Aku
termangu, hampir tak bergeming. Di sisi sebelah bola mata kananku nampak
seseorang berdiri. Tak menoleh, dingin, senyap, hanya semilir angin dan
hembusannya menyapa tubuh ini. Aku pun diam tak bersuara, tak sedikit pun
menggubris.
Beberapa
waktu kemudian, aku pergi ke toilet. Lampu tetiba redup dan mati, “Mah, mati
listrik, ya?” teriakku dari dapur dekat toilet. Namun, aku tetap meneruskan
masuk ke kamar mandi dalam keadaan gelap.
Seperti
helaan napas panjang, menyisir leherku. Aku masih berfikir positif itu hanya
cuaca, sebab diluar memang sedang hujan. Akhirnya keluar, segera menelusuri
lorong rumah yang gelap, sedikit cahaya terang di ruang tamu menyilau ke
arahku. Sentuhan jemari pada bahuku mengangetkanku yang tengah merangkak jalan
dalam kegelapan.
Saat
kumenoleh arah belakang, nihil. Hanya gelap, aku lalu berlari. “Mah, si Aa
barusan kebelakang, ya?”
Mamah tersenyum, ekspresi wajahnya datar, tak
menimbulkan kecurigaan sedang menjahiliku. “Aa kan sejak ba`da isya tadi udah
tidur, Neng.” Mama menjelaskan.
Aku
terdiam, tak memberitahu siapa yang menyentuh bahuku dalam gelap itu. Sementara
di rumah, hanya ada Mamah, si Aa, si Teteh sama Aku, dan teteh sedang membaca
baku di dekat lilin yang dinyalakan mamah.
***
Suatu
hari Kamis malam Jum`at kala itu.
Aku
pergi ngampus. Jarak kostan dan kampusku sekitar 15 km. dengan kondisi yang
sangat lelah, aku tetap masuk kuliah malam, motor kuparkirkan di lantai 3.
Aktifitas ngampus berjalan seperti
biasa, hanya sedikit lelah dan berat dibahu kananku, sedikit pandangan buram
terhalang sesuatu yang kutak tahu itu apa.
Setelah selesai, aku memilih untuk
segera berlalu seperti biasanya. Namun, saat ku menyusuri setiap ruang di
lantai 4 dari lorong kampusku itu, tetiba semilir angin dan bebauan seperti
bunga menyerbak indera penciumanku, juga perabaku.
Dinginnya membuat ku kelu, suara
ketukan langkah terdengar mengikutiku pelan dari arah belakang, semakin pelan,
namun aku dapat merasakan bahwa seseorang berada dibelakangku. Aku acuh, toh
ini kampus, bisa saja ada mahasiswa lain yang memang searah denganku.
Aku menuruni anak tangga, suara kaki
terhentak setiap anak tangga itu terdengar nyaring ditelingaku, ku melirik dengan
bola mata kiriku ke arah jendela kaca besar yang tepat berada di sisi kiri
tangga.
Astaga, aku tersontak, kakiku
menjadi gemetar, keringat dingin meluncur dari dahiku dengan derasnya. Seorang
wanita paruh bayu, bajunya compang-camping, rambut putih berubannya dibiarkan
berderai begitu saja, jalannya membungkuk.
Aku masih terus berjalan, kudapati
seseorang lelaki muda berdiri sedikit mematung di dekat pintu toilet. Hingga
akhirnya aku memilih mempercepat laju jalanku, pintu keluar menuju tempat
parkir sudah dapat kulihat. Tapi tunggu, bayangan itu menyeringai tajam di kaca
pintu.
Menangis, air matanya merah, iya
merah, itu darah. Dan kudapati wanita paruh baya itu hilang, bersama lelaki
yang mematung, yang kusadari dia berwajah datar.
***
Kepalaku
tenang sejenak.
“Mungkin
hanya kurang tidur saja.” Gumamku selepas kupergi dari lantai parkir gedung
kampus itu.
Sepanjang
jala provinsi yang kulewati, badankku mulai terasa berat, mataku ngantuk tak
kuat. Malam itu jalanan agak sepi, “Rik ….” Teriak seseorang dibelakang, aku
menoleh ke arah kedua spionku secara bergantian, dan mulai mengurangi kecepatan.
Namun,
ketika kumenoleh, tak kudapati seseorang yang memanggilku. Kembali kulanjutkan
laju motorku kencang, kali ini suara itu terdengar kembali, suara amat kencang,
“Rik ….” Lalu kemudian aku memilih berhenti, untuk sekedar menolehnya atau
menunggu, tepat di depan Rumah Sakit Vitalaya.
Setelah
beberapa waktu menunggu, aku menyadari sesuatu yang ganjal telah terjadi, kali ketiga dan kali keempat,
suara itu terus bergema bermain di sisi telingaku. Sesekali suara rintihan,
sesekali yang lain suara teriakan, terkadang bahakan tawa menyeringai kencang
di telinga.
Badanku
mulai panas, air mataku deras jatuh dipipi membasahi masker yang kukenakan,
suara itu tak bisa kuenyahkan dengan
doa. Aku terus berdoa dalam tangisku, berharap suara teriakan, rintihan yang
kudengar tak terus mengikutiku. Meski secara perlahan berhasil, namun tubuhku
yangmenangkap sinyal kelemahan meminta haqnya untuk segera istirahat.
***
Setibanya
di rumah.
Kurebahkan badanku diranjang tidur
yang bersprei merah muda. Rasanya semua nyali yang kupunya telah runtuh, aku
masih menangis. Suara ditelingaku masih bergema membuat panas.
Aku memilih meruqyah diriku, selepas penat dan minum dari doa-doa yang kubuat
dalam minuman madu hangatku. Sesekali sedikit tenang, setidaknya dapat tertidur.
Ketika kumulai terlelap dalam
pejaman mata, sesuatu bergeretak dibawah ranjangku, “mungkin, sebentar lagi
ranjangnya akan runtuh.” Aku berdeham.
Namun semakin lama, dibiarkan
ranjangkku tak berhenti bergetar, malah justru semakin kencang. Lalu aku berinisiatif
menengok kolong ranjangku, hatiku berdegup, mencoba mengatur napas, namun
nihil.
Sedikit tenang, lalu kemudian aku
memilih melanjutkan tidurku, dan mematikan lampu kamar tidur yang terang itu.
Suara secarik kertas dirobek,
terdengar di ujung kaki ku, sesekali suara bukaan lembar dalam buku, masih
setengah sadar aku melirik. Tak ada yang memainkan buku-bukuku, namun saat
kukembali melanjutkan tidurku, suara sobekan kertas itu terdengar semakin
jelas.
Saat kukembali melihat, astaga, itu
kosong, namun seauatu menyentuh kakiku, iya kakiku. Ia memberi alarm langsung
tepat pada jantungku, semakin kencang, semakin tak terkendali, aku menggigil di
atas ranjang kamar tidur.
Aku menarik selimut, hendak
menguburkan kepalaku didalamnya, kakiku sudah bersiap meringkuk, tapi tidak,
kurasa sepasang tangan menyentuh pergelangan kaki. Aku menendang kaki itu, dan
… bruuuuug. Kurasa sesuatu terjatuh,
dan aku benar-benar merasakan sesuatu yang kutendang itu berwujud, tapi siapa?
Bahkan rumah itu pun hanya ada aku seorang.
***
Keesokan
paginya.
Saat aku dapat terbangun dari tidur,
kudapati kamarku berantakan dengan sobekan kertas dimana-mana. Kutarik secarik
kertas didekatnya, setelah kemudian ekor mataku mendapati wanita remaja
sepertiku tengah duduk didepan kursi tatarias sambil menyisir halus rambutnya
yang panjang. Kubuka kertas itu bertulis,
_______________________
Untuk
memenuhi tugas tantangan RCO #3 tentang tokoh yang menarik hati dari buku yang
dibaca. Aku memilih dari buku Nightmare
Side, pilih yang tidak kebanyakan orang pilih, dan bisa disimpulkan siapa yang
kutulis, bukan?
Ini based story dari ceritaku. Big thanks
buat Kak Alfian Batch 4, yang udah ngasih lengkap buku Nightmare Side sampai
seri 3 ini. Sekarang saat kutulis ini, asap rokok mengepul di seberang meja
kerjaku, ruangan 3 x 8 meter yang kutempati seorang diri ini mengeluarkan suara
bising. Lalu dibalik kepulan itu, tersenyum menyeringai dengan rahang yang
sangat lebar.
#OneDayOnePost
#TantanganRCO3
#Fiksi
#NightmareSide
Jagoan mah nggk takut baca ginian 😎
BalasHapusjagoan kabuur kali wkwk
HapusHaduh... Mana di sini mati lampu.. Hujan pula... And im alone!😂
BalasHapussabar kalia, gak takut bobo cendili, kan? hahaha
HapusHuah... horor banget :D
BalasHapus