Seperti
kuterbangun pada mimpi panjang yang begitu indah, lalu kembali tidur berharap kan terulang kembali. Tapi
ternyata tidak. Mimpi bukanlah episode yang bersambung, tapi selesai dalam
sekali tak terulang. Jikapun menyambung, kupastikan hanya terbawa perasaan dari
bunga tidur.
***
Dahulu ….
Aku dapat menceritakan kepadamu tentang hari-hari yang kulalui, tapi hari ini
ku ceritakan semuanya pada setiap kanvas putih dengan pena yang kau beri. Kau
tau, aku kini tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri, meskipun begitu aku
tetap menjadi cengeng kala mengingatmu.
Tahukah
wahai? Aku rindu pundak untuk berbagi, rindu tangan untuk menyeka air mata. Aku
masih rindu dengan mentari menyambut pagi bersamamu. Semua orang memang
bersamaku, tapi hatiku tak bersamanya. Kala luka mulai menggores dan tinggalkan
bekas, kau selalu kuatkan aku dengan “Sabar
ya Sayaang ….” Kau beri satu janji yang kuyakini hingga saat ini, “Orang yang Sabar akan bersama dengan yang
terbaik, tetaplah dengan hati”. Aku tak mengerti itu, tapi kuyakini hingga
saait ini.
Pernah
suatu ketika, aku berada disebuah sidang kecil atas fitnah yang ditodongkan
terhadapku. Aku tertodong, aku seperti dijebak , aku seorang diri membela nama
baikku, padahal disana ada orang yang memberitahu kepadaku tentang
kebenarannya. Ia hanya terdiam, tak ada pembelaan untukku yang akhirnya
menuturku berada dilingkup sidang itu. Sejak saat itu aku benci dia, tak peduli
siapa Ia dalam status keluargaku.
Karna hal
itu, fikiran dan hatiku kembali kacau. Benci, dendam semakin menjadi hingga masalah
itu membuatku sakit berkepanjangan dan dokter mengatakan memvoblnis diriku
mengidap sakit kanker paru-paru stadium lanjut. Seketika itu, semua seperti
mimpi. Awan menghitam, langit bak menutupi bumi, hari-hariku bagai mati seakan
semua hampir berakhir. Aku menghabiskan waktu untuk menangis dalam beberapa
hari, untuk menguatkan diri. Meski pada
akhirnya kuberdiri sendiri dengan harapan bahwa keajaiban itu ada.
Bunda ….
Bunda selalu khawatir, tatkala dengar lirih suaraku. Bahkan aku sendiri tak
mampu untuk berbicara dengannya tersabab
sakit dan kenyataan itu benar adanya. Ayah …. Ayah yang pura-pura tangguh untuk
mensupport diriku, ku tau itu. Tiap hari, sesak semakin menjadi, darah demi
darah selalu keluar tak pasti. Tidak hanya sekedar liur yang berdarah, acap kali jarum suntik itu
melukai lenganku setiap itu juga darah tak pernah berhenti untuk keluar. Aku mulai
lemah, tak ada mimpi panjang seakan aku tak lagi mendapatkan kesempatan tuk hidup. Aku berada dalam kidung
kebekuan.
Saat
nafas semakin terasa sesak akan perlakuan hidup untukku, saat saudara tak mampu
lagi kupegang amanahnya, dan saat semua semakin terasa sedu. Kau adalah alasan
dibalikku tetap bertahan.
Ayah ….
Jika memintamu kembali adalah kebenaran yang nyata, aku ingin kita bersua
kembali. Peluk hangat diri ini, hapuskan rasa dendam dan benci yang mulai
mencederai hati. Biar Bunda dapat terjaga dengan tangan kecilku. Bunda …. Maaf
tak pernah mengerti akan arti harunya doamu, bantu ku menghentikan tangis akan dua kenyataan yang kini kuterima.
Kenyataan akan vonis dokter, dan kehilangan Ayah dalam waktu bersamaan.
Aku menghibur
diri dengan alasan “Aku kan baik-baik
saja” Tapi celakanya, aku tak
mampu lalui itu sendiri, aku terluka dipecundangi dunia. Aku rindu kala menanti
senja pada terik matahari, berbagi
cerita tentangnya yang kukagumi. Kau selalu pandai untuk merayuku, dan aku
selalu saja tersipu dan kau selalu mengatakan: “Untuk seorang wanita dewasa, memiliki perasaan cinta terhadap lawan
jenis itu hal yang lumrah” Seketika pipiku memerah menahan malu. Iyah,
hanya bagian dari meyakini hati tuk menata hati kembali.
Waktu
demi waktu, hari demi hari bahkan tahun demi tahun ku lewati bersamamu tanpa terkecuali. Kau begitu
sempurna, seperi rembulan malam ini yang begitu indah. Aku tidak ingin
mengatakan bahwa kau telah tiada, sebab untukku kau masih disini bersama cinta yang kau tanam dihati, bersama
kasih sayang yang membekas pada diri.
Meski langkahku
terseok, kumulai bangkitkan diri mengatakan “Aku
harus bisa, aku harus jaga Bunda. Ini janjiku untuk Ayah”. Langkahku kini
takkan berhenti, hingga Tuhan mengatakan “Waktunya
kamu pulang …”
*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan II, ODOP Batch 4
*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan II, ODOP Batch 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar