Dalam secerca harap bernama kisah, ia menitah seakan mengeja. Pada buaian waktu yang berbisik lirih, menjelma simfoni yang menyentuh hati. Rona pipinya memerah, namun matanya tersampul lemah.
Ia tak bersuara, meski mulut teriak menuntut cerita. "Bisakah sua tanpa perlu meminta?" Seakan menggema, bak gong dalam gua. Ia menjerit, sisakan derai air mata. Yang kini terbiarkan mengalir tanpa cela.
Tetesnya tak pernah berujung, hanya menyisakan sesak yang kini melukai hati. Jemarinya menari di atas meja yang sepi, seakan ketukannya meminta arti. Tapi hanya hening, seorang diri menepis sunyi. Oh Duhai ....
Bisakah rasa, tak pernah menggebu, sama seperti sebelumnya. Kala hadirnya tanpa pernah diminta. Lalu mengapa perginya, menyisakan bekas yang tak dapat dimengerti artinya. Bisakah hanya biasa saja, tanpa cela kecewa yang mengendap sesakkan dada.
Sebuah asa kini benar-benar mati, meninggalkan memori pada palung hati. Bisakah ia merasakan, bahwa jeritan itu terus mengiang di daun telinganya. Matanya sendu berpura-pura bahagia, seakan menyusun rencana yang sungguh paripurna.
Haruskah berakhir sebuah penantian, setelah lara meringis sendu untuk kesekian. Pilu, menyayat sendu pada kidung kebekuan. Sampai kapan harus tangisi rindu yang tak berbalas?
#ProsaLiris
Jangan melihat kebelakang untuk mencaci kenangan. Berjalanlah dan lakukan yang terbaik saat ini.
Kamis, 31 Mei 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
One More
“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...
-
Mengambil Latar belakang Isu HIV/AIDS, Dengan Hati bercerita tentang Persahabatan singkat Mila dan Santi yang melewati berbagai masalah ...
-
Hari ini tepat 27 oktober, 100 harian kepergian bapak. Dalam istilah jawa disebut dengan nyatus. Nyatus merupakan sebuah tradisi yang di a...
-
Jingga berwarna pada cakrawala senja menyapa, kala lara pada duka tak bertapa. Semenjak kehadiran datang menyamai tahta pada bahtera de...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar