sumber foto: blog.platechno.com
Sementara Rini,
minikmati malam terakhirnya di Negara orang sebelum akhirnya kembali ke Tanah
Air. Berselimutkan dingin juga sepi. Ia berjalan menyusuri kota, bersama kedua
temannya, Julia dan Ester. Namun tak saling bicara, bisu tak bersuara.
Berisyaratkan hati, menata diri yang
saling terpikat satu dengan yang lainnya, tak berkode, seperti mereka memahami
sebagaimana para perumus kode melafalkannya. Mereka hanya terus melangkahkan
kakinya, berpijak dari sudut ke sudut kota yang lainnya, melewati jalan setapak
hingga jalan kota yang ramai.
Jaket tebalhya kini dirasa tak cukup
membalut tubuhnya, dinginnya cuaca disana selalu mempunyai cerita yang tak bisa
ia tuliskan lewat kata-kata. Ia hanya melipatkan tangannya didadanya, sementara
lehernya terbungkus rapih oleh kain syal yang selalu ia pakai dan membiarkan
tudung jaketnya menutupi kepalanya. Tak lupa pula ia selalu memakai sepatu boot
kala salju menerpa Canada.
Sementara kedua temannya, dirasa sudah
terbiasa dengan cuara Negara sana. Membiarkan kepalanya sedikit diterpa salju,
dan dengan sengaja melepas tudung jaketnya. Mereka saling menikmati malam itu,
berjalan dan menari-nari dalam salju, memainkan kakinya dalam tumpukan salju. Sesekali
saling menggumpalkan salju dan melemparkannya kepada yang lainnya.
Saat
cuaca kota diterpa salju, mereka memilih untuk berjalan kaki saja, sembari
menikmati suasana kota. Hingga mereka tiba, pada suatu tempat yang selalu
mereka cari. Iya suatu tempat yang selalu memberikan mereka kehangatan dan
kebersamaan, suatu tempat dimana ketiganya dipertemukan, sebuah taman yang
bernama High Park. Taman yang terbentang mulai dari Bloor Street hingga ke The
Queensway, tepat di tepi utara Danau Ontario. Yang selalu mereka nanti adalah
atraksi kebun bunga sakura (cherry).
Satu
dari kedua temannya menatap mata sayu Rini dengan penuh harap “Rin …,”
panggilnya.
“Iya”
jawabnya mengangkat kepala dari menunduk.
Matanya
mulai berbinar, berkaca-kaca menahan tangis. Lalu sontak menarik tubuhnya dan
mendekapkannya kepada tubuh Rini, memeluknya dengan erat yang ditambah dirangkul
hangat oleh Ester.
“Berjanjilah
padaku untuk kembali kesini” ucap Julia penuh harap.
Seketika
air matanya tumpah tak tertahan, ia hanya menjawabnya dengan tangis.
Sementara
Etser terus membelai halus dan indah rambutnya. Membiarkan Rini menghabiskan
sisa tangisnya, hingga tak ada lagi beban yang harus ditahan.
Suasana
hening. Hanya terdengar isak tangis dari ketiganya. Ester pun mulai melepas
rangkulannya, begitu juga dengan Julia yang melepaskan pelukannya. Julia
menghapuskan air mata yang masih tersisih di pipi temannya, sedangkan Ester
memegang pundaknya memberinya kekuatan.
“Percayalah
sayang, kota ini selalu punya cerita tentang kita. Ia menyimpan tanpa kita
pinta, ia juga takkan menghapusnya ketika kita lupa. Tapi kamu …” tersenyum “yang
tak terlupa” lanjutnya.
“Terimakasih
Kak Etser.” Memandang Ester dengan senyum haru, dan memandang Julia disisi
lainnya “Terimakasih juga buat Ka Julia.” Terdiam sejenak. “Terimakasih sudah
mau direpotkan sama Rini beberapa bulan terakhir ini, Rini gak tahu harus
ngomong apalagi. Kalian paling the best yang aku punya di Canada. Rini pasti
kangen sama kalian, kangen tempat ini dan kangen semuanya.”
“Kita
juga pasti kangen sama nakalnya kamu” ujar Ester
“Kakak
….” Jawabnya dengan penuh manja
Tersenyum,
“Kau akan kembali kesini lagi kan?” Tanya Julia
Ia
hanya mengedipkan mata, mengisyaratkan pertanda Iya.
“Kota
ini selalu menunggumu kembali, dan pintu rumahku selalu Welcome buat kamu, Dik”
“Dan
kamar kakak pun selalu welcome buat
kamu acak-acakin, Dik” ledek jahilnya Ester.
Mereka
pun tertawa. ‘Hahaha’.
Menikmati
salju di tengah taman kota, sekaligus menjadi salam perpisahan ketiganya. Tak dapat
lagi ditutupi, haru pikuk rasa dan suasananya. Ia kemballi terdiam dalam sebuah
kursi taman, sedihnya mengingat semua cerita yang sudah terjadi, tak hanya
tentang kedua temannya juga dengan seorang lelaki yang cukup memberikannya harapan
indah yang meski kini justru hanya tinggalkan cerita yang disebut kenangan.
Ester
menoleh, memandang wajah Rini dari sisi samping kanannya “Rin …” panggilnya, “apa
Ian tahu bahwa kamu akan kembali ke Indoneisa?” lanjutnya bertanya.
Ia
hanya menolehkan wajahnya sebentar kearah Ester dan mengalihkannya kembali kearah
depan. “Entahlah Kak, aku tak lagi berhubungan dengan dia.” Jawabnya singkat
dengan nada suara yang berubah, yang dipahami kedua temannya.
“Masih
marah sama dia?” Tanya Julia dengan hati-hati
Ia
hanya menyodongkan telinga kanannya, yang ia pahami dengan lirikan matanya. “Tidak
kok Kak, aku tidak marah sama dia. Mungkin hanya aku saja yang terlalu
berperasa. Sedangkan dia, dia sudah memainkan peranannya sendiri kok.” Jawabnya
mengelak menutupi berat hatinya tanpa kabar dan status kejelasan di antara
keduanya. “So, jangan khawatirkan itu kak.”
Sementara
kedua temannya hanya mengiyakan petanda ia meyakininya.
“Aku
berjanji menemuimu disudut kota, maka berjanjilan menantikan ku kembali dengan
setiamu. Jaga dirimu baik-baik, sementara aku pun kan menjagamu dengan baik
bersama janjiku.” Gumamnya dalam hati, sebagaimana kalimat yang pernah ia
dengar dari mulut manis lelaki itu.
Bahkan kata-katanya seperti
sebuah pengingat yang amat tajam, selalu merusak lamunnya, bahkan selalu
terngiang dalam ingatan juga pendengarannya. Yang menghantui sisi pertahanan
keyakinannya.*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar