Senin, 15 Januari 2018

Dongeng Untuk Bobi

Hasil gambar untuk KARTUN ANJING
Sumber gambar: google.co.id/PSD

Dokter keluar dengan secarik kertas, memanggil Bunda Emmi juga Pak Wawan, suaminya. Dipanggilnya, dan diajaknya masuk kembali ke dalam ruangan. Dibacakannya isi kertas itu, kertas yang berisi hasil labolatorium anak bungsunya.

Detik demi detik, semakin menyudutkan rasa risau dalam hati keduanya. Khawatir, jua pilu melanda hati, merontak diri  lumpuhkan nyali. Bergetar tak terkendali, hilang bak dicuri.

Kini, hal itu benar-benar terjadi. Sesuatu telah terjadi, sesuatu telah menghujam diri. Saat dokter mengatakan, "anak bapak sama ibu, terkena penyakit kanker otak. Yang kini sudah menjalar luas pada tubuhnya."

'Boooooooom' seperti meriam yang jatuh tepat sasaran. Sesuatu yang ditakutkan itu kini benar-benar terjadi, tangisnya kini tak lagi mampu tuk terbendung, apalagi matanya yang tak sanggup memandang wajah sayu, pucat yang kini terbaring lemah diatas ranjang, dengan beberapa kabel tertempel ditubuhnya yang kecil.

***

"Bunda ..." panggil lemah Bobi diatas ranjangnya. "dokter bilang apa?" Tanyanya seperti menghujam, menggetarkan hati sang bunda.

"Kamu nggak apa-apa kok sayang, kamu banyak istirahat aja ya, biar cepet sembuh." Jawabnya menyembunyikan tangis.
Bobi hanya terdiam, ditatapnya wajah orangtuanya juga Bibo, sang kakak.
"Bunda ..." Panggilnya kembali.
Sang bunda menoleh dengan menyembunyikan sendunya. "Iya, sayang." Jawabnya tersenyum.
"Aku mau mati ya, Bunda?" Tanyanya dengan polos.
"Hussssst, ade gak boleh ngomong kaya gitu. Bentar lagi ade sehat, bentar lagi ade pulang. Emang Bobi, gak kangen sama kakak?" Jawab Bibo, berusaha menepis nyatanya.
"Bunda, Ayah ..." Sergah Bobi. "Kok kalian gak jawab pertanyaan Bobi?"

Sang bunda yang sedari tadi menahan tangis pun, tak kuasa untuk terus menahannya. Ia berlari keluar, meninggalkan Bobi yang sedari tadi bertanya seolah sedang menginterogasinya. Air matanya terjatuh dipipinya yang tirus, bendungan-bendungan binar yang menggembung, tumpah tak tinggalkan sisa. Diikutinya langkah oleh sang suami, yang berusaha menenangkan sang istri.

***

Awan seakan menghitam. Tak kuasa orangtua Bobi menerima kenyataan yang tengah melanda anak bungsunya. Tubuh Bobi semakin terlihat tak berdaya, seperti tak ada lagi tulang yang menyangga. Lengannya lemah, tak mampu lagi untuk menggenggam. Tulang-tulang leher semakin terlihat jelas, karena berat tubuhnya yang turun drastis. Namun, wajahnya masih simpulkan keriangan. Senyumnya tak pernah luntur, ia masih terlihat manis meski wajahnya memucat menguning.

"Kak Bibo, boleh aku meminta sesuatu?" Pintanya dengan nada suara yang sangat lemah
"Iya, tentu sayang," jawabnya tersenyum, "kamu mau apa?" Lanjutnya.
Kemudian ia menoleh kearah sang bunda, hatinya berisyarat. Sang bunda pun tersenyum dan mengangguk.

"Aku mau kakak dongengin aku." Pintanya sederhana dengan tetap menyulas senyum.
"Dongeng yang biasa bunda baca sebelum aku tidur." Jawabnya kemudian.
Ditatapnya sorot mata sang bunda, yang menyimpan kelemahan akan keadaan dirinya.
Bibo pun mengangguk, mengiyakan.

"Suatu hari, ada lima anak anjing yang sedang menunggu sang majikan." Bibo mulai bercerita sembari menatap mata adiknya yang terkapar lemah tak berdaya.
Sementara tangan Bobi, menggenggam erat jemari sang Bunda seakan tak ingin terlepas.
"Anjing-anjing itu menunggu kehadiran ..." Suaranya terhenti, ia menatap mata Bobi yang dilihatnya seperti hanya tatapan kosong.
Bobi hanya mengedipkan matanya pelan  seolah berisyarat, "aku baik, Kak. Lanjutkan."
Bibo pun kembali mengarahkan matanya kepada sang bunda dan ayah. Lalu melanjutkan dongengnya.

"Menunggu kehadiran majikan yang membawa ..." 
Tiba-tiba genggaman tangannya terlepas, "Bobi, Bobi ..." potong sang bunda dengan nada suara yang kaget, tangisnya meyeruak bersama teriaknya.
"Bobi ....." tangisnya buncah.
Bibo pun terhenti, dipeluknya adik satu-satunya.

Sementara sang ayah, memanggil-manggil dokter. Beberapa menit kemudian dokter datang, memeriksa kondisi Bobi. Numun, takdir berkata lain. Bobi telah tiada, kini ia benar-benar tak lagi merasakan sakit dan nyerinya. Dongeng liima anjing, sebagai pengantar tidurnya menuju keabadian.

Selesai.


#Days5
#30DWC
#OneDayOnePost

7 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...