang ia hanya diam memilih menikmati
sejuk alam, namun di sela rinti hujan, hanya isakan lirih yang terdengar samar
keluar dari bibirnya.
“Kau tahu rasanya diabaikan,
Cintaku telah di ujung jalan ….
Aku sangat mengenalmu …
Aku juga cintaimu …
Tapi kau tak pernah, ada pengertian
Ku senang, ku sedih
Kau tak mau tahu …
Aku sangat mengenalmu …
Dulu kau tak begitu …
Kau bintang di hatiku,
Jadilah yang ku mau
Ku senang, ku sedih
Kau ada denganku ….” (-Agnes Monika:
Cinta di ujung jalan-)
“Doni,
aku gak tahu harus bagaimana untuk mengharapmu kembali, bagiku sudah tak ada lagi
harapan kini. Keadaan kita semakin nyata menolakku. Semakin keras dari hari ke
hari. Maaf jika aku harus pergi, sebab
menantimu kembali dengan janji yang sama begitu mencengkeram ketakutan pada
diriku. Meski demikian aku percaya, masih panjang jalan yang harus ku lalui
begitu pun dengan dirimu. Karena itu, aku memutuskan untuk pergi dari sini. Aku
ingin mencari sebuah lingkungan yang memberiku kesan, bahwa tanpamu aku kan
bahagia. Jadi maaf aku harus meninggalkan kota ini dan juga tentangmu.”
Perempuan
itu menangis sesenggukan, sesungguhnya berat hatinya untuk meninggalkan kota
Bandung, iyah bukan hanya kenangan bersama lelaki bernama Doni tetapi juga
harapan tentang hatinya. Tetapi dia pun harus pergi. Masih panjang jalan yang harus
di tempuhnya dari hanya sekedar berharapdia kembali. Akhirnya, setelah beberapa
saaat menguatkan diri, Ia bangkit dan mulai meninggalkan tempat itu.
***
Jakarta.
“Mah
…”
Teriakan
manja mengisi ruang dapur keluarga Wijaya. Mamah Erita mengangkat kepalanya
sejenak dan tersenyum melihat putri semata wayangnya, Lusiana. Dimiringkannya kepala
ke samping untuk menerima ciuman putrinya.
“Hai
sayang, bagaimana hari pertamamu kuliah?”
Lusi
menghempaskan tubuh di samping ibunya sambil nyengir puas
“Lumayan
menyenangkan Mah! Tapi aku agak kesel mah!”
“Kesel
kenapa sayang?” Mengelus pipinya
“Tadi
kakak panitianya ngeselin Mah, aku di hukum suruh jalan jongkok gara-gara salah
jawab. Kan kaka gatau mah.” Ucapnya manja dan bersandar dibahu mamahnya.
“Gapapa
sayang… Emang kamu jawab apa?”
“Tadi
aku jawab bebek, ayam pas panitianya Tanya hewan yang di udara”
‘Hahaaha’ Mamahnya tertawa
yang kemudian menutup mulutnya dengan jarinya. Adik lelakinya pun yang masih
berusia 17 bulan itu pun ikut menertawakannya. “Adikmu saja sampai ketawa” ‘Hahaha’.
“Apa
kamu dek, ledekin kakak? Awas kakak cubit nanti loh” Mencubit pelan pipi
adiknya.
“Loh,
kaka emang gatau?”
“Bukan
gak tahu sih Mah, tapi kakak lagi kurang fokus”
“Berarti
itu salah kakak”
“Mamah
….” Suaranya meminta pembenaran dengan manja.
“Udah
sekarang ganti baju dulu, nanti turun lagi kita makan yaah”
“Okelah
kalo begitu Mah”
“Awas
ya kamu, adik kakak yang nyebelin” Mencium pipi tembem adiknya dan berlari ke
kamarnya.
“Kakakmu gatau mana hewan
di darat sama di udara” Sambil menyuapi makanan sikecil.
*Bersambung
*Bersambung
Luar biasa
BalasHapusBiasa diluar ini mah pak hehe
BalasHapusAsyiik
BalasHapusDitunggu lanjutannya
Siaap...
HapusMasih on progress nih mba hehe
Sudah memulai tantangan dengan tahapan yang benar: PROLOG.
BalasHapusKalau diseriusin bisa jadi bibit novel ini.
Saya tunggu hingga EPILOg ya.
Hihi.. Tahap-tahapannya itu, dari prolog ke perkenalan karakter, klimaks, baru epilog ya bang?
HapusAamiin, mudah"an bisa lanjut nulis novel nantinya..
Siaap bang, on progress nih...