Senin, 22 Januari 2018

Alea : Surat Rindu Alea (Part 5)

Gambar terkait
Sumber gambar: sisileeya.blogspot.com

Hari-hari kini berlalu begitu cepat, rasa kelu menggambar sebuah janji kepastian. Namun, harap masih enggan memberikan jawaban akan rindu yang kini dibiarkan sendirian.


“Mengapa rindu harus seberat ini?” maki Alea pada dirinya sendiri.

Ditatapnya langit yang kini mulai menggantungkan senja, selepas rinai hujan jatuh ke bumi, jua tersalip pelangi yang mulai kabur.

Bergegas ia berlalu, melewati jalan setapak dengan lampu pijar jalanan kota metropolitan. Alea melihat gadis kecil tengah berjalan dengan teruyung-uyung, tubuhnya masih basah akibat hujan tadi sore yang cukup deras. Tanpa disadarinya, gadis kecil itu menghampirinya, “kaka, kau mau pakai payung?” tawarnya, yang ternyata adalah ojek payung.

Lamunnya pecah, ia mengibas rambutnya yang agak lepek tersabab hujan yang sisakan gerimis. Senyumnya mengambang, lalu menundukan kepalanya menandakan iya.

Ia tak menyembunyikan sesak rindunya dibalik hujan, namun ia pun tak bisa memungkiri hanya bisa diam. “Terimakasih ya dek,” sesampainya disebuah toko, dan mengeluarkan uang kertasan juga sedikit camilan, “bawa ini, jangan lupa makan ya. Sisanya ambil saja buatmu yah.”

“Camilan ini, sudah lebih dari cukup, Ka.” Ia berusaha mengembalikan sisa uangnya.

Namun, Alea hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian menganggukkan kepalanya, berisyarat bahwa sisanya memang untuk gadis kecil tadi.

“Tapi, Ka …” ia tetap memaksa.

“Anggap saja, sisa uang itu karena kamu telah temani kaka, sampai toko ini.” Ia tersenyum dengan penuh ramah.

Gadis kecil berpayung itu pun, menyimpulnya dengan senyum. Tak lupa pula mengucapkan terimakasih.

Lalu ia pun berlalu, Alea memandang dari kejauhan. “Adik kecil itu, pandai sekali.” Seulas senyumnya mengambang. Kau tahu, aku mencintai hujan sejak saat itu kita berlari berpayungkan hujan. Sementara jaketmu kau biarkan basah, sekedar menutup kepalaku. Berbagi denganmu, sekejap dalam dekapan. Meski waktu itu, aku tak mengerti bahwa hadirmu pernah menyinggahi hati. Hingga saat ini, aku memilih pergi tersabab cinta yang mungkin terlambat. Bisiknya dalam lamunan melihat langkah kaki gadis berpayung tadi. Besitnya dalam bayangan Julio. “Ah, apasih ini?” ia mengumpat, namun hatinya menyambut dengan penuh kesan. Bagaimanapun aku pernah tanpa sadar mengharapmu, meski kini dengan sadar aku mengikhlaskanmu. Senyumnya kembali mengambang. Segera ia berlalu dan memilih masuk toko.

***

Dear,
Entah mengapa, aku merasa sejak pertemuan itu, kita menjadi asing. Mungkinkah benci setelah pertemuan itu, benar adanya? Ku harap tidak, Peu. Seulur rindu yang membalur subur, menyimpan rimbun yang tak lagi bisa dikubur. Tersungkur ku pada harap yang tak bisa ku bawa kabur, hanya karna ingin diakui bahwa kau telah singgah berdapur.


Rongga, mendongak luangkan nada. Dalam asa meminta jasa, pada diri yang tak kuasa dihimbun lara yang hampir bertahta. Rindu mendera kala kabar hampir terlupa, namun doa selalu tercipta. Semoga kau tetap terjaga, dalam takdir sang maha pencipta.

Dariku, untukmu. Wahai pemilik rindu.

Ia menutup penanya. Menyimpulkan selebaran kertasnya diatas buku. Ditaruhnya berdampingan dengan secangkir kopi. Aroma cappuccino mulai menyerbak penuhi indera penciumannya. “Ku harap, kau juga merasakan hal yang sama, Peu.”

Ia kembali mengambil suratnya, tak ada niat baginya untuk memberikannya langsung. Ia pun segera melipat kertasnya, dibuatnya menjadi perahu kertas. Dibawanya kertas itu pulang.

Ia bergegas tinggal toko, selepas hujan benar-benar telah reda. “Mengapa tangis harus ada? Kala rindu tercipta, Peu?” bicaranya pada hati. Ia pun berlalu membawa perahu kertasnya, dibuangnya kertas itu di sungai dekat rumahnya. Akan ku lerai segala yang terkusut. Semoga dengan ini, beban rinduku tak lagi menggebu hingga hadirkan bulir air mata yang sudah tersedu. Hatinya berbisik sembari melepas perahu kertasnya.

“Peu, aku rindu.”


#Day12
#30DWC
#OneDayOnePost

16 komentar:

  1. Ceritanya Keren, kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih ka isa :)
      Jgn lupa mampir di cerita alea sebelumnya :)

      Hapus
  2. Karena yg saya baca ini part 5, jdi saya bukain semua nyari part 1 mbk. Hehe... Penasaran awal kisah si Alea.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketemu mbak...
      Alea ketemuannya di stasiun..jadi ingat waktu muda dulu..hehe

      Hapus
    2. Dulu pernah punya kisah cinta di stasiun..hehe
      Pernah saya tulis di blog mbak...

      Hapus
    3. hihhi, ini pas kebetulan lho ya hahaha
      boleh kali japri link nya, mau tak intip hikshiks

      Hapus
  3. Baca kisah ininjadi penasaran sama part sebelumnya

    BalasHapus
  4. Halloo kak Rene. Senang bisa mampir di sini. Bagus tulisannya kak๐Ÿ˜„. Nanti aku mampir lagi yoo^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih ka uni ;)
      Sring" mampir yo, ditulisa ala kadarnya ini ๐Ÿ˜

      Hapus
  5. Balasan
    1. Trimakasih sudah mampir di gubug storyofrene :)

      Hapus
  6. Balasan
    1. Terimaksih pak bari, saya masih blajar dari bapa sama teman" yg sudah lbih jago.

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...