Kala matahari masih menutup malu
Pada pekat hitam mendung pagi
Sunyi, lembut dalam alunan lirih dinginnya
Menyelimut ke dalam pori-pori yang sensitif
Terbangun akan aromanya
Pada ritme suaranya yang ramai
Bukan gemuruh yang menyalip ketakutan
Hanya bunyinya yang membangunkan
Mentari bersembunyi pada awan
Sementara sinarnya, bak enggan tuk menampakkannya
Apakah ia pun berkalut?
Hatiku bertanya.
Atau mungkin menjelma pada sebuah rasa,
Takdir dan mimpi ..
Ia berbunyi, tik ...
Seperti alunan ritme
Pada syimpony dipenghujung waktu
Sebagai tanda jarak terlihat nyata
Sisanya singgah pada sebuah dedaunan
Yang meninggalkan butir demi butir air
Dan menaruh bulir kesejukannya pada setiap Insan
Hadirnya menyamai kesendirian
Terselimutkan kehampaan akan kenangan silam
Hujan akhir bulan
Seperti titik simpul sebuah cerita
Akankah usai?
Atau justru kan terpatri menyambung cerita?
Hanya Ia dan Hujan yang memahami.
Jangan melihat kebelakang untuk mencaci kenangan. Berjalanlah dan lakukan yang terbaik saat ini.
Kamis, 30 November 2017
Rabu, 29 November 2017
Berhenti Berharap (Part 12)
![Gambar terkait](https://i.ytimg.com/vi/3et26HO2sbE/hqdefault.jpg)
sumber foto: youtube.com
“Sayang, kakak bisa cerita sama mamah.”
Lanjut sang mamah memberi perhatian.
“Aku
mau sendirian dulu mah.” Teriaknya dengan suara yang semakin sedu.
Mamahnya
pun memahaminya, dan meninggakan dirinya seorang diri di kamarnya. Sementara
ia, terus menangisinya, sebab tak habis fikirnya mengapa seorang sahabat yang
begitu dia sayang, yang dia percayakan dapat menyakitinya begitu saja.
Kecewanya semakin memuncak, tatkala ia melihat dan merasakan kekhawatirannya
benar adanya.
***
Diana
tak menyerah, ia pun ingin memperbaiki hubungannya dengan sahabatnya. Ia
berencana pergi kerumahnya, menjelaskan cerita yang sebenarnya.
“Hi
tante.” Sapa Diana kepada Ibu Erita, dan mencium punggung tangannya.
Ibu
Erita pun menyambutnya dengan senyum.“Hai sayang, apa kabar kamu?”
“Aku
baik tante,” jawabnya dengan senyum. “Lusi-nya mana ya tan?” tanyanya sembari
sesekali menengok ke arah lantai atas.
Ibu
Erita pun menoleh ke arah lantai atas.“Sudah dari kemarin, dia gak keluar
kamar, Na. Untuk makan saja nggak.”Ibu Erita menjelaskan. “Sebenernya ada apa,
Nak?”
Ia
terdiam sejenak. “Boleh aku ke atas, tan”
Ibu
Erita pun mengangguk.
Ia
dengan segera menuju kamar Lusi dan mengetuk pintunya. “Lus, ini aku. Diana.”
Jelasnya. “Boleh, aku masuk?” pintanya.
Namun,
Lusi jua tak kunjung membukakan pintu.Ia membiarkannya terdiam.
“Lus,
aku bisa jelasin ke kamu yang sebenernya.” Ia pun terkulai lemas didepan pintu
dan bersandar disana.
“Pergi
lu dari sini, gue gak butuh penjelasan lu.” Teriaknya sembari melemparkan
bantal ke arah pintu.
Diana
pun terkejut dan mulai menangis.
Ibu
Erita pun menghampirinya, mebangunkan dirinya dan mengajaknya untuk berbicara
terbuka dengannya di lantai bawah.
“Kamu
minum dulu ya.”
Ia
pun menerima gelas yang diberi ibu Erita. “Terimakasih tante.”
“Nak,
tante juga pernah muda. Tante pernah ngerasain apa yang kalian rasain sekarang.
Kalo kamu mau, kamu bisa cerita sama tante.” Jelasnya yang kemudian memeluk
Diana, sebagaimana ia memeluk anaknya sendiri.
“Tak
apa kok tante, cuma ada kesalahpahaman aja.” Jelasnya.
Ibu
Erita pun hanya tersenyum menyimpulkan dan mengelus rambutnya.
Diana
pun dengan sedikit penyesalan yang tertahan, binar di matanya kini semakin
terlihat memendung. Entah bagaimana ia harus memulai menjelaskannya, ia bahkan
menyalahi dirinya bahwa ia telah memilih keputusan yang salah. “Seharusnya aku
tak pernah berjanji, meskipun iya.Seharusnya aku memilih untukmenjauh.”Hatinya
menggerutu.
“Lus
… aku gak pernah bermasud untuk seperti ini. Apalagi untuk mengkhianati kamu.”
Hatinya berbicara dan menatap ke arah lantai kamarnya.
Namun,
ia hanya diam tak bergeming. Tak ada tanda-tanda bahwa ia kan turun untuk
menemuinya atau sekedar bertemu dengan mamahnya. Seperti harap persahabatannya
kan pupus dengan mudahnya.
***
Libur
semester telah usai, kini mereka melanjutkan aktifitas kembali setelah berlibur
panjang meski liburan terakhirnya tak seperti yang direncanakan bahkan mungkin
sebuah ketidakmungkinan yang menjadi mungkin.
Sebuah
cerita di akhir liburan yang berujung tak mengesankan. Siapa sangka? Mengakhiri
liburan dengan sebuah kesalahpahaman yang merusak hubungannya.
Kini,
Lusiana tak ingin lagi mengenal sahabatnya bahkan untuk sekedar menegur.
Kekecewaannya menutup hatinya, sehingga hatinya tertutupi oleh emosi keraguan
terhadap sahabatnya.
Sementara
lelaki itu, ia kini tengah disibukkan dengan tugas akhir skripsinya. Sedangkan
hubungan antara dirinya dengan lelaki itu seperti kembali menjadi asing.
Setelah harapnya di mainkan lalu kemudian di patahkan begitu saja.
Ia
hanya dekat dengan Rini, adik sepupunya Handy. Namun demikian, ia enggan
menyebut Handy dengan Diana didepannya, mengenai hal apa yang sebenarnya
terjadi. Padahal tanpa ia ketahui, Rini sudah tau di antara semuanya. Sementera
kini, ia tak hanya sibuk kuliah, kini ia sibuk menjadi salah satu volunteer anak jalanan.
“Hai,
Lus.” Sapa Diana saat sahabatnya masuk ke dalam kelas.
Namun
ia hanya menoleh sinis, lalu memalingkan pandangannya dengan cepat. Ia
mengambil tempat duduk yang tak berdekatan dengan sahabatnya.
Diana
pun kembali terdiam.
Hari
itu, terasa hari yang sangat lama bagi keduanya. Di diamkan secara langsung
hingga menimbulkan pertanyaan teman sekelas lainnya. Ia tak saling menyapa,
jangankan menyapa saling menoleh pun tidak. Saat kelas telah usai, mereka
memilih melanjutkan masing-masing aktifitasnya.
Diana
kembali ke tempat kost nya, sementara Lusiana. Ia pergi ke tempat makan yang
biasa ia tongkrongi bersama sahabatnya. Sesekali dalam benaknya ia bergumam,
“Ana, gue kangen lo.” Matanya terpejam. “Tapi disisi lain, gue kecewa.”
Cakapnya.
Kemudian ia membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia saat
itu, ada seorang gadis yang ia kenali betul, tengah berada tepat didepan
pandangannya lalu kemudian tersenyum dengan senyuman yang tak asing baginya.
*bersambung
Senin, 27 November 2017
Berhenti Berharap (Part 11)
![Gambar terkait](https://i0.wp.com/ngaco.id/wp-content/uploads/2017/04/Gambar-Orang-Lagi-Sedih-Termasuk-Muka-Wajah-Mata-Wanita-dan-ekspresi-12.jpg?fit=800%2C500&ssl=1)
sumber foto: ngaco.ID
Saat telah sampai pada stasiun
akhir untuk transit, ia kembali terengah langkah. Meski pada akhirnya, harus
menunggu. Ia menoleh jam tangannya, bersisikan tiga puluh menit.
Tiga
puluh menit pun berlalu, ia dengan segera mencari tempat janjian yang sudah diberitahu
sahabatnya. Ia pun terus melangkah, lalu kemudian melihat lelaki itu dan
menghampirinya.
“Kak
Handy?” tegurnya
Handy
pun menoleh ke arah suara, nan kaget. “Lusi?” tanyanya penuh kebingungan.
Lusi
pun menatap mata Diana, seolah menjelaskan untuk meninggalkan keduanya.
“Oya
kak, aku duluan ya.” Pamit Diana kepada lelaki itu.
Handy
pun semakin bingung, mengapa ia dibiarkan berdua dengan Lusi. Sementara dirinya
hanya mengajak Diana. “Ana?” panggilnya.
Sementara
Ana berlalu tanpa menoleh.
Lusi
pun mengajaknya berlari pelan, dengan sesekali ngobrol dan bercanda. Handy pun
hanya mengikutinya, tak banyak kata sebab ia masih dibuat bingung dengan sikap
Ana yang akhir-akhir ini justru seperti menjauh darinya acap kali keduanya
mulai untuk bersama.
Dari
kejauhan Ana hanya memandang kebersamaan keduanya. Meski ia sedikit terluka,
harus menggadaikan cintanya demi persahabatan mereka.
Rini
pun menatapnya, “Mau sampai kapan kamu begini?”
Gadis
itu menoleh kaget.
“Aku
tahu, tanpa kamu beritahu pun” jelasnya “Abang ku selalu bilang, kamu selalu
menghindar acap kali kalian harus bersama.” Lanjutnya.
Ia
tersenyum menyimpulkan, “Ah itu perasaan aja.” Hatinya mulai kelu.
“Yah,
sekarang aku tahu alasannya,” memalingkan pandangannya kearah Handy. “Kamu suka
kan sama bang Handy?” tanyanya. “tapi kamu justru mengalah untuk sahabatmu.”
Ana
pun termangu, menyadari bahwa apa yang dikatakan Rini adalah kebenaran hatinya.
Sehingga ia pun tak mampu lagi tuk mengelak mengatakan tidak.
“Diana
… Aku tahu apa yang kamu rasakan, aku juga tahu pengorbanan kamu. Tapi ini soal
hati,” jelasnya memberi pemahaman. “kamu gak bisa terus memaksa diri, Lusiana
perlu tahu perasaan kamu sebenernya. Kamu pun berhak untuk itu.”
“Rin
… sebelumnya terimakasih sudah ngertiin posisi aku. Tapi bagiku, tetap menjaga
persahabatan dengannya adalah pilihan terbaik. Soal hatiku merasakan sakit,
biar hanya menjadi ceritaku sendiri saja. Karna jika aku tak peduli, aku hanya
mencintai keegoisanku saja sedangkan aku tahu, bahwa Lusi lebih mencintai Kak
Handy.” Jawabnya dengan dewasa, memandang kearah Handy.
Rini
pun merangkulnya memberi segala kasih sayangnya. “Ana, kamu sangat dewasa.
Bagaimana tidak abangku tak mencintaimu dengan tulusnya.” Mengelus punggungnya.
“Tapi Ana, kamu juga tahu bahwa abangku mencintaimu.” Ia memperjelas dengan
menegaskan bahwa abnngnya maenicntainya. “Apakah abangku tahu, kalo selama ini
kamu menghindar karena alasan ini?” tanyanya.
Ia
hanya menggelengkan kepalanya. “Aku pun lelah, terus berpura-pura seperti ini
Rin. Jika ada pilihan lain, aku mungkin memilih pilihan itu.”
“Ah
Ana … aku tidak bisa menjadi seperti dirimu.” Menghapus binar dimata Ana.
***
Keesokan harinya, Handy kembali
mengajak Diana disebuah tempat makan ternama di ibu kota, tentu dengan
perjanjian tanpa mengajak Lusiana untuk meminta penjelasan tentang kejadian
kemarin di car free day. Sementara
Rini pun tetap ikut, hanya saja ia memilih menyendiri di meja makannya sendiri,
sesekali ia mengingat tentang Ian. Meskipun kini, hatinya tak lagi berharap tentang
lelaki itu.
“Ana
… aku mau Tanya.” Lelaki itu memulai obrolannya.
“Iya
kak, tanya apa?”
“Maksud
kamu apa kemarin, ninggalin aku sama Lusi? Bukannya kamu tahu, kalo aku Cuma
ngajak kamu sama Rini aja?” ia terus melempar pertanyaan yang menyudutkan.
Ia
pun hanya terdiam, termangu. Lidahnya kembali kelu, menerima pertanyaan yang
sama. Ia menunduk.
“Kenapa
diem, An.”
“Tak
apa Kak” ia mengelak.
“Jangan
bohong Ana, aku tahu yang sebenernya. Rini sudah bilang.” Jelasnya.
Diana
pun menoleh ke belakang, ke arah Rini.
Rini
hanya tersenyum, dan menatapnya lembut dengan mengedipkan matanya.
“Kenapa
kamu ngorbanin diri kamu sendiri?”
“Dia
sahabatku, dan aku …”
Tiba-tiba
Lusi sudah berdiri di belakang Handy, dengan wajah kecewa dan marah. “Jadi
gini, lu dibelakang gue selama ini?” ia menyentak.
Keduanya
pun terkejut.
Diana
berdiri. “Aku bisa jelasin ini, Lus.”
“Munafik
lu! Sahabat macam apa kaya gitu?” amarahnya semakin tak terkendali, ia pun
meninggalkan tempat itu bersama tangis.
“Lus
… Lusiana ….” Teriak Diana berusaha mengejar. “Apa yang kamu, gak seperti yang
kamu fikirkan.”
Rini
pun terkejut dangan kehadiran Lusiana, ia dengan segera mengejar Diana.
Sementara Handy, masih termangu diam dalam duduknya. Ia menyangga kepalanya
dengan tangan, keningnya mulai berkerut.
“Ana
… Diana!” teriak Rini mengejar dan menarik tangannya untuk berhenti mengejar. “Sudah biarkan dulu,
Di. Karena alasan apapun kamu ngejelasin sekarang, dia pasti nggak ngerti. Saat
seseorang emosi, fikirannya pun pasti ngikuti. Tunggu waktu yang tepat untuk
ngejelasin semuanya yah?” ia memeluk tubuh gadis itu erat.
Sementara
Lusi, ia terus berlari pergi kembali ke rumahnya. Ia masuk tanpa salam, dengan
menutup pintu yang ia hentak yang mengagetkan Mamahnya dan mengangggung tidur
adiknya. Ia dengan segera meninggalkan mamahnya tanpa permisi dan masuk ke
kamarnya dengan tangis yang tak lagi mampu ditahan.
Mamahnya
pun terkejut dengan tingkah anaknya, yang tak seperti biasanya. Datang tanpa
salam juga yang tiba-tiba nangis. “Sayang … kamu kenapa, nak?” teriak sang
ibunda diluar kamar yang sedari tadi mengikutinya.
Sementara
ia hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan sang ibunda. Namun, suara tangisnya
semakin keras.
*bersambung
Minggu, 26 November 2017
Berhenti Berharap (Part 10)
![Gambar terkait](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvOCAsVKzEqFSNUk3E-V3_sRby5MWMPEg-GISiohsjt3c44d9k5wWOIiY0QYSpVnjT8ZonQp97HrrMJb_j-ug2riaPAX4YL5qbO6BBsnR-B2owWpM-Y8bR_4XG-Uy0CMsSZGuSCbwNA3ew/s200/1092.jpg)
sumber foto: felingss.blogspot.com
“Hei,
boleh aku duduk?” lelaki itu menghampirinya.
Ia
pun menolehnya kaget. Lalu kemudian mengedipkan matanya pertanda iya dan
menggeser duduknya untuk berbagi tempat duduk dengan lelaki itu.
Seketika
suasananya berubah hening, hingga terasa mulai digigiti nyamuk.
“Banyak
nyamuk yah?” Handy memulai pembicaraan.
Gadis
itu pun menoleh, kemudian menundukkan pandangannya. “Iya.” Jawabnya.
“Tadi
acting kamu bagus,” ia memuji.
“Kak
Handy juga.” Jawabnya yang terihat tersipu, tak hanya menahan malu terhadap
lelaki itu, namun juga menata gemuruh senang dalam hatinya.
Mereka
pun terlibat pembicaraan yang lama, hingga sahabatnya menghampiri dengan
mencari perhatian pada lelaki itu.
“Hai,
Diana” sapanya. “Loh, ada kak Handy?” tanyanya pura-pura tak tahu.
Handy
pun hanya tersenyum.
“Masih
ingat sama aku?”
“Em
… mukanya gak asing yah.” Jawabnya sembari menerka-nerka ingatannya.
Diana
pun menoleh ke arah Handy, “Iya dia temanku, Lusiana namanya.” Ia
memperkenalkan temannya. “Dia juga, yang waktu
ospek Kakak hukum suruh jalan jongkok.” Jelasnya melanjutkan.
“Oh
itu kamu!” jawabnya mulai mengingat. “Kalian satu angkatan?” tanyanya menoleh
kepada dua gadis itu.
“Iya.”
Jawab keduanya kompak.
Handy
pun menoleh ke arah keduanya.
“Iya
kita satu angkatan, satu kelas juga.” Jawab Lusi yang lebih banyak bicara
daripada Diana.
Handy
hanya mengangguk, mengiyakan yang kemudian izin meninggalkan keduanya.
“Kalo
gitu kalian silakan lanjutkan kalo mau ngobrol, saya juga mau lanjut gabung
dengan yang lain.” Pintanya yang di barengi senyum yang ditujukan untuk Diana,
namun yang menanggapi justru sahabatnya. Lalu ia pergi.
“Kak
Handy, asyik banget sih jadi orang. Manis juga senyumnya.” Jelasnya bersandar
pada bahu sahabatnya. “Coba bisa tiap hari deket dia.” Ucapnya lirih.
“Apa
Lus?” jawabnya kaget. “Maksud kamu?” membangunkan kepala Lusi dari sandarannya.
Ia
pun menatap Diana dalam-dalam, dengan terus tersenyum. Sementara Diana masih terheran-heran dengan sikap sahabatnya.
“Diana,
kamu tahu?” menatap mata sahabatnya dengan
menaruh tangannya di atas bahu Diana. “Orang yang selalu aku ceritain
itu?” lanjutnya menjelaskan dengan pelan.
‘Deg.’ Jantung Diana tiba-tiba berdegup
kencang, sementara otaknya masih
menyemilir tertahan di pembuluh darah. Seperti sudah tahu tahu akan
jawabannya, semua tertahan didadanya. Ia sedikit menegang, namun demikian ia
masih bisa mengontrol dirinya. Ia pun mengangguk.
“Iya,
dia Kak Handy.” Jelasnya dengan terus tersenyum.
‘Byaaaaaar’.
Perasaannya membuncah bak sebuah bendungan yang meluap hingga sebabkan banjir.
Ia menurunkan ketegangan dalam dirinya, akan kenyataan yang baru saja ia
dengar. “Jadi selama ini, yang dimaksud
itu Kak Handy.” Benaknya bergumam seolah-olah tak percaya. Ia hanya
tersenyum pasi, mencoba mengontrol dirinya. “Kamu, emang gak salah buat
mencintai seseorang.” Jawabnya dengan hati yang bergetar. Sementara dirinya
menahan tangis didadanya, bagaimana tidak? Dua orang yang saling bersahabat
mencintai seorang lelaki yang sama.
Lusi
pun memeluk dirinya erat, seakan memberi tahu bahwa kini ia tak lagi harus
menyimpan kagumnya seorang diri. Sedangkan Diana dalam peluknya, ia melihat
lelaki itu dari kejauhan dengan binar dimatanya.
“Perjuangin
kalo dia memang pantas diperjuangin.” Ucapnya dengan sedikit lirih.
Lalu
Lusi pun menarik tubuh Diana dari peluknya dan tersenyum. “Untuk itu, kamu mau
kan bantu aku?” tanyanya.
Ia
pun menoleh lalu memalingkan kembali wajahnya. “Bantu apa Lus?” jawabnya
kemudian.
“Bantu
aku terus deket sama dia yah?” pintanya.
Diana
pun semakin tercekat akan maunya, ia sebenernya ingin menolak pintanya. Namun,
apa boleh buat. Ia pun mengiyakan berjanji untuk membantunya terus dekat dengan
Handy.
Seketika
suasana menjadi hening, dan mereka memilih melanjutkan mengikuti acara. Tetapi
tidak dengan Diana, gadis itu memilih beralih kedalam tenda dengan alasan sudah
mengantuk yang kemudian ia menimbang-nimbang permohonan sahabatnya, ia mengerti bahwa ia harus terluka
namun disisi lain ia pun juga sama mencintainya. Meski sahabatnya tak pernah
tahu perasaannya yang sesungguhnya. Hingga ia terlelap pada tidurnya.
***
Roda
waktu semakin bergerak jalan maju, persahabatan mereka tetap terjaga. Dua orang
sahabat itu pun masih bersama, dan sama-sama saling dekat dengan lelaki itu. Satu
semester berlalu, kini lelaki itu sedang mempersiapkan skripsinya sementara dua
orang yang saling bersahabat itu menginjak semester empat, sama seperti adik
sepupunya.
Suatu
hari di weekend, Handy pun mengajak adik sepupunya untuk lari pagi tak lupa
pula ia mengajak Diana. Sekaligus memperkenalkan keduanya. Mereka bertemu di
sebuah Car free day. Namun tanpa
sepengetahuan Handy, ternyata gadis itu pun mengajak sahabatnya.
Disisi
lain, seperti biasanya, Lusiana terbangun adri lelapnya tidur. Matanya yang
masih suntuk terlihat jelas oleh lingkaran hitam area matanya, tak lupa Ia
menyegerakan satu dari lima waktu yang wajib.
Tangannya
mengepal, menggeliat dengan manjanya. “Hari ini aku harus pergi.” Katanya berujar.
Lalu
ia mempersiapkan dirinya, membersihkan diri, dan tetap menjaga sarapannya walaupun
hanya segelas susu. Ia pergi ke sebuah stasiun, dengan terengah-engah. Mengejar
waktu, sebab keterlambatan adalah sebeuah kutukan baginya.
Iya,
akhirnya duduk dengan tenang di bagian ujung gerbong commuter line, tepat pada
gerbong yang dikhususkan untuk wanita. Lalu membuka ponselnya, sekedar membalas
pesan dan menutupnya kembali setelah usai.
Ia
kini menikmati alunan bunyi keretanya, kala embun masih membasahi kaca kereta
dengan tebalnya. Sementara bersamanya, ia memandang satu demi satu orang yang
berada disekelilingnya sekaligus rumah-rumah yang ia lewati diluar kaca kereta.
Sesekali ia memejamkan matanya.
*bersambung
Sabtu, 25 November 2017
Berhenti Berharap (Part 9)
![Gambar terkait](https://pbs.twimg.com/media/C7YBWP9VoAAu3J6.jpg)
sumber foto: Twitter.com
Tanpa
mengubah nama. “Ana, kau tahu aku. Aku begitu menyayangimu.” Lelaki itu pun
memulainya dengan berdialog.
Sementara sang nawacerita bercerita,
bahwa hal itu pun berat bagi Ana.
“Aku tahu, Mas. Tapi hubungan kita tak
direstui orangtuaku.” Jawabnya dengan nada lirih.
Sang nawacerita pun berkata, bahwa orang
tuanya mendengar percakapan mereka. Dan segera memarahi lelaki itu.
“Hei kamu anak muda.” Jawab ayah Ana,
yang diperankan teman setim lainnya. “Kamu punya apa untuk mencintai anak
saya?”
“Aku punya cinta, Ayah”
“Ayah?” jawabnya geram. “Tak sudi aku
mendapatkan menantu seperti kamu.” Lalu menarik tangan Ana, untuk menjauh dari
lelaki itu. “Ayo Ana, kamu masuk ke kamar.” Pintanya dengan nada kasar.
“Tapi Ayah …” jawabnya penuh
permohonan. “Aku mencintainya, dia kekasihku.” Jawabnya dengan beruraian air
mata yang membuat para anggota lain ikut terharu dalam aktingnya.
“Ana kau lupa, bahwa aku ini adalah masih
ayahmu.” Jawab sang ayah yang semakin geram. Sementara tangannya di pegang sang
ayah kuat. “Ayah bilang, kamu masuk sekarang!” teriak ayahnya yang semakin
terlihat emosi.
“Tapi ayah ….” Tangannya berusaha
melepaskan diri dari genggaman sang ayah. “Aku mencintainya ayah, dan ayah gak
bisa larang aku gitu aja.” Jelasnya yang kemudian berlari mendekati Handy,
kekasihnya.
“Ana!” emosinya kini mulai memuncak, “Kau
tahu dengan siapa kamu sedang berbicara?” sang ayah menjelaskan.
Sementara
ibunya, dia terus menahan amarah suaminya sembari tetap menasihati anaknya. Apa
boleh buat seorang ibu hanya bersikap sesuai rasanya, ia membenarkan alasan
sang putri yang mencintai lelaki itu dikarenakan kesederhanaanya, namun juga
tak menyalahkan suaminya akan sikapnya yang keras terhadap keputusan sang anak.
Sang ibu hanya berusaha menenangkan
dirinya juga amarah suaminya, meski tangisnya tak mampu tuk terbendung.
Hingga
tanpa sadar, anggota yang lain pun beruraikan air mata.
“Apa
jadinya kalo hal itu terjadi sama gue?” ungkap salah satu anggota lain.
“Sama.
Gue sampe ikutan nangis.” Jawab anggota
yang lainnya.
Akhirnya
persembahan dari mereka pun telah usai, beberapa orang masih dengan posisi yang
sama di anatara ketegangan juga keterharuan. Hingga membuat panitia termangu terbawa
suasana perannya.
“Pak
sudah selesai.” Anis mengingatkan.
Mata
sang panitia pun mulai gelagapan, tak menyadarinya bahwa telah usai. “Duh,
kisahnya sedih. Saya sampai terbawa suasana.” Jawabnya sembari menyeka air
matanya jatuh kembali. “Okay, kasih applause
untuk tim lima.” Semua orang pun bertepuk tangan.
“Apakah
kalian, sudah saling kenal sebelumnya?” Tanya salah satu panitia yang lain pada
Handy juga Diana.
Sementara
keduanya hanya saling bertatap yang kemudian di akhiri senyum. “Tidak pak,
bahkan kita baru dipertemukan disini karena satu tim.” Jawab Handy yang kemudian
meminta pengakuan terhadap anggota timnya tanpa terkecuali Kevin.
“Kerjasama
yang bagus,” sembari memberi tanda OK pada jempol kedua jari tangannya. “Chemestry kalian dapat sekali, mengalir
dan menyatu begitu aja.”
Semua
anggota timnya pun saling memandang, dan melempar tawa untuk kekompakan yang
dibuatnya. Namun salah satu anggota lain, Anis justru memandang wajah Handy
juga wajah Diana yang ia simpulkan dengan senyum.
Persembahan
dari tim mereka pun telah usai, seperti halnya dengan yang lain. Kini bagian tim
lainnya yang mendapat giliran. Namun setelah tampilnya tim Diana, mood Lusiana mulai berubah. Ia selalu
berandai jika harusnya yang diposisi seperti itu dirinya, berada di sampingnya
apalagi bersandar pada bahunya yang kekar. Ia pun kembali ke dalam tenda
seorang diri.
Saat
tengah asik bersama kesendiriannya, salah satu teman timnya mengatakan bahwa
persembahan telah usai. Dan akan segera di nyalakannya api unggun pada
menit-menit terakhir pergantian hari.
Semua
bernyanyi menanti dinyalakannya api unggun, berkeliling lalu berpegang tangan
satu sama lainnya. Kini semuanya boleh bergabung bersama teman angkatannya masing ataupun tetap bersama timnya. Kemudian
Diana memilih mendekati Lusi, saling berpegang tangan sementara lelaki itu
berada tepat pada posisi di depannya bersama Kevin juga teman lainnya.
Api
pun menyala, semua sorak gembira. Suara tepuk tangan juga nyanyian mendomisili
dan bergerak sesuai maunya lagi tanpa diatur seperti sebelumnya.
Diana
pun memilih ke belakang tenda setelahnya, dimana tempat semua persediaan
makanan diletakkan, dan memilih menyendiri. Yang kemudian justru diikuti Anis,
teman se-timnya.
“Hai
An.” Sapanya
Ia
pun menoleh ke arah suara. “Ka Anis.” Jawabnya dengan senyum.
“Kamu
nggak ikut rame-rame depan api unggun?” menghampiri dan duduk di sampingnya.
Ia
hanya menggelengkan kepalanya. “Disana terlalu panas.”
Anis
pun tersenyum dan memandangnya. “Kamu suka sama Kak Handy yah?” tanyanya dengan
senyum.
Ia
pun seketika menjadi salah tingkah, “Ih apa sih, Kak.” Jawabnya berusaha
mengelak.
“Kamu
boleh aja membohongi diri kamu sendiri, ataupun bohongi yang lain. Tapi tidak
ke saya.” Tersenyum. “Saya bisa baca dari matamu, iyah walaupun saya bukan
teman dekatmu yang sehari-harinya bisa ketemu.” Lanjutnya.
Sementara Diana pun hanya diam
memerhatikan.
“Tapi benar kan, apa kataku?” Tanyanya
kembali menyudutkan dan sesekali
menggodanya. “Okay, kamu gak perlu jawab. Aku tahu jawabanmu.”
“Ngomong apasih Ka Anis?” lagi-lagi
dirinya berpura-pura tak mengerti.
Anis pun bangkit dari tempat duduknya
yang kemudian berbisik. “Kalau kamu suka, perjuangin cinta kamu. Turunkan ego
dan saling mensupport.” Menatapnya hangat dengan senyum lalu meninggalkan
dirinya kembali seorang diri.
Ia pun membalasnya dengan senyum
kembali yang kemudian matanya melirik langkah wanita itu hingga sesekali
menyudutkan matanya ke arah Handy dan mulai merenungkan apa yang dikatakan Anis
sebelumnya.
*Bersambung
Jumat, 24 November 2017
Berhenti Berharap (Part 8)
Saat
malam tiba, semua tim dikumpulkan kembali di sebuah lapangan dengan pusat
persiapan bahan api unggun. Mereka tetap bersama timnya masing-masing untuk
mempersiapkan pula persembahan yang akan di tampilkan sepanjang menanti waktu
yang tepat untuk menyalakan api unggunnya.
Saling
bertukar fikiran untuk mengisi persembahan, nampaknya tim Diana selalu terlihat
santai dengan penuh tawa. Sedangkan tim Lusiana, selalu diributkan oleh
perbedaan pendapat. Ia menatap sahabatnya agak sinis, nampaknya ia mulai
cemburu terhadap kekompakan timnya, tak hanya itu terlebih kepada kedekatannya
terhadap lelaki itu.
Ia
menoleh ke arah sahabatnya yang kemudian mengodenya dengan sekali gelengan
kepala menandakan, “Yuk ke belakang”
yang kemudian sahabatnya mengerti dan segera ia izin untuk segera pergi ke
belakang arah tempat tenda wanita. Sementara Handy pun ikut menoleh, melihatnya
pergi, matanya melirik langkah pendek gadis itu.
“Ada
apa?” ujar Diana dengan suara yang pelan, sementara matanya sibuk memata-matai
sekitarannya.
“Kok
kamu, aku perhatiin deket banget sama Kak Handy?” tanyanya to the point.
Mata
gadis itu pun mulai menatap mata sahabatnya, dalam benaknya ia mulai
kebingungan atas pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya. “Kan memang dia ketua
tim aku, Lus.” Jawabnya memberi alasan.
“Iya,
aku tahu. Tapi gak sedeket itu kan?” tanyanya semakin menyudutkan.
“Lho,
lho … ini maksud kamu apa ya?” jawab Diana heran. “Kok kamu ngelarang-larang
gitu?” tanyanya semakin heran.
“Bukan
ngelarang sih An. Tapi …”
Kemudian
Diana memotong bicaranya Lusi, “Tapi apa?” jawabnya agak sinis.
“Tapi
masalahnya,” ia menghentikan suaranya, menutup bibirnya dengan jari-jari
tangannya sebab hampir saja ia mau berkata bahwa lelaki yang dimaksudnya selama
ini adalah Handy. “Mmmm, nggak jadi.” Lanjutnya.
Mata
Diana pun melirik mata sahabatnya dalam-dalam, ia melihat bahwa ada sesuatu
yang ia sembunyikan dari dirinya mengenai lelaki itu. Yang kemudian melihat ke
arah timnya untuk menengok Handy. Fikirnya, “Seperti
tidak terjadi apa-apa”. Begitupun dengan Lusiana, ia pun menoleh ke arah
lelaki itu.
“Gak
jelas kamu Lus,” ujarnya. “Udah ah, kita balik lagi ke depan, nanti ketahuan
panitia, habislah kita.”
Lusi
pun hanya berdiam diri.
“Eh,
malah melamun. Ayo lus ….” Ajaknya.
Ia
pun akhirnya mengiyakan dan segera kembali pada timnya masing-masing.
“Habis
apa, kok lama?” Tanya Handy saat Diana kembali. Lalu menoleh ke arah belakang
melihat Lusi.
Gadis
itu pun ikut memandang Lusi. “Biasa, urusan cewe. Maaf agak lama.” Jawabnya
yang kemudian mengalihkan kembali matanya terhadap lelaki itu.
Lelaki
itu pun kembali mengalihkan pandangannya ke arah timnya. “Baiklah, tak apa.”
jawabnya santun. “Mari kita lanjutkan.” Lanjutnya mengajak timnya berdiskusi.
Sementara
Lusiana, ia hanya mampu memandang lelaki itu dari kejauhan serta melihatnya
memberi perhatian lebih terhadap sahabatnya, yang mulai menimbulkan benih-benih
kecemburuan.
Persembahan
masing-masing tim pun segera di mulai menjelang waktu-waktu penyalaan api
unggun. Dengan nomor urut yang sengaja dikocok.
Suasana
semakin seru, tatkala salah satu tim mempersembahkan stand up comedy.
“Sayang,
kamu tahu ibu kita kartini?” ujar salah satu anggota dari tim lain saat
mempersembahkan persembahan timnya.
“Tahu,
itu tuh yang perayaanya setiap bulan april itu kan ya?” jawabnya.
“Iya,
kamu bener. Sekarang, biarlah dulu ibu kita kartini. Kalau besok …?”
“Besok
apa, Yang?”
“Kalo
besok ibu kita besanan. Eaaaaa.” Jawabnya yang kemudian disambut riang para
anggota dan tim lain. Hingga suara teriakan “Witwiw”
dan “Eaaaa” terdengar dari setiap
sisi-sisi anggota yang melingkar, melingkari api unggun.
Sementara Handy dan Diana, ia saling
menatap dan melempar senyum. “Setelah ini, bagian tim kita. Kamu siap kan?”
Tanya Handy.
Ia hanya menganggukan kepalanya
sembari tersenyum.
Panitia pun membunyikan pluitnya, tanda
waktu untuk persembahan masing-masing tim telah habis. “Beri applause untuk tim sembilan.” Yang
kemudian dengan segera diganti oleh persembahan tim yang lain.
“Kali ini, dari Tim Handy.” Teriak
salah satu panitia. “Handy and team, sudah siap?” Tanya panitia.
Timnya pun kompak menjawab. “Iya,
siap.” Sembari mengacungkan jempol tangannya.
“Beri tepuk tangan untuk tim lima”.
Semua orang pun bertepuk tangan.
Tim lima pun maju, dan mulai memperkenalkan diri. Bercerita
tentang sebuah cerita romantic. Ada yang menjadi nawacerita, ada yang pura-pura
menjadi salah satu orang tuanya, ada juga yang menjadi pohon-pohonan. Sementara
Handy dengan Diana, mereka adalah tokoh utamanya.*Bersambung
Berhenti Berharap (Part 7)
![Hasil gambar untuk curi pandang kartun](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnmBqYYA9rlbNvxOuQb8rtWXsAimSFnhwAH2A_48vRKxPm1mynUPwenXIdd1dSzZPafpZXz1-YVH9m8tG_ir54KfkWnCjIvKPoycn5DY7dmbKPRBHCqDDOKJ_f88bpmrjc2nk1v7r7Ogwv/s200/secret_admirer_by_akaiteddy-d76i8jk.jpg)
sumber foto: 145xcomz.blogspot.co.id
Kini minggu demi minggu berubah bulan, hingga
berubah menjadi semester baru, persahabatannya kini semakin terjalin. Tak
terhitung warnanya, tak sedikit cerita berbagi tentangnya, tentang lelaki itu,
tentangnya yang memillih tuk diam mencintai.
Diana
yang memilih memendam kagum dalam diamnya, sementara Lusiana memilhnya berbagi
cerita dengan sahabatnya meski hingga saat ini pun tak pernah menyebutkan
namanya. Dua orang sahabat yang menyimpan perasaan terhadap lelaki yang sama.
Sementara Rini, ia masih saja menikmati kesendirian dalam kebimbangan harap tentangnya
yang justru tanpa kabar.
Pada
suatu ketika dalam acara yang di adakan pihak kampus, di pertemukanlah kembali
Lusiana, Diana juga Handy. Dimana ketiganya terkumpul bersama semua angkatan,
tergabungnya senior juga junior. Yang kemudian terbagi kembali menjadi beberapa
tim-tim kecil, saat itu Diana juga Handy satu tim, sementara Lusiana di tim
lain.
“Tim empat, ada Puspa,” nama yang
dipanggil pun segera memposisikan diri di depan berjajar dengan tim yang
lainnya, “… Rina, Dimas, Lusiana, Adi, ….” Teriak salah satu panitia yang
disambut riuh juga tepuk tangan para mahasiwa.
Sementara
Lusi, bersikap sedikit kesal saat penyebutan anggota tim-nya hingga akhir yang
tak menyebutkan nama lelaki itu, yang ia harap bisa satu tim dengannya. Namun
apa boleh buat, ia hanya menerima keputusan yang sudah dibuat para panitia.
“Yuah,
kita nggak se-tim.” Ucapnya kepada Diana, mengalihkan sesalnya.
Diana
tersenyum, “tak apa, semangat yah!” jawabnya memberi semangat.
“Tim
Lima, Diana,” ia pun menyesuaikan dirinya di depan, “… Kevin, akbar, Anis … dan
terakhir Handy.” Teriak kembali salah satu panitia yang semakin terdengar riuh
dengan tepuk tangan mahasiswa yang lain.
Diana
pun hanya tersenyum, dalam hatinya ia bergumam betapa senangnya bisa berada
dalam satu tim dengan lelaki yang ia kagumi. Sementara Lusiana, ia hanya
memandangnya dari samping berujarkan dalam diri, “kan aku yang mau satu tim
bareng kak Handy. Beruntungnya Diana.”
Setelah
panitia menyebutkan semua tim-nya yang terbagi atas kurang lebih lima belas tim
dengan kisaran jumlah anggota sepuluh hingga tiga belas anggota, kini ke semua
tim diharuskan membentuk kader ketua tim.
Semua
tim hampir terdengar gaduh, saling menunjuk si A dan si B nya untuk menjadi
ketua tim. Namun justru malah membalik tunjuk arah, saling mengandalkan. Yang mana
ketua adalah yang bertanggung jawab terhadap para anggota timnya masing-masing.
Tanpa terkecuali Tim lima, yaitu tim Diana. Ia kompak menunjuk Handy, yang
kemudian ia langsung menerimanya tanpa menolak dengan kata, “Ah kamu saja” seperti yang lainnya.
Akhirnya
tim lima pun terbentuk dengan ketua tim Handy, bersama sebelas anggota lainnya.
Sementara Lusiana, ia akhirnya
mendaftarkan dirinya sebagai ketua tim dikarenakan anggotanya yang hanya
saling mengandalkan satu sama lain.
Waktu
pembentukan ketua tim pun habis, panitia mulai mengumpulkannya kembali di
halaman kampus, dengan garis saling berjajar antara tim satu dengan tim lainnya
dengan posisi ketua berada di baris terdepan.
Setelah
terbentuknya ketua tim, kini panitia memberi clue dan randown mengenai acara
itu kepada sang ketua dan tugas seorang ketua yang pertama adalah memberi
pemahaman kepada masing-masing anggotanya.
Dengan
bijaknya Handy melangkah dan membuat strategi khusus untuk timnya, wibawanya
semakin terlihat kala ia mulai menjelaskan satu demi satu tahap dan randown
acara kepada anggotanya. Sementara Diana, ia memperhatikan detail lelaki itu
dengan baik, tampak begitu manis ia melihatnya hingga mencuri pandangan
darinya. Sesekali ia menundukan pandangannya, dan menyimpulkannya dengan
senyumnya yang manis. Hingga membawanya pada lamunan akan lelaki itu yang
kemudian menjadi salah tingkah kala teman se-timnya mengagetkan dirinya.
“Na!”
bahu temannya menyentuh bahu Diana, yang mengagetkan dirinya.
Dengan segera ia menoleh kearah
temannya. “Apa?” jawabnya dengan suara kaget dan terdengar berbisik.
“Di tanya kak Handy, sudah paham
belum?” jawabnya memberi penjelasan sembari menundukan kepalanya, ucapnya
berbisik pula.
Diana pun segera menegakkan
pandangannya dan menatap ke arah lelaki itu.
“Iya kamu?” ujar Handy
“Iya paham Kak.” Jawabnya yang
kemudian kembali menundukan pandangannya.
Acaranya pun di mulai, memulainya
dari perkenalan mmasing-masing anggota tim bersama jargon dan yel-yel lengkap
yang dibuat bersama, mengharuskannya saling mengenal antar anggota satu dengan
anggota lainnya yang mana nilai sebuah kekompakan dan kebersamaan adalah kunci
utamanya.
Sementara Lusiana, ia selalu
mencuri-curi pandang mencari perhatian lelaki itu, namun lagi ia selalu melihat
betapa lelaki itu begitu dekat dengan sahabatnya, ia sedikit cemburu meski
masih beranggapan hal biasa karna memang satu tim, tetapi tetap saja ia tak
bisa menutupinya.
Langkahnya semakin tak tentu,
gejolak cemburunya kini mulai mengganggu aktifitasnya, ia mulai tidak focus. Sementara
Diana, ia tak menyadari tingkah aneh sahabatnya, karena fikirnya kerjasama dan kebersamaan
tim adalah yang penting, ia bersikap professional mesti tak menutup hatinya,
bahwa bersama dengan lelaki itu adalah kemustahilan yang sedang terjadi apalagi
saling melempar canda tawa.
*Bersambung
*Bersambung
Rabu, 22 November 2017
Berhenti Berharap (Part 6)
“Hai Bang,
gimana kuliahmu?” tanya Rini pada Handy, yang tak lain adalah kakak sepupunya. “Kapan
wisuda?” lanjutnya sembari mengacak-acak buku.
“Lagi pusing, banyak tugas.” Jelasnya singkat.
“Hai kamu, lama di Negara orang makin putih aja.” Lanjutnya meledek.
“Iyalah, emang abang makin item. ‘Hahaha’” ledeknya.
Membalikan tubuhnya dari kursi
belajar. “Biarin abang item, yang penting tetap manis.” Pembelaan dirinya.
‘Hahaha’.
“Dasar abang jelek, gak mau ngalah.” Memukulnya pelan dengan buku.
“Siapa pacarmu sekarang, Rin? Sini bawa,
ajak kenalin ke abang.”
Membuka-buka lembaran demi lembaran
buku. “Aku nggak punya, Bang.”
“Bisa aja emang kalo bohong.” Jawabnya
menyudutkan pembenaran Rini.
“Aku serius, Bang.” Berusaha
meyakininya. “Sebenernya sih ada yang menarik perhatian aku, dia baik, dia
humoris, dia dewasa, dia asyik gak kaya abang, nyebelin.” Ucapnya.
“Jadi abang, nyebelin nih?”
‘Hehehe’. “Tapi abang, paling baik kok”
“Dasar ya kamu gak berubah. Selalu bisa
aja ngegoda abang.” Jawabnya sembari nyubit pipinya Rini. “Lalu?” lanjutnya.
“Gak ada kelanjutannya. Udah begitu
aja.” Jelasnya.
“Loh,
gimana sih?” tanyanya semakin heran. “Jadi kalian gak pacaran?” lanjutnya.
“Entahlah,
Bang. Sudah lost contac.” Tuturnya dengan
sedikit perasaan kecewa. “Lalu bagaimana dengan abang sendiri?” lanjutnya
bertanya mengalihkan pembicaraan. “Siapa pacar abang sekarang? Apa masih jomblo!”
tanyanya sembari meledek.
“Abang
… abang …” terlihat menjawabnya dengan terbata-bata dan membalikan kembali
tubuhnya ke arah meja belajar. “ada satu cewek yang menarik perhatian abang.” Jelasnya.
“Lalu?”
“Tapi
entahlah Rin. Abang belum yakin, kalo abang beneran suka sama dia.” Jelasnya.
“Widih,
siapa nih ya cewek yang berhasil ngegoda iman abang gue satu inih?” jawabnya
meledek.
‘Hahaha’.
“Apasih kamu?”
“Ayo
lah bang siapa?” pertanyaanya semakin menyudutkan.
Ia
mulai menjelaskannya semenjak pertama kali melihatnya di lorong kampus menuju
sebuah taman dengan senyum manisnya yang khas bersama lesung pipi, yang selalu
membiarkan rambutnya terurai, tutur katanya halus, berkulit putih cerah,
gayanya yang anggun selalu memberinya kesejukan juga kehangatan saat memandangnya. Saat dipertemukan
tanpa sengaja di kantin pun, ia menahan degup di dadanya untuk berpura-pura tak
peduli.
Rini
menatap mata abangnya. “Aku yakin, abang aku yang satu ini sedang beneran jatuh
cinta.” Jawabnya. “Matamu gak bisa bohongin aku, Bang”
“Ah
kamu. Sudahlah.”
“Aku
mendukungmu kok bang. Lanjutkan ya, perjuangin cintamu sampai dapat.” Ucapnya memberi
dukungan. “Anak mana dia?” lanjutnya bertanya.
“Terimakasih
buat dukungan ya, Sayang. Dia adik kelas abang, masih anak semester baru lah.” Jawabnya
mulai terus terang.
Hingga
akhirnya kakak-adik sepupu itu pun berbagi perasaannya, menceritakan sesuatu
yang mungkin dapat disebut dengan kata cinta.
Kemudian
Rini meminta abangnya tuk mengajaknya pergi keluar. Mencari hiburan, mungkin
hanya sekedar makan atau pun jalan ke Mall. Ia pun mulai merapihkan
buku-bukunya. Maklumilah, Rini adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami
Istri keluarga Zakaria. Ayahnya adalah pengusaha property yang sukses, dan
ibunya adalah sekretaris sang Ayah, makanya keduanya selalu bekerja dalam satu
hal pekerjaan yang sama.
Sementara
abangnya sendiri adalah Kakak sepupu satu-satunya yang ia miliki di Jakarta, ia
adalah anak dari kakak ayahnya yang juga seorang anak tunggal. Sejak berusia
remaja, ia sudah ikut bersama keluarga Zakaria tersabab orang tuanya meninggal
saat kecelakaan pesawat dua belas tahun silam, saat usianya baru menginjak dua
belas tahun. Itu sebabnya Handy dibesarkan oleh kedua orang tua Rini, dan mengangapnya
seperti layaknya anak kandungnya sendiri. Usia keduanya berselisih hanya enam
tahun,
Handy pun menuruti maunya
Rini, dan segera mengajaknya pergi keluar. Menemaninya menyusuri kota,
menikmati suasana Jakarta yang mungkin sudah sedikit berbeda dengan beberapa
tahun sebelumnya, saat terakhir sebelum tiga tahunnya berada di Canada.*Bersambung
Senin, 20 November 2017
Berhenti Berharap (Part 5)
“Jadi mah, aku masih prepare. Nanti pesawat
berangkat jam satu.” Balasnya.
“Baiklah,
hati-hati di jalan ya Nak. Maaf mamah sama papah belum bisa jemput kamu, kami
ada meeting kantor. Nanti kamu dijemput sama si abang ya, Nak.” Balas sang Mamah.
Yang
kemudian ia balas, “Iya Mah.”
Setelah akhirnya usai prepare barang-barangnya, kini ia segera
membersihkan dirinya. Tak lupa pula makan. Beberapa saat kemudian, kedua
temannya pun mengantarkannya ke bandara. Kini terjadi lagi, perpisahan juga
tangisan di antara ketiganya. Hari perpisahan itu pun tiba.
Ia menapaki jalan langkah demi
langkahnya, menuju koridor pemberangkatan. Tak percaya bahwa kini ia akan di batasi
oleh jarak, semakin dekat dengan jarak yang mulai terasa tergambarkan. Meninggalkan
Negara itu dengan cepat, bukanlah inginnya.
***
Jakarta.
Sudah hampir sebulan Lusi juga Diana
kuliah, kegiatannya sebagai mahasiswi baru, terasa padat dirasanya. Namun
mereka tetap saling mengisi, dan saling berbagi di antara keduanya.
“Dian …,” panggil Lusina. “kamu pernah
ngerasain jatuh cinta?” lanjutnya bertanya.
“Emmmm …,” jawabnya terlihat berfikir
dan memain-mainkan bola matanya. “Ada yang jatuh cinta kayanya nih. Aku pernah.”
Lusiana memainkan sumpit mie pangsitnya,
“Gimana rasanya?” lanjutnya.
“Rasanya … seperti nano-nano. Seneng,
adem aja kalo liat si doi nya, apalagi kalo liat perhatiannya. Senyum manisnya
bikin dag dig dug. Ya seperti itu lah.” Jelasnya sembari membayangkan wajah
lelaki itu. “Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta sama siapa?”
“Aku gak yakin sih lagi jatuh cinta
sama dia, tapi …,” terdiam sejenak. “Selalu ngerasa nyaman aja pas udah liat
dia?”
“Cie
…. Sama siapa tuh?” Ledek Diana.
“Ada
deh, tapi aku juga gak tahu sih siapa namaya. Jadi nanti dulu aja kalau sudah
pasti. Baru ku kasih tahu.” Jelasnya.
Mereka
pun terus berbincang sambil menikmati makan siangnya di kantin kampus. Saat Diana
kembali ke arah tempat memesan makanannya, ia berpapasan dengan lelaki itu,
lelaki yang sama juga ingin memesan makanan yang sama.
“Handy
….,” teriak salah satu temannya di pojokan kantin. “Gue pesenin satu porsi
pedes ya”.
Sementara
lelaki itu hanya mengisyaratkan dengan kode tangannya yang pertanda iya.
“Bu,
saya pesan Mie pangsit seperti biasa sama baksonya ya. Saya di pojokan itu.”
menunjukan tempat duduknya pada ibu kantin itu.
“Iya
siap Handy.” Jawabnya jelas,
Sedangkan
Diana, sembari menunggunya beralih ia mengingat-ngingat nama lekaki itu. “Handy”
ia mengeja dalam hatinya. “Jadi lelaki yang selalu menarik perhatian aku selama
ini namanya Handy. Aku baru tahu” gumamnya dalam hati yang sekaligus membuatnya
dag dig dug tak karuan.
Sementara
Lusiana di belakang sana juga telah memerhatikan sahabatnya, yang kemudian
teralih perhatian oleh lelaki itu. Hatinya terus bernyanyi seperti harmoni,
perasaannya tak terkendali tiap ia menemui lelaki itu. sikap santunnya
memberinya kesejukan dan kedamaian, wibawanya memberikan ia sejuta harapan.
Matanya
memandang halus lelaki itu, lelaki yang tak ia tahu siapa namanya. Senyumya mulai
mengambang, bersama duduk yang manis memerhatikan. Hingga matanya tak ingin
jengah tuk memandang lelaki itu, hingga kembali ke tempat duduknya. Matanya melirik
tiap langkahnya, mengantarkan kepada kursi dipojokan kantin.
“Hai
Lus!” Ia dikejuti Diana memegang pundaknya. “Liatin apa?” tanyanya dengan mata yang
memandang hampir ke setiap penjuru kantin.
“Oh
tidak.” Jawabnya mengumpat dan menolehkan pandangannya.
Lalu
mereka melanjutkan makan siangnya, sesekali mereka membayangkan wajah lelaki
itu.
*Bersambung
*Bersambung
Langganan:
Postingan (Atom)
One More
“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7faDxttXVM1yoXRI-KQggPD2KYYyeuDf5I1sqBJB33J_HrFtPlW5zYuVaG3Uc2cSiuf47zE-EULYqvESnsl_cWW9Sr4RCmcF_fR8WAK1FQlMT5C21MV8scg1nkBCcsK5tnq5IUChMUona/s320/undangan+one+more.jpg)
-
“Saya sadar, saya masih terlalu hijau untuk menikah. Tapi saya lebih sadar, bahwa tanpa menikah, saat ini saya merasa tak kuat mena...
-
The Amazing Canary Series merupakan kumpulan kisah-kisah imajinatif dari hewan-hewan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah buku yang sangat m...
-
sumber gambar: One Day One Post Pada itungan waktu yang melerai, pijakan langkah bergumam hingga mengutip ejaan. “Nanti bertemu.”...