Sabtu, 05 Mei 2018

Resensi Film vs Novel : Negeri 5 Menara

Hasil gambar untuk negeri 5 menara

Sumber Gambar : Gramedia.com

“MAN JADDA WA JADDA, siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil.”

Tagline yang tak asing lagi didengar, baik secara arti maupun harfiah. Sepotong kalimat yang akhirnya menjadi booming bersamaan tenarnya baik dalam film ataupun buku berjudul Negeri 5 Menara.

Sebuah buku dari trilogy Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, pria kelahiran Danau Maninjau, yang tak jauh dari kampung Buya Hamka.

Judul                           : Negeri 5 menara
Pengarang                   : Ahmad Fuadi
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit                 : Tahun 2009
Jumlah halaman           : XII + 423 halaman

Sebuah Novel fiksi yang dibalut begitu epic dan religi. Perjalanan 6 orang sahabat yang berbeda pemikiran, mimpi juga daerah, yang diketemukan dalam sebuah tempat bernama Pondok Madani. 6 orang yang kemudian disebut sebagai Shohibul Menara. Karena kegemarannya duduk di bawah menara Pondok Madani.

Keenam tokoh tersebut adalah Alif Fikri yang berasal dari Padang, Atang yang berasal dari Bandung, Raja dari Medan, Dulmajid yang berasal dari daerah Sumenep, Said dari kota Mojokerto, dan terakhir Baso yang berasal dari sebuah daerah di Sulawesi Selatan bernama Gowa.

Di awali cerita tentang Alif Fikri sebagai tokoh utama yang telah berhasil menjadi wartawan di Washington DC. Cerita berawal ketika ia mendapatkan pesan dari teman lamanya yang bernama Atang yang telah menjadi orang sukses di Kairo. Ketika mendapatkan pesan tersebut, Alif teringat akan masa lalunya di Maninjau dan Pesantren Madani bersama teman temannya.

Pada bab berikutnya menceritakan bagaimana Alif yang tidak berani menolak permintaan ibunya walaupun hatinya meronta mahu menyertai bidang impiannya bersama sahabatnya, Randai, untuk masuk sekolah SMA.
Dalam setiap bab pada novel ini, seperti membaca satu episode. Sebab peristiwa yang terperinci juga diskripsi yang tajam. Sebuah novel yang mengangkat isu pendidikan, memberi wawasan terhadap penilaian pesantren yang orang bilang bahwa orang keluaran pondok hanya akan menjadi pemuka agama. Dalam novel ini, justru adalah pembantahan daripada itu.

Sebuah novel sederhana yang jujur, sebab mengangkat institusi sekolah agama ke kancah yang lebih tinggi, maka wajar apabila novel ini mendapatkan penghargaan Nominasi Khatulistiwa Award 2010 dan Penulis Buku Fiksi Terfavorit 2010 versi Anugerah Pembaca Indonesia. Buku ini pun tercetakk sebanyak 170000 eksemplar hanya dalam kurun waktu 2 pekan.

Dari buku ini, kita akan dibawa pada suasana pondok dalam segala aktifitas yang tentu bukan berkesan pada fisikal tetapi pada hati. Sebuah perjalanan tentang sebuah keikhlasan baik belajar maupun mengajar. Sangat memberi aura positif juga membuka mindset, baik dari segi film ataupun buku. Pada sisi buku, kita akan di ajak pada gaya kepenulisan sang penulis dengan bahasa daerahnya.


This is recommended for you!

2 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...