![Gambar terkait](https://i0.wp.com/ngaco.id/wp-content/uploads/2017/04/Gambar-Orang-Lagi-Sedih-Termasuk-Muka-Wajah-Mata-Wanita-dan-ekspresi-12.jpg?fit=800%2C500&ssl=1)
sumber foto: ngaco.ID
Saat telah sampai pada stasiun
akhir untuk transit, ia kembali terengah langkah. Meski pada akhirnya, harus
menunggu. Ia menoleh jam tangannya, bersisikan tiga puluh menit.
Tiga
puluh menit pun berlalu, ia dengan segera mencari tempat janjian yang sudah diberitahu
sahabatnya. Ia pun terus melangkah, lalu kemudian melihat lelaki itu dan
menghampirinya.
“Kak
Handy?” tegurnya
Handy
pun menoleh ke arah suara, nan kaget. “Lusi?” tanyanya penuh kebingungan.
Lusi
pun menatap mata Diana, seolah menjelaskan untuk meninggalkan keduanya.
“Oya
kak, aku duluan ya.” Pamit Diana kepada lelaki itu.
Handy
pun semakin bingung, mengapa ia dibiarkan berdua dengan Lusi. Sementara dirinya
hanya mengajak Diana. “Ana?” panggilnya.
Sementara
Ana berlalu tanpa menoleh.
Lusi
pun mengajaknya berlari pelan, dengan sesekali ngobrol dan bercanda. Handy pun
hanya mengikutinya, tak banyak kata sebab ia masih dibuat bingung dengan sikap
Ana yang akhir-akhir ini justru seperti menjauh darinya acap kali keduanya
mulai untuk bersama.
Dari
kejauhan Ana hanya memandang kebersamaan keduanya. Meski ia sedikit terluka,
harus menggadaikan cintanya demi persahabatan mereka.
Rini
pun menatapnya, “Mau sampai kapan kamu begini?”
Gadis
itu menoleh kaget.
“Aku
tahu, tanpa kamu beritahu pun” jelasnya “Abang ku selalu bilang, kamu selalu
menghindar acap kali kalian harus bersama.” Lanjutnya.
Ia
tersenyum menyimpulkan, “Ah itu perasaan aja.” Hatinya mulai kelu.
“Yah,
sekarang aku tahu alasannya,” memalingkan pandangannya kearah Handy. “Kamu suka
kan sama bang Handy?” tanyanya. “tapi kamu justru mengalah untuk sahabatmu.”
Ana
pun termangu, menyadari bahwa apa yang dikatakan Rini adalah kebenaran hatinya.
Sehingga ia pun tak mampu lagi tuk mengelak mengatakan tidak.
“Diana
… Aku tahu apa yang kamu rasakan, aku juga tahu pengorbanan kamu. Tapi ini soal
hati,” jelasnya memberi pemahaman. “kamu gak bisa terus memaksa diri, Lusiana
perlu tahu perasaan kamu sebenernya. Kamu pun berhak untuk itu.”
“Rin
… sebelumnya terimakasih sudah ngertiin posisi aku. Tapi bagiku, tetap menjaga
persahabatan dengannya adalah pilihan terbaik. Soal hatiku merasakan sakit,
biar hanya menjadi ceritaku sendiri saja. Karna jika aku tak peduli, aku hanya
mencintai keegoisanku saja sedangkan aku tahu, bahwa Lusi lebih mencintai Kak
Handy.” Jawabnya dengan dewasa, memandang kearah Handy.
Rini
pun merangkulnya memberi segala kasih sayangnya. “Ana, kamu sangat dewasa.
Bagaimana tidak abangku tak mencintaimu dengan tulusnya.” Mengelus punggungnya.
“Tapi Ana, kamu juga tahu bahwa abangku mencintaimu.” Ia memperjelas dengan
menegaskan bahwa abnngnya maenicntainya. “Apakah abangku tahu, kalo selama ini
kamu menghindar karena alasan ini?” tanyanya.
Ia
hanya menggelengkan kepalanya. “Aku pun lelah, terus berpura-pura seperti ini
Rin. Jika ada pilihan lain, aku mungkin memilih pilihan itu.”
“Ah
Ana … aku tidak bisa menjadi seperti dirimu.” Menghapus binar dimata Ana.
***
Keesokan harinya, Handy kembali
mengajak Diana disebuah tempat makan ternama di ibu kota, tentu dengan
perjanjian tanpa mengajak Lusiana untuk meminta penjelasan tentang kejadian
kemarin di car free day. Sementara
Rini pun tetap ikut, hanya saja ia memilih menyendiri di meja makannya sendiri,
sesekali ia mengingat tentang Ian. Meskipun kini, hatinya tak lagi berharap tentang
lelaki itu.
“Ana
… aku mau Tanya.” Lelaki itu memulai obrolannya.
“Iya
kak, tanya apa?”
“Maksud
kamu apa kemarin, ninggalin aku sama Lusi? Bukannya kamu tahu, kalo aku Cuma
ngajak kamu sama Rini aja?” ia terus melempar pertanyaan yang menyudutkan.
Ia
pun hanya terdiam, termangu. Lidahnya kembali kelu, menerima pertanyaan yang
sama. Ia menunduk.
“Kenapa
diem, An.”
“Tak
apa Kak” ia mengelak.
“Jangan
bohong Ana, aku tahu yang sebenernya. Rini sudah bilang.” Jelasnya.
Diana
pun menoleh ke belakang, ke arah Rini.
Rini
hanya tersenyum, dan menatapnya lembut dengan mengedipkan matanya.
“Kenapa
kamu ngorbanin diri kamu sendiri?”
“Dia
sahabatku, dan aku …”
Tiba-tiba
Lusi sudah berdiri di belakang Handy, dengan wajah kecewa dan marah. “Jadi
gini, lu dibelakang gue selama ini?” ia menyentak.
Keduanya
pun terkejut.
Diana
berdiri. “Aku bisa jelasin ini, Lus.”
“Munafik
lu! Sahabat macam apa kaya gitu?” amarahnya semakin tak terkendali, ia pun
meninggalkan tempat itu bersama tangis.
“Lus
… Lusiana ….” Teriak Diana berusaha mengejar. “Apa yang kamu, gak seperti yang
kamu fikirkan.”
Rini
pun terkejut dangan kehadiran Lusiana, ia dengan segera mengejar Diana.
Sementara Handy, masih termangu diam dalam duduknya. Ia menyangga kepalanya
dengan tangan, keningnya mulai berkerut.
“Ana
… Diana!” teriak Rini mengejar dan menarik tangannya untuk berhenti mengejar. “Sudah biarkan dulu,
Di. Karena alasan apapun kamu ngejelasin sekarang, dia pasti nggak ngerti. Saat
seseorang emosi, fikirannya pun pasti ngikuti. Tunggu waktu yang tepat untuk
ngejelasin semuanya yah?” ia memeluk tubuh gadis itu erat.
Sementara
Lusi, ia terus berlari pergi kembali ke rumahnya. Ia masuk tanpa salam, dengan
menutup pintu yang ia hentak yang mengagetkan Mamahnya dan mengangggung tidur
adiknya. Ia dengan segera meninggalkan mamahnya tanpa permisi dan masuk ke
kamarnya dengan tangis yang tak lagi mampu ditahan.
Mamahnya
pun terkejut dengan tingkah anaknya, yang tak seperti biasanya. Datang tanpa
salam juga yang tiba-tiba nangis. “Sayang … kamu kenapa, nak?” teriak sang
ibunda diluar kamar yang sedari tadi mengikutinya.
Sementara
ia hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan sang ibunda. Namun, suara tangisnya
semakin keras.
*bersambung
Ditunggu lanjutannya..dah dig dug
BalasHapusHehe siap mba, udah nulis tinggal sent aja hehe
HapusWoahh keren...
BalasHapusDemi sahabat ya, tikung aja sih gak apa2 wkwkwkkwk
Jangan menikung dijalan yg lurus mas hehe
BalasHapus