![Gambar terkait](https://pbs.twimg.com/media/C7YBWP9VoAAu3J6.jpg)
sumber foto: Twitter.com
Tanpa
mengubah nama. “Ana, kau tahu aku. Aku begitu menyayangimu.” Lelaki itu pun
memulainya dengan berdialog.
Sementara sang nawacerita bercerita,
bahwa hal itu pun berat bagi Ana.
“Aku tahu, Mas. Tapi hubungan kita tak
direstui orangtuaku.” Jawabnya dengan nada lirih.
Sang nawacerita pun berkata, bahwa orang
tuanya mendengar percakapan mereka. Dan segera memarahi lelaki itu.
“Hei kamu anak muda.” Jawab ayah Ana,
yang diperankan teman setim lainnya. “Kamu punya apa untuk mencintai anak
saya?”
“Aku punya cinta, Ayah”
“Ayah?” jawabnya geram. “Tak sudi aku
mendapatkan menantu seperti kamu.” Lalu menarik tangan Ana, untuk menjauh dari
lelaki itu. “Ayo Ana, kamu masuk ke kamar.” Pintanya dengan nada kasar.
“Tapi Ayah …” jawabnya penuh
permohonan. “Aku mencintainya, dia kekasihku.” Jawabnya dengan beruraian air
mata yang membuat para anggota lain ikut terharu dalam aktingnya.
“Ana kau lupa, bahwa aku ini adalah masih
ayahmu.” Jawab sang ayah yang semakin geram. Sementara tangannya di pegang sang
ayah kuat. “Ayah bilang, kamu masuk sekarang!” teriak ayahnya yang semakin
terlihat emosi.
“Tapi ayah ….” Tangannya berusaha
melepaskan diri dari genggaman sang ayah. “Aku mencintainya ayah, dan ayah gak
bisa larang aku gitu aja.” Jelasnya yang kemudian berlari mendekati Handy,
kekasihnya.
“Ana!” emosinya kini mulai memuncak, “Kau
tahu dengan siapa kamu sedang berbicara?” sang ayah menjelaskan.
Sementara
ibunya, dia terus menahan amarah suaminya sembari tetap menasihati anaknya. Apa
boleh buat seorang ibu hanya bersikap sesuai rasanya, ia membenarkan alasan
sang putri yang mencintai lelaki itu dikarenakan kesederhanaanya, namun juga
tak menyalahkan suaminya akan sikapnya yang keras terhadap keputusan sang anak.
Sang ibu hanya berusaha menenangkan
dirinya juga amarah suaminya, meski tangisnya tak mampu tuk terbendung.
Hingga
tanpa sadar, anggota yang lain pun beruraikan air mata.
“Apa
jadinya kalo hal itu terjadi sama gue?” ungkap salah satu anggota lain.
“Sama.
Gue sampe ikutan nangis.” Jawab anggota
yang lainnya.
Akhirnya
persembahan dari mereka pun telah usai, beberapa orang masih dengan posisi yang
sama di anatara ketegangan juga keterharuan. Hingga membuat panitia termangu terbawa
suasana perannya.
“Pak
sudah selesai.” Anis mengingatkan.
Mata
sang panitia pun mulai gelagapan, tak menyadarinya bahwa telah usai. “Duh,
kisahnya sedih. Saya sampai terbawa suasana.” Jawabnya sembari menyeka air
matanya jatuh kembali. “Okay, kasih applause
untuk tim lima.” Semua orang pun bertepuk tangan.
“Apakah
kalian, sudah saling kenal sebelumnya?” Tanya salah satu panitia yang lain pada
Handy juga Diana.
Sementara
keduanya hanya saling bertatap yang kemudian di akhiri senyum. “Tidak pak,
bahkan kita baru dipertemukan disini karena satu tim.” Jawab Handy yang kemudian
meminta pengakuan terhadap anggota timnya tanpa terkecuali Kevin.
“Kerjasama
yang bagus,” sembari memberi tanda OK pada jempol kedua jari tangannya. “Chemestry kalian dapat sekali, mengalir
dan menyatu begitu aja.”
Semua
anggota timnya pun saling memandang, dan melempar tawa untuk kekompakan yang
dibuatnya. Namun salah satu anggota lain, Anis justru memandang wajah Handy
juga wajah Diana yang ia simpulkan dengan senyum.
Persembahan
dari tim mereka pun telah usai, seperti halnya dengan yang lain. Kini bagian tim
lainnya yang mendapat giliran. Namun setelah tampilnya tim Diana, mood Lusiana mulai berubah. Ia selalu
berandai jika harusnya yang diposisi seperti itu dirinya, berada di sampingnya
apalagi bersandar pada bahunya yang kekar. Ia pun kembali ke dalam tenda
seorang diri.
Saat
tengah asik bersama kesendiriannya, salah satu teman timnya mengatakan bahwa
persembahan telah usai. Dan akan segera di nyalakannya api unggun pada
menit-menit terakhir pergantian hari.
Semua
bernyanyi menanti dinyalakannya api unggun, berkeliling lalu berpegang tangan
satu sama lainnya. Kini semuanya boleh bergabung bersama teman angkatannya masing ataupun tetap bersama timnya. Kemudian
Diana memilih mendekati Lusi, saling berpegang tangan sementara lelaki itu
berada tepat pada posisi di depannya bersama Kevin juga teman lainnya.
Api
pun menyala, semua sorak gembira. Suara tepuk tangan juga nyanyian mendomisili
dan bergerak sesuai maunya lagi tanpa diatur seperti sebelumnya.
Diana
pun memilih ke belakang tenda setelahnya, dimana tempat semua persediaan
makanan diletakkan, dan memilih menyendiri. Yang kemudian justru diikuti Anis,
teman se-timnya.
“Hai
An.” Sapanya
Ia
pun menoleh ke arah suara. “Ka Anis.” Jawabnya dengan senyum.
“Kamu
nggak ikut rame-rame depan api unggun?” menghampiri dan duduk di sampingnya.
Ia
hanya menggelengkan kepalanya. “Disana terlalu panas.”
Anis
pun tersenyum dan memandangnya. “Kamu suka sama Kak Handy yah?” tanyanya dengan
senyum.
Ia
pun seketika menjadi salah tingkah, “Ih apa sih, Kak.” Jawabnya berusaha
mengelak.
“Kamu
boleh aja membohongi diri kamu sendiri, ataupun bohongi yang lain. Tapi tidak
ke saya.” Tersenyum. “Saya bisa baca dari matamu, iyah walaupun saya bukan
teman dekatmu yang sehari-harinya bisa ketemu.” Lanjutnya.
Sementara Diana pun hanya diam
memerhatikan.
“Tapi benar kan, apa kataku?” Tanyanya
kembali menyudutkan dan sesekali
menggodanya. “Okay, kamu gak perlu jawab. Aku tahu jawabanmu.”
“Ngomong apasih Ka Anis?” lagi-lagi
dirinya berpura-pura tak mengerti.
Anis pun bangkit dari tempat duduknya
yang kemudian berbisik. “Kalau kamu suka, perjuangin cinta kamu. Turunkan ego
dan saling mensupport.” Menatapnya hangat dengan senyum lalu meninggalkan
dirinya kembali seorang diri.
Ia pun membalasnya dengan senyum
kembali yang kemudian matanya melirik langkah wanita itu hingga sesekali
menyudutkan matanya ke arah Handy dan mulai merenungkan apa yang dikatakan Anis
sebelumnya.
*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar