“Hai Bang,
gimana kuliahmu?” tanya Rini pada Handy, yang tak lain adalah kakak sepupunya. “Kapan
wisuda?” lanjutnya sembari mengacak-acak buku.
“Lagi pusing, banyak tugas.” Jelasnya singkat.
“Hai kamu, lama di Negara orang makin putih aja.” Lanjutnya meledek.
“Iyalah, emang abang makin item. ‘Hahaha’” ledeknya.
Membalikan tubuhnya dari kursi
belajar. “Biarin abang item, yang penting tetap manis.” Pembelaan dirinya.
‘Hahaha’.
“Dasar abang jelek, gak mau ngalah.” Memukulnya pelan dengan buku.
“Siapa pacarmu sekarang, Rin? Sini bawa,
ajak kenalin ke abang.”
Membuka-buka lembaran demi lembaran
buku. “Aku nggak punya, Bang.”
“Bisa aja emang kalo bohong.” Jawabnya
menyudutkan pembenaran Rini.
“Aku serius, Bang.” Berusaha
meyakininya. “Sebenernya sih ada yang menarik perhatian aku, dia baik, dia
humoris, dia dewasa, dia asyik gak kaya abang, nyebelin.” Ucapnya.
“Jadi abang, nyebelin nih?”
‘Hehehe’. “Tapi abang, paling baik kok”
“Dasar ya kamu gak berubah. Selalu bisa
aja ngegoda abang.” Jawabnya sembari nyubit pipinya Rini. “Lalu?” lanjutnya.
“Gak ada kelanjutannya. Udah begitu
aja.” Jelasnya.
“Loh,
gimana sih?” tanyanya semakin heran. “Jadi kalian gak pacaran?” lanjutnya.
“Entahlah,
Bang. Sudah lost contac.” Tuturnya dengan
sedikit perasaan kecewa. “Lalu bagaimana dengan abang sendiri?” lanjutnya
bertanya mengalihkan pembicaraan. “Siapa pacar abang sekarang? Apa masih jomblo!”
tanyanya sembari meledek.
“Abang
… abang …” terlihat menjawabnya dengan terbata-bata dan membalikan kembali
tubuhnya ke arah meja belajar. “ada satu cewek yang menarik perhatian abang.” Jelasnya.
“Lalu?”
“Tapi
entahlah Rin. Abang belum yakin, kalo abang beneran suka sama dia.” Jelasnya.
“Widih,
siapa nih ya cewek yang berhasil ngegoda iman abang gue satu inih?” jawabnya
meledek.
‘Hahaha’.
“Apasih kamu?”
“Ayo
lah bang siapa?” pertanyaanya semakin menyudutkan.
Ia
mulai menjelaskannya semenjak pertama kali melihatnya di lorong kampus menuju
sebuah taman dengan senyum manisnya yang khas bersama lesung pipi, yang selalu
membiarkan rambutnya terurai, tutur katanya halus, berkulit putih cerah,
gayanya yang anggun selalu memberinya kesejukan juga kehangatan saat memandangnya. Saat dipertemukan
tanpa sengaja di kantin pun, ia menahan degup di dadanya untuk berpura-pura tak
peduli.
Rini
menatap mata abangnya. “Aku yakin, abang aku yang satu ini sedang beneran jatuh
cinta.” Jawabnya. “Matamu gak bisa bohongin aku, Bang”
“Ah
kamu. Sudahlah.”
“Aku
mendukungmu kok bang. Lanjutkan ya, perjuangin cintamu sampai dapat.” Ucapnya memberi
dukungan. “Anak mana dia?” lanjutnya bertanya.
“Terimakasih
buat dukungan ya, Sayang. Dia adik kelas abang, masih anak semester baru lah.” Jawabnya
mulai terus terang.
Hingga
akhirnya kakak-adik sepupu itu pun berbagi perasaannya, menceritakan sesuatu
yang mungkin dapat disebut dengan kata cinta.
Kemudian
Rini meminta abangnya tuk mengajaknya pergi keluar. Mencari hiburan, mungkin
hanya sekedar makan atau pun jalan ke Mall. Ia pun mulai merapihkan
buku-bukunya. Maklumilah, Rini adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami
Istri keluarga Zakaria. Ayahnya adalah pengusaha property yang sukses, dan
ibunya adalah sekretaris sang Ayah, makanya keduanya selalu bekerja dalam satu
hal pekerjaan yang sama.
Sementara
abangnya sendiri adalah Kakak sepupu satu-satunya yang ia miliki di Jakarta, ia
adalah anak dari kakak ayahnya yang juga seorang anak tunggal. Sejak berusia
remaja, ia sudah ikut bersama keluarga Zakaria tersabab orang tuanya meninggal
saat kecelakaan pesawat dua belas tahun silam, saat usianya baru menginjak dua
belas tahun. Itu sebabnya Handy dibesarkan oleh kedua orang tua Rini, dan mengangapnya
seperti layaknya anak kandungnya sendiri. Usia keduanya berselisih hanya enam
tahun,
Handy pun menuruti maunya
Rini, dan segera mengajaknya pergi keluar. Menemaninya menyusuri kota,
menikmati suasana Jakarta yang mungkin sudah sedikit berbeda dengan beberapa
tahun sebelumnya, saat terakhir sebelum tiga tahunnya berada di Canada.*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar