![Gambar terkait](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglRGWH4D-_pCU65zoZCo3-sisXCZG_3oIsyk7bmvlvVPuTE0EIP8iJKwnQG_Y5dBYhVw_kJMVsJ-NIlTpYskwm2itCpMtsD9qoGMdTGRz_-4ZepM6BDNAbnSvTSw_Zr1tJWmaPVDvLbQI/s200/perahu1.jpg)
Sumber gambar: sisileeya.blogspot.com
Hari-hari kini berlalu
begitu cepat, rasa kelu menggambar sebuah janji kepastian. Namun, harap masih
enggan memberikan jawaban akan rindu yang kini dibiarkan sendirian.
“Mengapa rindu harus
seberat ini?” maki Alea pada dirinya sendiri.
Ditatapnya langit yang
kini mulai menggantungkan senja, selepas rinai
hujan jatuh ke bumi, jua tersalip pelangi yang mulai kabur.
Bergegas ia berlalu, melewati
jalan setapak dengan lampu pijar jalanan kota metropolitan. Alea melihat gadis
kecil tengah berjalan dengan teruyung-uyung, tubuhnya masih basah akibat hujan
tadi sore yang cukup deras. Tanpa disadarinya, gadis kecil itu menghampirinya, “kaka,
kau mau pakai payung?” tawarnya, yang ternyata adalah ojek payung.
Lamunnya pecah, ia
mengibas rambutnya yang agak lepek tersabab hujan yang sisakan gerimis. Senyumnya
mengambang, lalu menundukan kepalanya menandakan iya.
Ia tak menyembunyikan
sesak rindunya dibalik hujan, namun ia pun tak bisa memungkiri hanya bisa diam.
“Terimakasih ya dek,” sesampainya disebuah toko, dan mengeluarkan uang kertasan
juga sedikit camilan, “bawa ini, jangan lupa makan ya. Sisanya ambil saja
buatmu yah.”
“Camilan ini, sudah lebih
dari cukup, Ka.” Ia berusaha mengembalikan sisa uangnya.
Namun, Alea hanya
menggelengkan kepalanya. Kemudian menganggukkan kepalanya, berisyarat bahwa
sisanya memang untuk gadis kecil tadi.
“Tapi, Ka …” ia tetap
memaksa.
“Anggap saja, sisa uang
itu karena kamu telah temani kaka, sampai toko ini.” Ia tersenyum dengan penuh
ramah.
Gadis kecil berpayung itu
pun, menyimpulnya dengan senyum. Tak lupa pula mengucapkan terimakasih.
Lalu ia pun berlalu, Alea
memandang dari kejauhan. “Adik kecil itu, pandai
sekali.” Seulas senyumnya mengambang. Kau
tahu, aku mencintai hujan sejak saat itu kita berlari berpayungkan hujan. Sementara
jaketmu kau biarkan basah, sekedar menutup kepalaku. Berbagi denganmu, sekejap
dalam dekapan. Meski waktu itu, aku tak mengerti bahwa hadirmu pernah
menyinggahi hati. Hingga saat ini, aku memilih pergi tersabab cinta yang
mungkin terlambat. Bisiknya dalam lamunan melihat langkah kaki gadis
berpayung tadi. Besitnya dalam bayangan Julio. “Ah, apasih ini?” ia mengumpat,
namun hatinya menyambut dengan penuh kesan. Bagaimanapun
aku pernah tanpa sadar mengharapmu, meski kini dengan sadar aku mengikhlaskanmu.
Senyumnya kembali mengambang. Segera ia berlalu dan memilih masuk toko.
***
Dear,
Entah mengapa, aku
merasa sejak pertemuan itu, kita menjadi asing. Mungkinkah benci setelah
pertemuan itu, benar adanya? Ku harap tidak, Peu. Seulur rindu yang membalur
subur, menyimpan rimbun yang tak lagi bisa dikubur. Tersungkur ku pada harap
yang tak bisa ku bawa kabur, hanya karna ingin diakui bahwa kau telah singgah
berdapur.
Rongga, mendongak luangkan
nada. Dalam asa meminta jasa, pada diri yang tak kuasa dihimbun lara yang
hampir bertahta. Rindu mendera kala kabar hampir terlupa, namun doa selalu
tercipta. Semoga kau tetap terjaga, dalam takdir sang maha pencipta.
Dariku, untukmu. Wahai
pemilik rindu.
Ia menutup penanya. Menyimpulkan
selebaran kertasnya diatas buku. Ditaruhnya berdampingan dengan secangkir kopi.
Aroma cappuccino mulai menyerbak penuhi indera penciumannya. “Ku harap, kau
juga merasakan hal yang sama, Peu.”
Ia kembali mengambil
suratnya, tak ada niat baginya untuk memberikannya langsung. Ia pun segera
melipat kertasnya, dibuatnya menjadi perahu kertas. Dibawanya kertas itu
pulang.
Ia bergegas tinggal toko,
selepas hujan benar-benar telah reda. “Mengapa tangis harus ada? Kala rindu
tercipta, Peu?” bicaranya pada hati. Ia pun berlalu membawa perahu kertasnya,
dibuangnya kertas itu di sungai dekat rumahnya. Akan ku lerai segala yang terkusut. Semoga dengan ini, beban rinduku
tak lagi menggebu hingga hadirkan bulir air mata yang sudah tersedu. Hatinya
berbisik sembari melepas perahu kertasnya.
“Peu, aku rindu.”
#Day12
#30DWC
#OneDayOnePost
Ceritanya Keren, kak
BalasHapusTerimakasih ka isa :)
HapusJgn lupa mampir di cerita alea sebelumnya :)
Karena yg saya baca ini part 5, jdi saya bukain semua nyari part 1 mbk. Hehe... Penasaran awal kisah si Alea.
BalasHapusKetemu gk cari part 1 nya?
HapusKetemu mbak...
HapusAlea ketemuannya di stasiun..jadi ingat waktu muda dulu..hehe
Hahaha cieee.
HapusKnapa knapa?
Dulu pernah punya kisah cinta di stasiun..hehe
HapusPernah saya tulis di blog mbak...
hihhi, ini pas kebetulan lho ya hahaha
Hapusboleh kali japri link nya, mau tak intip hikshiks
Baca kisah ininjadi penasaran sama part sebelumnya
BalasHapusAyuuk mba, dicari part sebelumnya ๐
HapusHalloo kak Rene. Senang bisa mampir di sini. Bagus tulisannya kak๐. Nanti aku mampir lagi yoo^^
BalasHapusTrimakasih ka uni ;)
HapusSring" mampir yo, ditulisa ala kadarnya ini ๐
Keren๐
BalasHapusTrimakasih sudah mampir di gubug storyofrene :)
HapusKamu jago cari ide cerita
BalasHapusTerimaksih pak bari, saya masih blajar dari bapa sama teman" yg sudah lbih jago.
Hapus