Kamis, 19 April 2018

Secarik Kertas

Aku termangu, hampir tak bergeming. Di sisi sebelah bola mata kananku nampak seseorang berdiri. Tak menoleh, dingin, senyap, hanya semilir angin dan hembusannya menyapa tubuh ini. Aku pun diam tak bersuara, tak sedikit pun menggubris.

Beberapa waktu kemudian, aku pergi ke toilet. Lampu tetiba redup dan mati, “Mah, mati listrik, ya?” teriakku dari dapur dekat toilet. Namun, aku tetap meneruskan masuk ke kamar mandi dalam keadaan gelap.

Seperti helaan napas panjang, menyisir leherku. Aku masih berfikir positif itu hanya cuaca, sebab diluar memang sedang hujan. Akhirnya keluar, segera menelusuri lorong rumah yang gelap, sedikit cahaya terang di ruang tamu menyilau ke arahku. Sentuhan jemari pada bahuku mengangetkanku yang tengah merangkak jalan dalam kegelapan.

Saat kumenoleh arah belakang, nihil. Hanya gelap, aku lalu berlari. “Mah, si Aa barusan kebelakang, ya?”

Mamah  tersenyum, ekspresi wajahnya datar, tak menimbulkan kecurigaan sedang menjahiliku. “Aa kan sejak ba`da isya tadi udah tidur, Neng.” Mama menjelaskan.

Aku terdiam, tak memberitahu siapa yang menyentuh bahuku dalam gelap itu. Sementara di rumah, hanya ada Mamah, si Aa, si Teteh sama Aku, dan teteh sedang membaca baku di dekat lilin yang dinyalakan mamah.
***
Suatu hari Kamis malam Jum`at kala itu.

Aku pergi ngampus. Jarak kostan dan kampusku sekitar 15 km. dengan kondisi yang sangat lelah, aku tetap masuk kuliah malam, motor kuparkirkan di lantai 3.

            Aktifitas ngampus berjalan seperti biasa, hanya sedikit lelah dan berat dibahu kananku, sedikit pandangan buram terhalang sesuatu yang kutak tahu itu apa.

            Setelah selesai, aku memilih untuk segera berlalu seperti biasanya. Namun, saat ku menyusuri setiap ruang di lantai 4 dari lorong kampusku itu, tetiba semilir angin dan bebauan seperti bunga menyerbak indera penciumanku, juga perabaku.

            Dinginnya membuat ku kelu, suara ketukan langkah terdengar mengikutiku pelan dari arah belakang, semakin pelan, namun aku dapat merasakan bahwa seseorang berada dibelakangku. Aku acuh, toh ini kampus, bisa saja ada mahasiswa lain yang memang searah denganku.

            Aku menuruni anak tangga, suara kaki terhentak setiap anak tangga itu terdengar nyaring ditelingaku, ku melirik dengan bola mata kiriku ke arah jendela kaca besar yang tepat berada di sisi kiri tangga.

            Astaga, aku tersontak, kakiku menjadi gemetar, keringat dingin meluncur dari dahiku dengan derasnya. Seorang wanita paruh bayu, bajunya compang-camping, rambut putih berubannya dibiarkan berderai begitu saja, jalannya membungkuk.

            Aku masih terus berjalan, kudapati seseorang lelaki muda berdiri sedikit mematung di dekat pintu toilet. Hingga akhirnya aku memilih mempercepat laju jalanku, pintu keluar menuju tempat parkir sudah dapat kulihat. Tapi tunggu, bayangan itu menyeringai tajam di kaca pintu.

            Menangis, air matanya merah, iya merah, itu darah. Dan kudapati wanita paruh baya itu hilang, bersama lelaki yang mematung, yang kusadari dia berwajah datar.
***
Kepalaku tenang sejenak.

“Mungkin hanya kurang tidur saja.” Gumamku selepas kupergi dari lantai parkir gedung kampus itu.

Sepanjang jala provinsi yang kulewati, badankku mulai terasa berat, mataku ngantuk tak kuat. Malam itu jalanan agak sepi, “Rik ….” Teriak seseorang dibelakang, aku menoleh ke arah kedua spionku secara bergantian, dan mulai mengurangi kecepatan.

Namun, ketika kumenoleh, tak kudapati seseorang yang memanggilku. Kembali kulanjutkan laju motorku kencang, kali ini suara itu terdengar kembali, suara amat kencang, “Rik ….” Lalu kemudian aku memilih berhenti, untuk sekedar menolehnya atau menunggu, tepat di depan Rumah Sakit Vitalaya.

Setelah beberapa waktu menunggu, aku menyadari sesuatu yang ganjal  telah terjadi, kali ketiga dan kali keempat, suara itu terus bergema bermain di sisi telingaku. Sesekali suara rintihan, sesekali yang lain suara teriakan, terkadang bahakan tawa menyeringai kencang di telinga.

Badanku mulai panas, air mataku deras jatuh dipipi membasahi masker yang kukenakan, suara itu tak  bisa kuenyahkan dengan doa. Aku terus berdoa dalam tangisku, berharap suara teriakan, rintihan yang kudengar tak terus mengikutiku. Meski secara perlahan berhasil, namun tubuhku yangmenangkap sinyal kelemahan meminta haqnya untuk segera istirahat.
***
Setibanya di rumah.

            Kurebahkan badanku diranjang tidur yang bersprei merah muda. Rasanya semua nyali yang kupunya telah runtuh, aku masih menangis. Suara ditelingaku masih bergema membuat panas.

            Aku memilih meruqyah diriku, selepas penat dan minum dari doa-doa yang kubuat dalam minuman madu hangatku. Sesekali sedikit tenang, setidaknya dapat tertidur.

            Ketika kumulai terlelap dalam pejaman mata, sesuatu bergeretak dibawah ranjangku, “mungkin, sebentar lagi ranjangnya akan runtuh.” Aku berdeham.

            Namun semakin lama, dibiarkan ranjangkku tak berhenti bergetar, malah justru semakin kencang. Lalu aku berinisiatif menengok kolong ranjangku, hatiku berdegup, mencoba mengatur napas, namun nihil.

            Sedikit tenang, lalu kemudian aku memilih melanjutkan tidurku, dan mematikan lampu kamar tidur yang terang itu.

            Suara secarik kertas dirobek, terdengar di ujung kaki ku, sesekali suara bukaan lembar dalam buku, masih setengah sadar aku melirik. Tak ada yang memainkan buku-bukuku, namun saat kukembali melanjutkan tidurku, suara sobekan kertas itu terdengar semakin jelas.

            Saat kukembali melihat, astaga, itu kosong, namun seauatu menyentuh kakiku, iya kakiku. Ia memberi alarm langsung tepat pada jantungku, semakin kencang, semakin tak terkendali, aku menggigil di atas ranjang kamar tidur.

            Aku menarik selimut, hendak menguburkan kepalaku didalamnya, kakiku sudah bersiap meringkuk, tapi tidak, kurasa sepasang tangan menyentuh pergelangan kaki. Aku menendang kaki itu, dan … bruuuuug. Kurasa sesuatu terjatuh, dan aku benar-benar merasakan sesuatu yang kutendang itu berwujud, tapi siapa? Bahkan rumah itu pun hanya ada aku seorang.
***
Keesokan paginya.

            Saat aku dapat terbangun dari tidur, kudapati kamarku berantakan dengan sobekan kertas dimana-mana. Kutarik secarik kertas didekatnya, setelah kemudian ekor mataku mendapati wanita remaja sepertiku tengah duduk didepan kursi tatarias sambil menyisir halus rambutnya yang panjang. Kubuka kertas itu bertulis,

“Hai”


_______________________
Untuk memenuhi tugas tantangan RCO #3 tentang tokoh yang menarik hati dari buku yang dibaca. Aku memilih dari  buku Nightmare Side, pilih yang tidak kebanyakan orang pilih, dan bisa disimpulkan siapa yang kutulis, bukan?

Ini based story dari ceritaku. Big thanks buat Kak Alfian Batch 4, yang udah ngasih lengkap buku Nightmare Side sampai seri 3 ini. Sekarang saat kutulis ini, asap rokok mengepul di seberang meja kerjaku, ruangan 3 x 8 meter yang kutempati seorang diri ini mengeluarkan suara bising. Lalu dibalik kepulan itu, tersenyum menyeringai dengan rahang yang sangat lebar.

#OneDayOnePost
#TantanganRCO3
#Fiksi
#NightmareSide


5 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...